Chapter 18 - PENGARUH SIHIR PART 3

Sikap Zero benar-benar aneh, berulang kali dia menyuruhku untuk segera meninggalkan rumah ini. Tapi tentu saja aku tidak menurutinya. Tidak mungkin aku meninggalkan rumah ini begitu saja, ketika pemilik rumah ini yang sudah begitu baik padaku sedang tertimpa masalah seperti ini.

Dalton sudah terbangun dan seperti yang dikatakan oleh Maria dan Luois padaku, anak itu memang bersikap sangat aneh. Dia sangat murung dan nyaris tidak pernah keluar dari kamarnya. Aku sempat merasa khawatir, aku takut dia akan melukai dirinya lagi seperti malam itu.

"Apa Dalton akan baik-baik saja? Sejak tadi dia terus mengurung diri di kamarnya."

Aku mengutarakan kekhawatiranku pada Maria dan Louis. Jika melihat ekspresi wajah mereka berdua, aku menyadari mereka pun sama khawatirnya sepertiku. Tentu saja mereka pasti jauh lebih mengkhawatirkan Dalton dibanding aku karena mereka adalah orangtuanya.

"Entahlah tapi jika dia sedang tenang seperti ini, itu artinya dia baik-baik saja," jawab Louis dengan tatapan sayu.

"Benarkah seperti itu?"

Kali ini Maria yang merespon dengan memberikan anggukan, lalu berkata, "Hm, begitulah. Sekarang makanlah, kau belum makan dari tadi. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu. Aku harap kau menyukainya."

Aku tertegun mendengar ajakan Maria ini, walau tak kupungkiri perutku mulai keroncongan tapi bagaimana bisa aku makan saat aku bahkan melihat sosok anak itu enggan keluar dan hanya berdiam diri di kamarnya. "Ta-Tapi bagaimana dengan Dalton? Bukankah dia juga belum memakan apa pun?" tanyaku, menatap Louis dan Maria secara bergantian.

"Tenang saja, tidak perlu mengkawatirkannya. Aku akan mengantarkan makanan untuknya setelah ini. Ayo cepat makanlah nanti makanannya dingin!"

Maria menarik tanganku untuk menjauhi pintu kamar Dalton. Tapi hatiku merasa enggan untuk meninggalkannya. Akan tetapi aku tidak memiliki cara lain untuk menolak ajakan Maria, karena itu aku terpaksa melangkahkan kakiku mengikuti Maria.

Meskipun sekarang aku sedang melahap makanan yang dihidangkan oleh Maria tapi pikiranku tidak henti-hentinya memikirkan tentang Dalton. Entah kenapa aku begitu mengkhawatirkannya?

"Oh, iya. Giania, mana pacarmu? Kenapa dia tidak ikut makan?"

Detik itu juga aku terkejut, aku terlalu terkejut hingga hampir tersedak makanan yng sedang kuunyah. Aku yakin tidak salah dengar, baru saja Maria mengatakan bahwa Zero itu pacarku. Entah kenapa mendengarnya tiba-tiba membuat wajahnya memanas, mungkinkah sekarang wajahku sedang memerah karena tengah gugup sekaligus menahan malu?

"Haah?! Bu-Bukan! Dia itu bukan pacarku!" Jawabku heboh sembari mengibas-ngibaskan tangan.

"Tapi kalian melakukan perjalanan bersama. Jadi kami pikir kalian berpacaran."

Aku terkekeh pelan, "Tentu saja itu tidak benar. Kami sama sekali tidak berpacaran."

"Lalu dia itu punya hubungan apa denganmu, Giania?"

Entah jawaban apa yang harus aku berikan pada Maria, rasanya tidak mungkin aku mengatakan jika Zero itu adalah pengawalku. Dia akan curiga padaku, dan aku sama sekali tidak ingin mereka mengetahui bahwa aku seorang putri raja.

"Dia itu hanya teman seperjalanan saja," sahutku sembari menyengir lebar, berharap dia akan percaya dan tak banyak bertanya lagi.

"Hm, begitu." Maria mengatupkan bibirnya, tak lagi bertanya dan sungguh membuatku lega bukan main karena sepertinya dia mempercayai kebohonganku.

"Aku lihat tadi dia sedang duduk di teras. Apa perlu aku memanggilnya kemari?"

