"Haah ... Haah ... Haah ..."
Sudah cukup lama aku berlari, hingga napasku rasanya berat karena terengah. Aku bersandar pada sebuah pohon
dan sesekali mataku menatap ke arah belakang. Beruntung tampaknya mereka menyerah mengejarku. Seharusnya mereka merasa takut menyaksikan rekan-rekan mereka telah lenyap ditelan oleh ombak itu, aku berharap mereka akan jera dan berhenti mengejarku kali ini.
Napasku terasa sesak, aku mencoba untuk duduk sambil meluruskan kedua kaki. Inikah pengorbanan yang harus kulakukan demi memperoleh kebebasan yang aku idamkan? Betapa sulitnya perjuangan ini, aku tahu ini baru permulaan. Entah kesulitan apa lagi yang akan aku hadapi selanjutnya. Seorang diri? Sanggupkah aku menghadapinya seorang diri? Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas di benakku. Aku tidak tahu sampai kapan aku
mampu bertahan melewati semua rintangan ini.
Jika aku menyerah, maka kehidupanku akan kembali seperti dulu. Kehidupan yang bergelimang harta namun bagaikan hidup di dalam jeruji besi dengan berbagai aturannya yang ketat dan mengikat. Sudah cukup aku menjalani kehidupan dengan selalu dibatasi, sudah tiba saatnya untuk hidup bebas sesuai dengan yang kuinginkan.
Aku sudah membulatkan tekad, karena itu seberat apa pun rintangan yang harus dihadapi, aku akan tetap bertahan.
"Bukankah saat ini bukan waktu yang tepat untuk bersantai, Tuan Putri?"
Kepanikan itu kembali menyerangku. Kenapa? Kenapa suara itu selalu berhasil aku dengar? Kenapa mereka selalu
berhasil menemukanku?
Aku bergegas bangun dari posisi duduk dan kini tengah menatap ke arah depan. Ke arah di mana Ivan dan pasukannya tengah berderet di depanku. Aku merasa lega karena kekakuan akibat efek dari pengucapan ayat hina itu telah hilang, meskipun aku masih bisa merasakan darah masih menetes dari hidung. Kini aku sudah mampu untuk berbicara kembali.
"Ivan, kenapa kau terus mengejarku? Banyak prajuritmu yang telah menjadi korban, kenapa kau tidak menyerah saja?"
"Menyerah? Itu tidak mungkin, Putri. Saat aku menyerah, itulah saat di mana kami berhasil membawamu kembali
ke istana," katanya dengan penuh percaya diri. "Tangkap dia!!"
Prajurit-prajurit itu langsung mematuhi perintah Ivan. Mereka mengacungkan pedang ke arahku bersiap untuk menyerang.
"Apa kalian ingin membunuhku?" tanyaku.
"Sebenarnya kami tidak memiliki niat sedikit pun untuk membunuh Anda," jawab Ivan.
"Lalu kenapa kalian mengarahkan pedang kalian padaku?"
"Kami bersikap sesuai bagaimana Anda bersikap, Tuan Putri. Jadi jika Anda tidak ingin kami mengarahkan pedang ini pada Anda, ikutlah dengan kami, jangan melawan lagi."
"Pergiiii! Aku perintahkan kalian untuk kembali ke istana!!"
Hahahahahahaha ...
Suara tawa mereka membuatku sangat kesal, padahal sebelumnya mereka selalu menuruti perintahku. Tapi bagaimana mungkin sekarang tidak ada satu pun dari mereka yang mematuhiku. Mereka menertawakan, mengejek dan merendahkanku. Aku tidak menyangka mereka akan jadi seberani ini padaku.
"Kenapa kalian tertawa? Aku adalah putri raja, kalian berdosa karena telah melawan perintahku!!"
"Anda seorang putri jika berada di istana. Tapi di sini Anda bukanlah seorang putri melainkan seorang pengkhianat yang mengecewakan raja. Tangkap dia, kita bawa dia ke hadapan raja!!" Ivan kembali memberikan perintahnya.
