Chapter 2 - KEARIFAN PART 2

"Emmm ...."

Walau terasa agak perih, perlahan aku pun membuka mata. Terlihat cahaya kuning kemerahan di depan dan aku pun merasakan kehangatan yang kini menerpa kulitku. Sedikit demi sedikit pandanganku menjadi lebih jelas. Tepat di depan, aku melihat api unggun kecil dan dua tusukan ikan yang sedang di tancapkan di pinggir api tersebut.

"Kau sudah bangun?"

Aku tahu suara ini, ini suara pria misterius yang berbahaya itu. Bagaimana ini? Apa aku harus berpura-pura tetap tidur agar nanti bisa melarikan diri.

Kriuuuuuk ... kriuuuuuk ...

Aku membekap mulut, malu luar biasa karena suara itu mengalun begitu saja dari perutku tanpa permisi.

"Aku tahu kau lapar, ayo kita makan. Sepertinya ikan bakarnya sudah cukup masak untuk kita makan."

Aku tahu suara itu berasal dari pria itu yang sedang berada di sebelah kananku. Aku tak mau menatap matanya lagi. Sambil terus menjaga pandanganku dan menatap ke arah api unggun, perlahan aku bangun dari posisi berbaring menjadi duduk. Aku sedikit menunduk, memalingkan badan ke arah kiri untuk menghindarinya.

"Anda, kenapa Anda menolongku?" tanyaku, dengan suara terbata-bata. Entah kenapa tiba-tiba merasa gugup.

"Mmm ... ikan bakar ini enak lho"

Kruuuuuk ... kruuuuuuk ...

Dengan tak sopannya, perutku kembali berbunyi membuatku semakin malu dibuatnya.

"Ini, ikan bagianmu. Ayo ambil dan makanlah!"

Dari arah kanan, aku melihat tangan pria itu yang sedang memegang tusukan ikan bakar. Tanpa merubah posisi tubuh, aku segera mengambil ikan itu dan memakannya dengan lahap. Sebenarnya aku memang sedang kelaparan.

"Aku tahu kau lapar. Ketika kau pingsan, aku terus mendengar suara perutmu itu," katanya sambil terkekeh pelan. "Ayo, makanlah. Jika masih lapar, makanlah bagianku juga, aku sudah makan tadi."

Mendengar ucapannya, membuatku semakin malu. Aku jadi menyesal karena tidak membawa sedikit pun bekal makanan saat kabur dari istana. Haah, sudahlah. Bersyukur karena Tuhan masih memberikan makanan untuk aku

nikmati.

"Kau tahu, ... ah tidak, kau selesaikan dulu saja makanmu."

Sepertinya pria itu ingin mengatakan sesuatu. Siapa sebenarnya dia? Kemampuan bertarungnya, baru kali ini aku melihat pertarungan seperti itu. Aku sama sekali tidak menyangka dua puluh prajurit bisa dibunuh dengan secepat itu olehnya. Benar-benar cepat, mataku sama sekali tak bisa mengikuti pergerakkannya. Apa dia seorang Master? Atau seorang pemburu? Oh iya, dia pernah mengatakan bahwa dirinya seorang pengembara? Tapi dari pakaian yang dia kenakan, aku merasa pernah melihat pakaian itu. Aku rasa dia masih penduduk negara ini. Di saat seperti

ini aku tidak boleh panik, walaupun aku takut. Aku harus berusaha tetap tenang, pria ini sepertinya memang berbahaya.

"Ummm, terima kasih atas makanannya. Aku rasa satu ikan ini saja sudah cukup. Tidak perlu memberikan ikan Anda padaku," sahutku, untuk menanggapi tawaran baiknya tadi.

"Jangan sungkan, aku sudah makan kok. Aku sudah tidak lapar. Oh iya, kau tahu ...." Dia menjeda ucapannya, membuatku jadi penasaran apa yang ingin dia katakan.

"A ... a... apakah aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku, karena dia masih diam membisu, tak melanjutkan lagi ucapannya yang masih menggantung tadi.

"Silakan," jawabnya, singkat.

"Kenapa Anda menolongku?"

"Pertanyaan yang tadi, ya?" Dia mengembuskan napas pelan, seolah malas membahas ini. "Aku hanya ingin menolong saja. Seperti yang aku katakan saat itu, aku tidak bisa membiarkan seorang gadis sepertimu bertahan sendirian. Itu sangat tidak adil."

"Tadi Anda mengatakan bahwa Anda ini seorang pengembara. Benarkah itu?" Aku kembali bertanya, kini aku mulai berani menatap ke arahnya.

"Begitulah, Karena sekarang kau sudah bangun dan sepertinya orang-orang yang mengejarmu telah

pergi, Aku rasa sudah saatnya untuk pergi. Sampai jumpa, Nona."