Louis yang juga sedang duduk di meja makan ini bersamaku, berniat beranjak dari kursinya. Dengan cepat aku menghentikannya, "Tidak perlu, Louis. Dia orangnya memang sangat aneh, dia pasti marah kalau kau mengganggunya. Sudah biarkan saja dia, kalau lapar dia pasti akan datang kemari."

Maria dan suaminya saling berpandangan hingga Louis meresponku dengan gumaman pelan, "Oh, begitu," gumamnya.

Aku segera menganggukkan kepala, seolah pembicaraan tentang Zero tak pernah terjadi aku pun melanjutkan melahap makananku dalam diam. Begitu pun dengan Maria dan Louis. Zero itu orang yang berbahaya jika sudah marah karena itu tak akan kubiarkan pasangan suami istri yang baik hati ini menyulut emosinya karena aku yakin Zero akan marah jika dirinya dipaksa untuk makan. Setelah menghabiskan makananku mungkin harus aku sendiri yang mendatangi pria aneh itu nanti.

***

Waktu berjalan dengan sangat cepat, langit biru itu telah berubah menjadi gelap sepenuhnya bahkan malam ini terasa mencekam karena suasana yang begitu hening. Tak ada benda langit yang menghiasi langit hitam itu bahkan rembulan pun tak kulihat keberadaannya.

Aku sedang merebahkan tubuh seorang diri di dalam kamarku. Tidak henti-hentinya aku memikirkan Dalton. Seharian ini aku sama sekali tidak melihatnya keluar dari kamar. Aku selalu berharap di dalam hati, berharap agar dia tidak melukai dirinya sendiri lagi.

Suasana sangat hening, rasanya malam ini sangat sulit bagiku untuk memejamkan mata. Aku beranjak bangun ketika aku merasakan sakit pada perutku. Meskipun ragu tapi rasa sakit pada perut ini telah membuatku memberanikan diri untuk keluar dari kamar menuju kamar mandi.

Suasana di luar begitu sepi, tidak terdengar suara apa pun selain suara dari serangga-serangga malam yang saling bersahut-sahutan menambah suasana mencekam yang tengah kurasakan. Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Langkah kakiku terhenti ketika tanpa sengaja melihat sebuah bayangan tepat di depanku. Di sini sangat gelap dan hanya diterangi oleh cahaya lampu yang redup sehingga aku tidak dapat melihatnya dengan jelas. Namun aku yakin bayangan itu merupakan bayangan seseorang. Bayangan itu terus bergerak-gerak semakin mendekatiku.

Wuuuussshhh!

Angin malam tiba-tiba berhembus menyibakkan rambut panjangku yang sengaja kubiarkan tergerai, membuatku semakin merasa ketakutan. Suara hati seolah menyuruhku untuk lari dan segera kembali ke kamar. Tapi rasa penasaran yang mulai muncul ke permukaan membuatku tetap berdiri mematung di tempat. Aku ingin mengetahui bayangan apa itu sebenarnya. Bayangan itu semakin mendekatiku.

Deg ... Deg ... Deg ...

Suara kencang dari detak jantungku merupakan bukti bahwa aku sedang begitu ketakutan saat ini.

Tap ... Tap ... Tap ...

Bayangan itu menimbulkan sebuah suara yang berhasil tertangkap indera pendengaranku. Aku yakin suara itu merupakan suara langkah kaki seseorang. Bayangan itu semakin bergerak dengan cepat, tampaknya dia sedang berlari menghampiriku.

Kemudian ...

Bruuuuuk

Aku merasakan sesuatu menabrakku. Aku pun melihat ke arah bawah dan aku melihat seorang anak laki-laki sedang memeluk pinggangku. Jadi bayangan itu adalah bayangan dari anak laki-laki ini. Dalton ... Aku yakin anak laki-laki ini adalah Dalton.

Aku berjongkok mencoba melihat wajah anak itu dari dekat. Dalton sedang menunduk dalam diam.

"Dalton, kenapa malam-malam begini kau ada di sini? Cepatlah kembali ke kamarmu, aku antar ya."

Perlahan Dalton menengadahkan kepalanya dan betapa terkejutnya aku ketika melihat wajahnya begitu pucat. Terdapat lingkaran hitam dari sekeliling matanya.

"Ayo main kakak. Hahaha ..."

Dalton tertawa dan suara tawanya itu sungguh membuatku merinding dan ketakutan. Aku segera bangun dari posisi berjongkokku.

"Kenapa? Kakak tidak mau main denganku?" tanyanya sembari merentangkan kedua tangan ke samping seolah ingin memelukku.