Mereka semua berlari dengan mengarahkan pedang padaku, mengibaskan pedang di tangan seolah serius ingin menebasku. Haruskah aku menggunakan kembali ayat hina untuk menghentikan mereka? Tapi sungguh, aku tidak ingin menyakiti mereka lagi. Namun jika aku hanya berdiri mematung seperti ini, hanya dalam hitungan detik saja, mereka akan berhasil membawaku kembali ke istana. Jadi haruskah aku menggunakan ayat hina itu lagi?
Uwaaaaa ... Uwaaaaa ...
Sebelum mereka berhasil mendekatiku, satu per satu dari mereka tumbang. Tubuh mereka tersayat-sayat bagaikan terkena sebuah benda tajam. Apa yang sebenarnya terjadi? Sungguh membuatku sangat heran.
"Woi, bangun! Apa yang terjadi pada kalian?"
Ivan tampaknya sama terkejutnya denganku. Namun tidak ada yang mempedulikan pertanyaan Ivan. Mereka tampak sedang merintih kesakitan sambil memegangi bagian tubuh mereka yang mengeluarkan darah.
"Ternyata kalian itu memang pengecut. Kalian hanya berani mengeroyok seorang wanita lemah."
Suara itu ... Meskipun tidak sering aku dengar, tapi aku yakin pernah mendengar sebelumnya. Aku menengadahkan
kepala ke atas pohon di mana kujadikan sebagai tempat untuk bersandar.
Pria itu terlihat duduk dengan santainya pada batang pohon. Tangannya sedang memain-mainkan selembar daun,
raut wajahnya terlihat begitu tenang dan penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi. Pria misterius itu, mungkinkah kali ini dia akan menyelamatkanku lagi?
***
Pria itu turun dengan melompat dari atas pohon, seakan-akan terlihat terbang. Kini, dia tengah berdiri tepat di depanku.
"Haah, Kau lagi? Siapa kau sebenarnya? Berani sekali kau menghalangi kami." Ivan bertanya setelah sebelumnya mendecih menunjukan kejengkelannya karena bertemu dengan pria itu lagi. Sedangkan aku masih diam mematung dengan pandangan yang tertuju lurus pada pria yang sedang memunggungiku.
"Siapa aku? Aku pun ingin tahu siapa aku sebenarnya."
"Haah? Jangan bicara omong kosong. Lebih baik menyingkir dari hadapan kami, sekarang juga!!"
"Aku akan pergi, dengan satu syarat."
"Syarat?"
Pria itu mengangguk, "Ya. Berhentilah mengejar nona ini. Bukankah dia menyuruh kalian untuk pergi?"
"Diam kau!!" Semuanya, cepat serang dia!!" Ivan memberikan komando sembari mengangkat pedang di tangannya tinggi ke udara.
Prajurit-prajurit Ivan kembali menuruti perintahnya. Mereka berlari sambil mengayunkan pedang, bersiap untuk menyerang pria itu. Aku menatap pria misterius itu, dia sama sekali tidak memiliki satu pun senjata. Rasanya mustahil dia mampu menepis serangan dari para prajurit tanpa satu pun senjata di tangannya.
"Ambil pedangku. Kau tidak mungkin bisa melawan mereka dengan tangan kosong," ujarku, mencoba berbaik hati meminjamkan senjataku. Pria itu menoleh ke arahku dan menyunggingkan sebuah senyuman yang sukses membuat jantungku berdetak dengan kencang untuk pertama kalinya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Nona. Tapi aku sama sekali tidak membutuhkan pedang itu."
Pria itu kembali menatap ke arah prajurit-prajurit yang hendak menghunuskan pedang mereka padanya. Dengan
tenangnya pria itu membungkuk, dia terlihat sedang memungut beberapa batu yang berada di sekitar kakinya. Lalu ....
Dia melemparkan batu-batu berukuran kecil itu ke arah para prajurit. Batu-batu itu meluncur dengan cepat menuju
mereka. Betapa tercengangnya aku ketika melihat satu per satu dari prajurit yang terkena batu-batu itu seketika tumbang. Dari mulut mereka darah menyembur dengan deras. Tubuh mereka bergetar dan kejang-kejang seolah tengah sekarat. Hingga akhirnya tubuh mereka terdiam dan sama sekali tidak bergerak lagi.
Melihat rekan-rekan mereka yang mati dengan mengenaskan, para prajurit yang tersisa semuanya terdiam dengan tatapan tersirat ketakutan yang mendalam.
"K-Kau ... Sebenarnya siapa kau?" tanya salah seorang prajurit dengan suara bergetar dan serak, kentara dia begitu ketakutan.
"Pergilah jika kalian tidak ingin mati seperti mereka."
Sedikit demi sedikit para prajurit itu melangkah semakin mundur, seakan-akan mereka ingin melarikan diri.
"Apa yang kalian lakukan? Jangan dengarkan dia! Kalian ini prajurit istana, bagaimana mungkin kalah oleh pria aneh itu. Cepat lawan dia!!" Ivan berlari sambil mengayunkan pedangnya, begitu pun dengan para prajurit. Sepertinya kata-kata Ivan telah berhasil membangkitkan kembali keberanian mereka.
Ivan, dia prajurit yang sangat hebat dan tangguh. Dalam setiap peperangan, raja selalu menurunkannya untuk
memimpin pasukan. Meskipun usianya masih sangat muda, tapi kemampuannya sudah sangat diakui di istana. Dia pun sangat ditakuti oleh semua orang. Terlebih jika dia bersama dengan sahabatnya, Charls. Mereka berdua bagaikan sepasang prajurit yang tidak dapat dikalahkan. Namun saat ini aku sama sekali tidak melihat sosok Charls, ketidakhadiran Charls tampaknya membuat pasukan mereka menjadi melemah.
Ivan melompat, bersiap untuk menyerang pria itu. Akan tetapi, pria itu terlihat tetap tenang meskipun tidak
lama lagi pedang Ivan akan mampu mengenai tubuhnya.
"Awaaas!!" Teriakanku mengalun dengan sendirinya. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi padaku jika pria itu berhasil dikalahkan.
Jleeeb ...
"Uwaaaaa!!"
Ivan merintih kesakitan bersamaan dengan terdengarnya suara aneh. Suara yang menggambarkan seakan-akan sebuah senjata tajam tengah menembus tubuh Ivan. Tapi aku yakin pria itu sama sekali tidak memegang satu senjata pun. Jadi benda apa itu, benda yang mampu membuat Ivan tumbang?
Ivan tumbang dan terbaring di tanah. Dengan cepat dia bangkit dan meraba perutnya yang terlihat mengeluarkan
darah. Setelah itu, dengan mata kepalaku sendiri melihat Ivan mencabut sesuatu yang menancap di perutnya.
"Daun ... Daun ini yang berhasil merobek perutku? Kau ini sebenarnya manusia atau bukan?"
Seperti yang dikatakan Ivan, benda yang menancap di perutnya memang sehelai daun. Sehelai daun yang sangat rapuh yang entah bagaimana bisa dengan mudahnya merobek perut Ivan. Daun itu bahkan merobek pakaian besi prajurit yang tengah dikenakan oleh Ivan.
"Kapten, dia bukan lawan kita. Lebih baik kita mundur."
Ivan menggertakan giginya, tampak dengan jelas sangat murka dan dirinya sedang mati-matian menahan diri. Dengan dibantu oleh salah satu prajurit, Ivan berdiri. Dengan kemurkaan di wajahnya, dia melontarkan kata-kata yang menunjukkan bahwa dirinya belum menyerah untuk mengejarku. "Kali ini kami mundur, tapi jangan mengira kami akan berhenti. Kami pasti akan kembali!"
Dibantu oleh dua orang prajurit, Ivan naik ke atas punggung kudanya. Setelah menatap sinis padaku dan pria yang masih tegap berdiri di depanku ini, Ivan beserta prajuritnya memacu kuda untuk berlari meninggalkan tempat ini.