Chapter 4 - SEBUAH NAMA PART 1

Langkah kaki pria itu sangat cepat, hingga membuatku hampir tidak sanggup untuk mengejarnya.

"Kenapa kau terus mengikutiku?"

Aku menghentikan langkah, ketika pria itu menanyakan hal itu dengan tatapan matanya yang tajam menatapku.

"Aku mohon, izinkan aku ikut denganmu."

"Aku ini seorang pengembara. Aku tidak memiliki tujuan, jadi sebaiknya kau tidak perlu mengikutiku," ucap pria itu dengan tatapan datarnya.

"Kita ini sama, aku juga tidak memiliki tujuan."

Pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya, begitu pun denganku. Aku terus berjalan di belakangnya.

Sedikit demi sedikit langit mulai menghitam yang menandakan malam akan segera tiba. Tapi, pria itu tidak menunjukkan tanda bahwa dia akan menghentikan langkah kakinya.

"Hei, Bisa kita istirahat sebentar. Apa kau tidak merasa lelah?"

Seakan-akan tidak mendengarkan suaraku, dia tetap berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke arahku yang jelas-jelas sedang mengajaknya berbicara.

Rasa lelah yang aku rasakan membuatku tidak mampu untuk mengendalikan langkah kakiku. Sesuatu yang tajam tanpa sengaja aku injak. Seketika itu juga rasa sakit yang amat sangat aku rasakan tepat di telapak kakiku.

"Aduuuh!!"

Aku berjongkok dan menatap telapak kakiku yang tengah mengeluarkan suatu cairan berwarna merah yang tidak lain adalah darah.

"Kau menginjak duri."

Entah sejak kapan pria itu berjongkok di depanku. Dia menyentuh kakiku dan menatap luka di kakiku tanpa berkedip.

"Ini akan sedikit sakit, kau harus menahannya."

"Hm, apa maksu .... "

Sebelum aku menyelesaikan perkataanku, rasa sakit dan perih yang tidak terkira kurasakan tepat di telapak kakiku.

"Kyaaaaaaaaaaaaa!!"

Suara jeritan itu, tanpa mampu kukendalikan terlontar dengan sendirinya dari mulutku.

"A-Apa yang kau lakukan?" tanyaku sembari berusaha menarik kaki yang masih digenggamnya.

"Duri. Aku hanya mencabut durinya. Jika tidak dicabut, lukamu akan semakin parah."

Breek!

Terdengar suara robekan, pria itu dengan lancangnya telah merobek rokku.

"Apa yang kau lakukan?"

"Ssstttttt, diamlah. Ini demi kebaikanmu."

Kain yang berasal dari rokku, dia ikatkan pada luka di kakiku. Dia cukup cekatan membalut luka, seakan-akan sudah sering melakukannya.

"Lukamu akan segera sembuh," katanya, lalu meletakan kakiku dengan perlahan di tanah dan dia pun kembali bangkit berdiri.

"Te-Terima kasih," ucapku sambil menahan malu karena tadi sempat berpikir buruk bahkan berteriak-teriak di depannya.

Pria itu menumpuk beberapa ranting kering dan mengambil dua buah batu. Hanya dengan sekali menggesek kedua batu itu, ranting-ranting kering itu tiba-tiba terbakar api.

"Sudah hangat, kan?"

"I-Iya," sahutku sambil mengangguk.

Pria itu duduk berhadap-hadapan denganku. Dilihat dari arah mana pun, dia terlihat sangat tampan. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang berwarna merah membuat wajahnya terlihat mempesona. Meskipun dia seorang pria tapi dia memiliki kulit yang putih bersih. Bola matanya yang besar yang memiliki sebuah cahaya yang entah kenapa selalu membuatku tidak bosan untuk menatapnya. Dia sedang menunduk menatap api yang tengah berkobar. Tatapannya terlihat kosong, mungkinkah ada yang sedang dia pikirkan?

"Kenapa kau terus menatapku? Apa wajahku terlihat aneh?"

Terkejut sekaligus malu aku rasakan saat ini. Aku tidak menyangka dia akan menyadari bahwa aku tengah menatapnya.

Rambutnya yang berwarna perak itu menambah pesonanya. Terutama rambut panjangnya, memperlihatkan dengan jelas bahwa dia memang seorang pengembara.

"Hei, jawab pertanyaanku, kenapa kau terus menatapku?" tanyanya lagi dengan mata memicing penuh curiga padaku, mungkin karena aku tidak merespon pertanyaannya yang tadi.

"Ti-Tidak. Aku tidak sedang menatapmu kok," jawabku dan kini aku memalingkan tatapan ke arah lain.

Suasana tiba-tiba berubah menjadi hening. Tidak ada satu pun dari kami yang memulai percakapan. Jujur, aku benci dengan suasana canggung seperti ini, karena itu aku mencoba mencairkan suasana.

"Oh iya, Aku belum mengucapkan terima kasih karena kau telah menyelamatkanku. Terima kasih sudah dua kali menyelamatkanku," ucapku, tulus.