"Ini sudah malam, kembalilah ke kamarmu, Dalton." Meski kusadari tingkah anak itu begitu aneh tapi aku berusaha bersikap setenang mungkin di depannya.

"Kakak jahat. Kakak sama saja dengan mereka. Aku benci Kakak."

Dalton tiba-tiba memukulku dengan kepalan tangannya yang kecil, dia terus menyerangku hingga aku begitu terkejut karena kurasakan tenaganya cukup kuat meski dia hanya anak-anak. Dia memukulku dengan keras dan tepat mengenai perutku. Tidak dapat terungkapkan dengan kata-kata rasa sakit yang aku rasakan saat ini.

"Hentikan, Dalton!"

Dalton terus memukuliku, aku mencoba lari tapi dia ikut mengejarku. Tanpa henti dia terus memukuliku.

"Hentikan! Hentikan, Dalton!"

Pukulan itu tiba-tiba berhenti karena Dalton yang tiba-tiba terdiam, pada awalnya aku merasa lega karena Dalton akhirnya menuruti permintaanku dan berhenti memukulku. Aku yang sejak tadi berlari sambil memunggungi Dalton pun kini berbalik badan. Dan kini kuketahui pemikiranku salah besar ketika aku melihat ke arah Dalton. Seseorang sedang memegangi tangan anak itu dengan kencang. Aku mengetahui orang itu memegang tangan Dalton dengan kencang karena aku melihat Dalton meringis kesakitan.

"Zero, apa yang kau lakukan? Lepaskan dia," pintaku karena aku yakin tindakan kasarnya telah menyakiti Dalton.

"Dia berbahaya. Dia juga menyerangmu, Giania."

"Tapi dia kesakitan, lepaskan dia, Zero!"

Zero sama sekali tidak menuruti perkataanku, membuat kemarahanku semakin meluap-luap. Aku mencoba melepaskan genggaman Zero dari tangan Dalton. Akhirnya tangan Zero pun terlepas. Dalton yang sudah bebas, berlari dan menjauhi kami.

"Kenapa kau membiarkan anak itu kabur?"

"Memangnya apa yang akan kau lakukan padanya? Apa kau akan membunuhnya seperti kau membunuh prajurit-prajurit istana waktu itu? Dia itu hanya anak kecil, kenapa kau tetap bersikap kasar meskipun pada anak kecil?"

"Anak itu berbahaya." Zero menggelengkan kepala, "Tidak. Rumah ini sangat berbahaya. Lebih baik kita pergi sekarang juga."

Lagi, dia mengatakan kata-kata aneh yang membuatku terbelalak sempurna. Apa-apaan dia ini selalu saja menyuruhku pergi tanpa menjelaskan apa pun serta alasan dia berpikir rumah ini berbahaya. Aku tentu saja tak akan begitu saja menurutinya. "Aku tidak akan pergi, aku akan tetap berada di rumah ini. Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku tidak akan melarangmu."

Zero berdecak, "Jangan keras kepala, Giania. Ikuti perkataanku. Ini semua demi kebaikanmu."

"Kaulah yang harus pergi. Pergi sekarang juga dan jangan pernah kembali," ujarku mulai emosi dan kesal bukan main padanya yang selalu bersikap seenaknya.

"Bukankah kau memintaku untuk menjadi pengawalmu?"

Aku sempat tertegun mendengar pertanyaannya ini. Tapi tetap saja kuputuskan tidak akan menuruti ajakannya untuk pergi dari rumah ini. Tidak sampai aku menemukan penyebab Dalton bersikap aneh seperti itu. "Aku menarik kata-kataku, aku tidak membutuhkan pengawal berhati kejam dan tidak tahu berterima kasih sepertimu. Pergilah dan jangan pernah kembali!!"

Zero terdiam, dia hanya menatapku dengan raut wajahnya yang luar biasa datar. Mungkinkah ucapanku padanya terlalu berlebihan? Tapi aku sangat marah padanya, marah pada sikapnya yang egois sehingga hanya memikirkan dirinya sendiri dan ketidakperduliannya pada orang lain.

"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan pergi," katanya, akhirnya memberikan jawaban.

Aku menggeram dalam hati, baiklah jika ini yang dia inginkan. "Ya. Pergilah!" sahutku tegas sambil membuang muka ke arah mana saja agar tidak menatap wajahnya yang terasa menyebalkan.

Zero berbalik badan dan tanpa keraguan … dia pergi meninggalkanku.