Pria itu melambaikan tangannya padaku, bersamaan dengan langkah kakinya yang terus menjauh. Hanya punggungnya yang semakin menjauh itu yang dapat terlihat oleh mataku. Semakin jauh hingga akhirnya menghilang dari pandanganku.

Entah berapa lama aku tertidur tadi, langit tampak mulai menghitam yang menandakan waktu telah berganti malam. Aku menatap ke arah api yang masih menyala menghangatkan tubuhku yang mulai kedinginan.

"Haah, aku lupa mengucapkan terima kasih padanya." Meskipun aku menggumamkan rasa penyesalan ini, tapi tampaknya semuanya percuma karena pria itu ... Dia telah pergi dan mungkin tidak akan pernah kutemui lagi.

"Aduuuh ..."

Rasa sakit yang aku rasakan di sekujur tubuh, membuatku mengurungkan niat untuk berdiri. Pertarungan tadi cukup membuat tubuhku babak belur. Jika mengingat pertarungan tadi, aku tidak pernah menyangka akan benar-benar menggunakan ayat hina. Mungkinkah di masa depan nanti aku akan menjadi seorang penyihir? Seorang

penyihir yang sangat dibenci karena memiliki kekuatan yang terkutuk.

Pria itu ... Pria penyelamatku yang sama sekali tidak kuketahui namanya, aku yakin dia pun seorang penyihir. Jelas

dia seorang penyihir yang hebat karena dalam sekejap mampu mengalahkan para prajurit istana.

Istana ... tempat itu mengingatkanku pada sang raja. Aku telah mengecewakannya, aku telah melakukan dosa besar karena telah mengkhianatinya. Tapi dengan segenap hati, aku tidak menyesali hal ini. Inilah yang aku inginkan, sebuah kehidupan bebas tanpa ada satu pun aturan yang mengikat.

"Hm, ke mana aku harus pergi?" gumaman itu terlontar dari mulutku, tentu saja tanpa ada seorang pun yang mampu menjawabnya selain diriku sendiri.

***

Cuiiiit ... Cuiiit ... Cuiiit ...

Suara burung yang saling bersahut-sahutan itu telah membuat mataku yang enggan untuk terbuka ini, dengan

terpaksa harus terbuka. Sinar matahari yang memancar dengan terang itu seketika menyilaukan mataku. Perlahan aku bangun dari posisi berbaring. Kedua mataku menerawang menatap sekeliling.

"Aku masih berada di sini, tanpa arah tujuan." Sekali lagi sebuah gumaman keluar dengan sendirinya dari mulutku. Sebuah ucapan yang hanya aku seorang yang mampu mendengarnya.

Kruuuuk ... Kruuuuk ... Kruuuuk ...

Sebuah suara yang tidak asing terdengar dari perutku. Aku meremas perut sambil merintih menahan rasa sakit

yang berasal dari perutku yang tidak dapat diajak kerja sama ini. Aku ingat baru semalam mengisi perut ini dengan ikan bakar pemberian pria misterius itu. Dan sekarang, dalam hitungan jam saja dia telah kembali meraung meminta untuk diisi.

Jika aku berada di istana, saat ini semua aneka makanan lezat pasti sudah terhidang di depan mataku. Sejujurnya aku merindukan makanan-makanan istana itu. Secepat mungkin aku menggelengkan kepala, sudah aku putuskan untuk meninggalkan semua kehidupan mewah di istana. Betapa bodohnya aku karena masih membayangkan makanan istana yang jelas tidak mungkin dapat aku nikmati lagi.

Dengan lemas aku memaksakan diri untuk berdiri. Meskipun dengan susah payah, tapi akhirnya aku berhasil berdiri. Tubuhku terasa kaku, namun sekali lagi aku memaksanya untuk bergerak. Beruntung aku masih memiliki kemampuan untuk mengendalikan tubuhku yang terasa kaku dan lemas ini.

Perlahan ... Dengan sangat perlahan, aku berjalan tanpa tujuan. Hanya satu yang ada di pikiranku sekarang, aku ingin secepatnya menemukan air untuk minum. Dibandingkan rasa lapar ini, bibirku yang kering karena kehausan jauh lebih membuatku merana.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan kelegaan sebesar ini ketika menemukan sebuah sungai yang membentang luas. Dengan terburu-buru, aku menghampiri sungai itu. Tanpa keraguan sedikit pun, aku meminum air sungai. Rasa haus ini akhirnya terpuaskan hanya dengan sekali tegukan. Air ini sangat menyegarkan.

"Sungguh menyedihkan seorang putri raja meminum air sungai yang kotor."

