Chapter 9 - KUTUKAN PART 1

Seperti halnya dengan kemarin malam, malam ini pun suasana di desa ini terasa begitu ramai. Penduduk desa keluar dari rumah mereka masing-masing dan melakukan aktivitas seolah-olah sekarang siang hari. Penampilan mereka pun terlihat berbeda dengan penampilan mereka ketika siang hari. Saat ini mereka terlihat bersih dan terawat, layaknya manusia normal.

Baik Zero dan aku, kami hanya terdiam menyaksikan keanehan ini.

Aku merasa senang karena Zero bersedia mengabulkan permohonanku. Dia bersedia untuk tetap berada di sini dan tampaknya dia pun bersedia membantuku untuk menyelidiki keanehan di desa ini.

"Giania, lihatlah itu!"

Aku mengikuti arah tatapan Zero yang sedang melihat ke sebuah rumah penduduk. Sekarang aku mempercayai semua perkataan Zero kemarin. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat beberapa bayangan memasuki rumah-rumah penduduk. Meskipun dari jarak cukup jauh, aku bisa melihatnya dengan jelas. Bayangan itu berupa bayangan hitam menyerupai manusia. Mereka melayang dan memakai jubah sehingga wajah mereka sama sekali tidak terlihat.

Zero berlari menghampiri sebuah rumah yang telah dimasuki bayangan itu, begitu pun aku. Aku ikut berlari di belakang Zero.

Zero menerobos masuk ke dalam rumah itu, tentu aku mengikutinya.

Begitu memasuki rumah itu, kedua mataku dan Zero membulat sempurna, tepat di depan mata kami, kami melihat tubuh seseorang sedang terbaring dan tepat di depan tubuh itu, bayangan itu berdiri. Terlihat asap tipis bewarna putih yang sedikit demi sedikit keluar dari tubuh orang yang terbaring lalu asap itu masuk ke dalam tubuh bayangan tersebut, seolah asap itu dihisap oleh si bayangan. Asap itu? Apa itu sebenarnya? Bayangan itu, makhluk apa sebenarnya?

Meskipun aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini, naluriku mengatakan aku tidak boleh membiarkan hal ini terus berlanjut. Tanpa keraguan aku mengambil pedang yang aku sarungkan di pinggangku. Lalu aku berlari ke arah bayangan itu dan aku tebas bayangan itu dengan pedang yang kupegang. Namun, yang terjadi semakin membuatku yakin bahwa bayangan itu memang bukan manusia karena pedang ini tidak bisa menebas tubuhnya. Bayangan itu transparan, tidak bisa ditembus oleh benda apa pun. Akan tetapi, tampaknya usahaku berhasil, meskipun aku tidak berhasil melukai bayangan itu tapi setidaknya kini bayangan itu menghilang.

Sebuah pemikiran mengerikan pun terlintas di pikiranku, mungkin saja hal serupa terjadi di rumah-rumah penduduk yang lain. Aku melihat bayangan itu tidak hanya satu, tapi ada beberapa bayangan dan mereka memasuki rumah-rumah penduduk desa ini.

Aku segera berlari menuju rumah penduduk yang lain. Aku merasa lega karena Zero pun mengikutiku dari belakang.

Aku mendatangi sebuah rumah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah tadi. Tanpa ragu aku dan Zero memasuki rumah itu. Kemudian seperti halnya tadi, bayangan itu pun ada di rumah ini dan hal yang dia lakukan sama persis dengan yang tadi aku lihat.

Bayangan itu tengah menghisap sesuatu yang keluar dari tubuh orang yang tengah terbaring. Sebenarnya apa yang sedang dihisap oleh bayangan itu? Apa yang terjadi di desa ini? Sekarang aku merasakan sebuah firasat buruk yang membuat hati ini begitu tak nyaman.

***

"Hentikan! Apa yang kau lakukan? Makhluk apa kau sebenarnya?"

Bayangan itu menatap ke arahku, yang merupakan pertanda bahwa dia mengerti ucapanku. Bayangan itu melayang dan hendak menghampiriku. Sejujurnya aku merasakan ketakutan yang amat besar di dalam hati. Sosok bayangan itu memakai jubah sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya.

Bayangan itu terus melayang semakin mendekatiku, entah sejak kapan tetapi aku mampu merasakan tubuhku bergetar dengan hebat. Bayangan itu ... Mungkinkah dia akan menyerangku? Tanpa kusadari kedua mataku tertutup dengan rapat. Aku tidak berani menyaksikan bayangan itu yang terus mendekat dan sebentar lagi akan mencapaiku.

Namun ...

Aku yakin sama sekali tidak merasakan apa pun, tidak ada rasa sakit atau serangan apa pun dari bayangan misterius itu. Meskipun masih diliputi keraguan, aku memberanikan diri untuk membuka kedua mata yang sengaja kupejamkan. Sesosok tubuh tepat berada di depanku saat ini, tetapi bukan sosok bayangan itu yang berdiri tegak di depanku, melainkan tubuh seseorang yang sangat aku kenal.

