Seharian ini aku lalui dengan sangat membosankan. Aku memang menyuruh Zero untuk pergi tapi tidak dapat dipungkiri aku merasa tidak aman ketika dia tidak ada di sampingku. Seperti halnya kemarin, hari ini pun Dalton tidak keluar dari kamarnya. Sedangkan Maria dan Louis tetap bersikap ramah seperti sebelumnya.
Ketika aku menceritakan kejadian semalam pada Maria dan Louis, mereka bersikap seakan-akan tidak terjadi apa pun. Mereka bahkan tidak terlihat mengkhawatirkan Dalton. Sedikit demi sedikit aku mulai merasa heran dengan sikap Maria dan Louis. Mereka bahkan terlihat tetap tenang meskipun putra mereka mengurung diri di kamarnya seharian.
"Hei, bukankah Dalton belum memakan apa pun seharian ini?" tanyaku karena seingatku anak itu memang belum diantarkan makanan ke kamarnya yang mana artinya dia belum makan seharian ini.
"Kau tidak perlu khawatir, dia pasti sedang tidur." Dengan santai Maria berujar dengan demikian, membuatku semakin terheran-heran. Bukankah sebagai ibu kandung Dalton, Maria akan mengkhawatirkan kondisi putranya yang belum makan seharian? Kenepa justru jadi aku … orang asing ini yang lebih mengkhawatirkan kondisi Dalton dibandingkan orangtua kandungnya sendiri.
"Tapi ..."
"Sudahlah, Giania. Dalton pasti baik-baik saja." Bahkan Louis pun menjawab demikian.
Sejujurnya aku ragu akan hal itu, hati dan pikiranku tetap mengkhawatirkan Dalton. "Aku akan mengantarkan makanan ke kamarnya," ucapku seraya bangkit berdiri. Saat ini aku, Maria dan Louis memang sedang duduk santai di teras rumah mereka.
Maria dan Louis terlihat begitu terkejut mendengar ucapanku.
"Tidak perlu repot-repot, Giania. Biar aku yang mengantarkan makanan untuknya."
Louis bangun dari posisi duduknya dan tampaknya dia benar-benar pergi mengantarkan makanan ke kamar Dalton. Aku pun mengurungkan niat untuk pergi dan kembali mendudukan diri di kursi.
Suasana sangat hening karena baik aku maupun Maria, tidak ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan. Kami berdua sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing. Aku kini sedang memikirkan Zero, kemana pria itu pergi? Aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya karena aku tahu dia memiliki kekuatan yang sangat luar biasa jadi mustahil ada yang bisa menyakitinya. Hanya saja aku masih kesal jika mengingat setega itu dia meninggalkanku sendirian di rumah ini.
Waaaaaaaa!!
Keheningan ini berubah menjadi kepanikan ketika sebuah teriakan tiba-tiba terdengar. Aku yakin suara itu adalah suara teriakan Louis. Aku dan Maria segera berlari menuju sumber teriakan. Aku pun mengetahui penyebab Louis berteriak ketika aku melihat Dalton sedang memegang sebuah pisau yang berlumuran darah. Louis sedang memegangi tangannya yang terluka dan tampak mengeluarkan darah. Situasi ini membuatku mengerti meskipun aku tidak menanyakannya pada Louis. Tampaknya Dalton telah menusukkan pisau itu pada Louis dan berhasil melukai tangan Louis.
"Pergi kalian! Jangan dekati aku!!"
Dalton berteriak dengan tangannya yang masih memegang sebuah pisau.
"Ambil pisaunya! Jangan biarkan dia menyakiti dirinya sendiri dengan pisau itu!!"
Aku yang kali ini berteriak, aku sangat ketakutan dan panik. Aku takut kejadian malam itu akan terulang kembali. Aku tidak sanggup membayangkan jika Dalton menusukkan pisau itu pada dirinya sendiri.
Louis mengabaikan rasa sakit pada tangannya dan mencoba merebut pisau dari tangan Dalton. Aku dan Maria pun ikut membantu Louis. Pisau akhirnya terlepas dari tangan Dalton dan jatuh ke lantai. Aku segera mengambil pisau itu.
Dalton terus bersikap histeris dan memberontak. Dia terus berusaha melepaskan diri dari Louis dan Maria yang masih memegangi tubuhnya. Demi menenangkan dan menahan anak itu, Louis dan Maria mengikatkan tali padanya. Kedua tangan dan kaki Dalton diikat menggunakan tali yang diikatkan dengan tempat tidurnya sehingga Dalton tidak bisa melarikan diri lagi. Ya, setidaknya dengan ini aku merasa lega karena Dalton tidak akan mampu melukai dirinya sendiri lagi ataupun melukai orang lain.
"Lukamu harus segera diobati, Sayang."
Aku menoleh mendengar suara Maria mengalun, dan tatapanku kini tertuju pada Louis yang sedang meringis sembari memegangi luka irisan pisau di lengannya tepat di dekat bahu.
"Benar, lukanya harus segera diobati agar tidak infeksi." AKu ikut menyarankan karena luka itu cukup panjang dan tiada henti mengeluarkan darah.
Louis menganggukan kepala, menuruti, "Iya," sahutnya.
Maria dan Louis berjalan meninggalkan Dalton yang terikat di dalam kamar. Aku pun berjalan berniat mengikuti Maria dan Louis karena berpikir urusanku di dalam kamar anak itu sudah selesai.
"Tolong aku."
Namun suara anak kecil yang terdengar bergetar dan serak itu tiba-tiba tertangkap indera pendengaranku. Aku menghentikan langkah ketika dengan jelas aku mendengar Dalton meminta pertolongan padaku. Aku menatap ke arah Dalton. Dengan berlinang air mata Dalton pun tengah menatapku.
"Tolong aku, Kak. Aku takut sekali. Suruh mereka pergi."
Aku mengerjapkan mata. Untuk pertama kalinya Dalton berbicara denganku layaknya anak yang normal. Dan apa dia bilang barusan? Siapa mereka yang dia maksud?
"Mereka? Siapa yang kau maksud, Dalton?" tanyaku karena sungguh aku tak mengerti siapa orang yang dia maksud.
"Mereka ... Mereka ..."
Aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Dalton yang terbata-bata. Sebenarnya siapa yang dimaksud oleh Dalton? Aku meneguk ludah, sebelum kulangkahkan kaki untuk mendekati ranjang tempat Dalton diikat. Entah kenapa jantungku berdetak begitu cepat sekarang. Mengingat Dalton yang sering bersikap aneh dengan melukai dirinya sendiri dan orang lain mungkin menjadi penyebab aku sedikit ragu dan takut untuk mendekati anak itu.
"Giania, apa yang kau lakukan di sini? Biarkan dia sendiri. Setelah dia tenang, kita akan melepaskannya."
Suara Maria yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang itu membuatku sangat terkejut. Tapi tampaknya memang benar yang dikatakan Maria. Tidak ada pilihan lain saat ini selain membiarkan Dalton tetap terikat seperti itu.
"Ayo pergi!!"
Maria merangkulku dan mengajakku pergi meninggalkan Dalton. Sebenarnya aku enggan untuk pergi karena penasaran ingin bertanya pada Dalton siapa orang yang dia maksud tadi. Mungkinkah ada makhluk misterius yang sering mengganggunya seperti hantu penghuni rumah ini? Siapa yang tahu karena anak-anak seusinya biasanya bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat oleh orang dewasa seperti kami.
"Kak, tolong aku ..."
Langkahku kembali terhenti dan untuk kesekian kalinya aku menoleh ke arah Dalton.
"Sudah biarkan saja dia. Kalau kita melepaskannya sekarang dia akan memberontak lagi seperti tadi. Untuk saat ini kita terpaksa mengikatnya seperti itu sampai dia tenang," ucap Maria mengingatkan. Dan ya, aku sependapat dengannya karena ada kemungkinan Dalton akan memberontak lagi seperti tadi jika kami nekat melepaskan ikatannya. Walau rasa kemanusiaanku tersentil, aku dengan terpaksa kembali melangkahkan kaki beriringan dengan Maria yang masih merangkulku dari samping, menuntunku untuk pergi meninggalkan kamar Dalton.
Suara Dalton yang meminta tolong itu terus terdengar, namun untuk saat ini aku harus meninggalkannya. Aku berharap dia akan segera tenang karena aku tidak tega melihatnya terikat seperti itu.