Detik itu juga mataku membulat sempurna, sebuah suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku, terdengar dengan jelas sedang mengejekku. Aku menoleh, dan kini menatap lurus ke arah depan. Tampak berjajar begitu banyak prajurit istana yang mengenakan pakaian tempur. Tidak ketinggalan senjata bertengger di pinggang mereka, bersiap untuk menerkamku.

"Putri, kali ini aku membawa lebih banyak prajurit. Jangan melawan lagi, aku tidak ingin menyakiti Anda seperti kemarin."

"Ivan, kenapa kau terus mengejarku?" tanyaku, sambil mendesis marah.

"Kenapa? Aku yakin sekalipun tidak menjawabnya, Anda pasti sudah mengetahui jawabannya," sahutnya sembari menyeringai. Aku hanya terdiam dengan tatapan yang lurus menatap ke arah Ivan dan pasukannya. "Kembalilah ke istana, Sang raja pasti akan mengampuni Anda. Jangan melawan lagi, Putri."

"Like fire the wind blow with anger... the evil sleep the evil wake the evil laugh."

Tatapan mataku tertuju pada sepasang mata Ivan saat ayat hina ini kulafalkan dengan tiba-tiba. Sedetik kemudian, angin kembali berembus dengan kencang, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Angin itu menuju lurus ke arah

Ivan. Ivan terlihat sangat terkejut karena jelas dia tidak memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk menahan serangan dari ayat hina yang baru saja aku bacakan. Ivan terpental dan tubuhnya membentur sebuah pohon.

Semua pasang mata tengah menatap ke arah Ivan yang sedang merintih kesakitan. Kesempatan ... Kesempatan emas inilah yang sejak tadi aku tunggu. Aku berlari menerobos air sungai untuk melarikan diri dari mereka. Beruntung air sungai ini tidak terlalu dalam sehingga aku mampu untuk terus berjalan menyeberanginya.

"Kejar dia. Kali ini jangan biarkan dia lolos. Gunakan kuda kalian, tangkap dia ...!"

Aku mempercepat lariku, meskipun sulit berlari di dalam air tapi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengeluh

apalagi untuk menyerah. Tak hentinya berharap di dalam hati agar aku segera tiba di ujung sungai ini.

Satu langkah lagi maka aku akan berhasil tiba di ujung sungai. Suaraku tidak bisa keluar karena efek dari pembacaan ayat hina tadi. Selain itu, darah kembali keluar dari hidungku. Berdasarkan pengalamanku kemarin, rasa kaku ini hanya sebentar saja aku rasakan. Aku yakin tidak lama lagi suaraku akan kembali dan aku bisa kembali membacakan ayat hina untuk menghentikan mereka.

Seketika itu juga, begitu kakiku menyentuh tanah, aku berbalik badan. Sekelompok prajurit dengan menunggangi kuda, mereka menerobos memasuki air sungai mencoba untuk mengejarku. Kuda-kuda itu tampak ketakutan, tapi penunggang mereka terus mencambukinya sehingga membuat kuda-kuda itu melawan rasa takut dan terus berlari menyusuri air sungai.

Mustahil aku bisa melarikan diri dari kejaran kuda-kuda itu yang jelas memiliki kemampuan berlari berkali lipat

dariku. Bagaimana caranya untuk menghentikan mereka? Kepanikan dan ketakutan menyelimuti pikiranku. Ayat hina, saat ini hanya itulah yang terpikirkan olehku, satu-satunya kekuatan yang mampu menyelamatkanku.

Tatapanku tertuju pada air sungai yang mengalir dengan perlahan di depanku.

"The nature ... Living ... Wake up ... Dancing ... Crushing ... The evils always love the arts..."

Dengan perlahan ... Meskipun dengan perlahan aku melihat aliran air itu mulai berjalan cepat. Lebih cepat dan semakin cepat hingga terbentuklah sebuah ombak besar dari arah kananku.

"Wuaaaaaaa ... Apa itu? Kenapa bisa ada ombak besar di sungai ini?!"

"Wuaaaaaa ... Tolong ... Tolong kami!!"

Prajurit-prajurit itu menjerit, berteriak, meronta-ronta meminta pertolongan. Begitu pun dengan kuda-kuda yang mereka tunggangi. Mereka mengikik, merintih, berlarian mencoba untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ...

Byuuuuuuuuuur!

Usaha mereka sia-sia, ombak besar itu telah melahap mereka. Menenggelamkan mereka tanpa menyisakan satu pun yang selamat. Apakah aku telah membunuh mereka? Penyesalan sempat menyelimuti hatiku. Tapi aku tersadar hanya inilah cara yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan hidupku.

Aku kembali meneruskan langkahku yang sempat tertunda. Berlari secepat yang kubisa. Sejujurnya, aku tidak ingin menyakiti siapa pun lagi, karena itu aku tidak berhenti. Aku terus mempercepat lariku.