"Aku hanya tidak suka melihat seorang wanita diperlakukan dengan kasar dan tidak adil seperti itu. Jadi kau tidak perlu berterima kasih."

"Hm, boleh aku tahu namamu?"

Dia terdiam seribu bahasa. Dia hanya menatap tajam ke arahku tanpa mengeluarkan sedikit pun suaranya.

"Hm, Maaf. Aku lupa belum mengenalkan diri padamu. Perkenalkan namaku, Giania."

"Giania," gumamnya pelan, yang hanya kutanggapi dengan anggukan.

"Siapa namamu?" tanyaku lagi.

"Jika melihat para prajurit yang mengejarmu, sepertinya kau seorang putri."

"Begitulah."

"Apa kau melarikan diri dari istana?"

"Begitulah."

"Kenapa kau melarikan diri?"

Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Sempat ragu untuk menjawab, tapi mengingat dirinya yang sudah begitu baik padaku, akhirnya kuputuskan untuk menjelaskan segalanya. Lagi pula firasatku mengatakan, dia bukan orang jahat.

"Aku tidak tahan lagi dengan kehidupan istana yang penuh dengan aturan. Aku juga tidak bisa menuruti perintah raja yang menurutku terlalu berlebihan. Dia menyuruhku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ingin aku lakukan. Kau tahu, aku selalu iri dengan burung-burung yang terbang bebas di langit. Aku ingin seperti mereka, yang bisa pergi ke mana pun yang mereka inginkan. Hidup bebas tanpa ada satu pun aturan yang mengikatku ataupun orang yang melarangku."

Pria itu menatapku tanpa berkedip, membuatku salah tingkah dan merasa gugup.

"Ke-Kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" tanyaku.

"Kau itu aneh. Padahal semua orang pasti ingin menjadi sepertimu. Bisa mendapatkan kemewahan dengan hidup di istana. Semua orang di istana menghormatimu dan melayanimu."

"Mereka mungkin berpikir tinggal di istana itu menyenangkan, tapi sebenarnya itu tidak benar. Hidup di istana bagaikan hidup di dalam sangkar emas. Lagi pula sebenarnya kaulah yang aneh, kau bilang kau itu seorang pengembara. Itu artinya kau pun lari dari rumahmu, keluargamu. Benar, kan?"

Pria itu kembali terdiam. Aku menyadari terlalu berlebihan, seharusnya aku tidak berbicara seperti itu. Mungkin perkataanku ini telah membuatnya tersinggung.

"Kau salah." Dia kembali berbicara, membuatku merasa heran dengan maksud perkataannya.

"Aku tidak melarikan diri sepertimu. Aku mengembara karena mencari jati diriku."

"Haah? Apa maksudnya?"

"Tadi kau bertanya siapa namaku, bukan?"

"Hmmmm," gumamku, sambil mengangguk.

"Sebenarnya alasanku diam dan tidak menjawab pertanyaanmu, itu karena aku tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan padamu."

Mendengar penjelasannya, aku mulai memahami situasi yang sedang dia alami. Tetapi aku belum yakin dengan pemikiranku ini, karena itu aku segera menanyakan langsung padanya.

"A-Apa kau tidak mengingat namamu?"

"Bukan hanya nama, aku bahkan tidak tahu siapa keluargaku, di mana rumahku atau bagaimana kehidupanku di masa lalu. Aku tidak dapat mengingat apa pun."

Ekspresi wajahnya terlihat sangat sedih, membuatku merasa bersalah dan tidak tahu apa yang harus aku katakan dalam situasi seperti ini.

"Kau sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu tadi, kan? Jadi mulai sekarang jangan bertanya namaku lagi. Kau mengerti, kan? Karena aku sendiri tidak bisa memberikan jawabannya."

Hanya sebuah anggukan yang bisa aku berikan padanya. Kemudian pria itu berdiri, entah ke mana dia akan pergi?

"Kau mau ke mana?"

"Mencari makanan, kau pasti lapar, kan? Aku akan mencari makanan sebelum perutmu itu mengeluarkan suara aneh lagi seperti kemarin."

Sungguh memalukan, dia sedikit pun tidak melupakan tentang kejadian memalukan itu. Jika di sini ada cermin, aku yakin akan bisa melihat wajahku yang pastinya sedang memerah saat ini.

Tak berapa lama, dia kembali muncul dengan membawa beberapa buah-buahan di tangannya. Dengan lahap kami memakan buah-buahan itu. Meskipun rasanya sedikit asam tapi rasa lapar telah membuatku mengabaikan hal itu dan menghabiskan buah-buahan itu tanpa tersisa.

"Sudah larut malam. Waktunya untuk tidur," katanya, setelah kami selesai makan.

"Ya," jawabku, setuju.

Pria tanpa nama itu berjalan dan duduk tepat di bawah sebuah pohon. Setelah itu, dia menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kedua matanya yang indah itu terpejam. Meskipun dari kejauhan, aku tidak henti-hentinya menatap keindahan dari wajah si pria tanpa nama.