"Dia itu adalah anggota TNI, jabatannya Perwira," tukas umi Arsyla.
sedikit terkejut mengetahui Rayyan adalah Tentara, karena setahu dia, tentara identik dengan orang berwajah sangar dan berkukit hitam, tapi, tidak dengan Rayan.
Kembali Arsyla mengingat postur tubuh dan model potongan rambu Rayyan. Rupanya dia tidak fokus denhan apa yang abahnya katakan di depan tadi.
"Pertimbangkan dulu, Nduk. Masih ada waktu tiga hari pergunakan dengan baik, minta petunjuk pada Allah melalui istiqarahmu." Umi Arsyla tersenyum lembut sambil mengelus ujung kepala putrinya.
************
Sekitar tiga puluh menit Jordhan terus mengawasi rumah Arsyla dari kejauhan, ia memantau melihat siapa yang tengah bertamu.
Tak lama kemudian keluar pria berusia paruh baya dan satu lagi pria muda tingginya kira-kira 180cm an.
Jordhan menebak-nebak siapa pria itu, pikirannya semakin kacau saat mengingat tradisi islam yang masih banyak melakukan perjodohan untuk putra putri mereka yang telah beranjak dewasa.
Sekuat tenaga Jordhan menahan diri untuk tidak datang ke rumah Arsyla, meski dirinya sudah hampir gila. Ia menunggu abahnya keluar, ia hafal betul dengan jadwa-jadwal abah Arsyla sebagai muslim yang taat.
Waktu yang ditunggu pun tiba. Dengan memakai pakaian serba putih serta sorban, nampak abahnya Arsyla keluar rumah berjalan kaki menuju ke masjid ponpes Baitil Jannati kira-kira 500meter dari rumah beliau.
Dengan cepat Jordhan segera menyebrangi jalan dan masuk pagar rumah Arsyla memencet bel beberapa kali.
Arsyla yang tengah bersantai di dalam kamarnya, sesegara mungkin menyambar jilban yang digantung di belakang pintu begitu mendengar suara bel rumah berbunyi.
Dengan langkah terburu-buru gadis itu segera ke ruang tamu dan membukakan pintu.
Ia tercengang melihat siapa yang berdiri di balik pintu.
Pria dengan postur tinggi, besar, berkulit putih dan mengenakan topi hitam untuk menutupi rambut pirangnya. menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Arsyla ternganga antara terkejut dan tidak mempercayai pandangannya, "Jordhan."
Pria itu masih saja diam, lalu menoleh ke belakang melihat keadaan sekitar setelah pandangannya teredar ke dalam rumah Arsyla.
"Siapa yang baru saja datang?"
Arsyla berfikir cepat, dan secara spontan ia menjawab, "Karna kau sudah tahu, kuperjelas, dia adalah calon suamiku, ya sudah aku masih sibuk."
Dengan segera Arsyla menutup pintu dan menguncinya, tanpa peduli dengan Jordhan yang masih di luar ia berlari kembali ke kamarnya.
Cukup lama Jordhan masih terpaku di depan pintu, ia menanti sesuatu yang tak terduga dari dalam pintu itu, tapi, sepertinya mustahil.
Jordhan tersenyum getir membalikan badan lalu pergi, karena itu akan sia-sia. Nyatanya sudah lebih dari sepuluh menit ia di sana menunggu dan berharap Arsyla kembali membukakan pintu lalu mengatakan kalau perjodohan itu hanya lelucon. Tapi, itu hanya ada dalam imajinasi Jordhan saja.
Jordhan terus berjalan meyusuri panasnya ibu kota, badannya terasa ringan bagaikan kapas, berjalan mengikuti langkah kakinya tanpa merasa lelah. Dan tak disadari, kini dia sudah berdiri di depan rumahnya, jarak antara rumahnya dan rumah Arsyla kira-kira sembilan kilometer. Di tempuh dengan jalan kaki.
Sementara Arsyla merasa seluruh tubuhnya lemas, ia duduk bersandar di balik pintu kamarnya yang sudah ia kunci sambil menyeka air matanya.