Zero dengan gagahnya mencoba melindungiku dari serangan bayangan itu. Bayangan itu berhenti seakan-akan mengurungkan niatnya untuk menyerangku. Zero mengangkat tangan tampaknya dia berniat untuk menyerang bayangan itu. Zero mengibas-ngibaskan tangan pada sosok bayangan itu dan saat itu juga si bayangan memudar. Semakin memudar hingga akhirnya benar-benar lenyap dari pandangan kami.

"Makhluk apa itu?" tanyaku karena aku benar-benar baru pertama kali melihat makhluk seaneh itu.

"Ilmu sihir," gumam Zero dengan suara yang teramat pelan sehingga aku nyaris tak bisa mendengarnya.

"A-Apa kau bilang?" Aku mengulang pertanyaan untuk memastikan telingaku tak salah mendengar tadi.

Zero terdiam seribu bahasa, dia sama sekali tidak menanggapi pertanyaanku.

"Jawab aku, Zero! Kau bilang bayangan itu ilmu sihir?"

"Ya. Seseorang yang memiliki kemampuan sihir cukup tinggi mengirimkan bayangan-bayangan itu ke desa ini."

"Tapi untuk apa?"

"Kau masih tidak mengerti setelah melihat kejadian tadi?"

Zero balas melontarkan sebuah pertanyaan padaku. Sebuah pertanyaan yang membuatku memutar otak untuk menemukan jawabannya karena aku sungguh tak mengerti maksudnya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya sebuah pemikiran mengerikan pun terlintas di benakku.

"Mungkinkah ... Bayangan itu bermaksud mengambil hawa kehidupan dari tubuh penduduk desa ini?"

"Bisa jadi ..."

Tanpa mengajak atau mengatakan apa pun lagi padaku, Zero melangkahkan kakinya menjauhiku.

"Kau mau ke mana, Zero?"

"Apa kau tidak ingin melihat keadaan di rumah yang lainnya?"

Sekali lagi perkataan Zero telah membuatku memikirkan sebuah pemikiran buruk. Aku bergegas mengikuti Zero. Kami berdua memasuki sebuah rumah penduduk yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah tadi.

Begitu memasuki rumah itu, betapa terkejutnya aku ketika menyaksikan pemandangan tadi kembali terlihat di rumah ini. Sesosok bayangan yang sama persis dengan bayangan yang aku lihat tadi, kini tengah melakukan hal yang sama. Jika melihat asap yang keluar dari tubuh orang yang sedang terbaring, tampaknya memang benar pemikiranku tadi. Bayangan itu sedang menghisap hawa kehidupan dari pemilik tubuh itu.

Wuuuuuusshh!

Tiba-tiba embusan angin yang berasal dari arah belakang dapat kurasakan dengan jelas. Meskipun aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi aku yakin baru saja melihat sebuah benda terbang menuju bayangan itu. Seketika bayangan itu memudar kemudian akhirnya menghilang saat benda yang terbang itu tepat mengenainya.

Aku menoleh ke arah belakang, aku tahu betul bahwa Zero-lah yang melemparkan sebuah benda tak terlihat itu pada sosok si bayangan.

"Apa yang kau lemparkan?" tanyaku, luar biasa penasaran. Benda itu melesat cepat hingga tak bisa diikuti dengan mata telanjang.

"Hanya sebuah batu. Rupanya desa ini memang telah dikuasai oleh penyihir itu. Ayo, kita pergi!!"

Detik itu juga aku terbelalak, apa maksudnya dia mengajakku pergi?

"Pergi? Apa maksudmu kita pergi?"

"Kita sudah mengetahui jawaban dari misteri di tempat ini, keadaaan di sini sangat berbahaya jadi untuk apa kita tetap berada di desa ini."

"Aku tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat penduduk desa berada dalam bahaya."

"Ini bukan urusan kita, tidak ada untungnya kita terus berada di sini. Lebih baik kita pergi dan tidak perlu melibatkan diri dalam masalah ini."

Aku benar-benar kesal mendengar ucapannya ini, tak kusangka dia setega itu, memilih pergi alih-alih membantu penduduk desa. Tapi aku tidak akan menuruti keinginannya. Berbeda dengannya yang tidak peduli, aku sangat peduli pada keselamatan penduduk desa yang juga termasuk rakyatku.

"Tentu saja ini urusanku. Desa ini adalah bagian dari wilayah kerajaanku. Aku tidak akan tinggal diam menyaksikan rakyatku dalam bahaya."

Zero menatap tajam ke arahku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hingga tiba-tiba dia mengangkat kedua bahu tampak acuh tak acuh. "Hm, terserah kau saja. Aku tetap akan pergi. Selamat tinggal ..."

Sekarang aku menyadari bahwa penilaian awalku tentang Zero yang baik hati dan peduli kepada sesama memang suatu kesalahan. Dia bukanlah seorang pahlawan seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia hanyalah seorang pria egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Kekesalanku memuncak ketika aku melihat punggungnya yang terus menjauh hingga akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan.