"Jordhan, maafkan aku, aku tidak bisa." Gadis itu tertunduk menyembunyikan buliran bening yang mulai keluar dari ujung matanya.
"Kenapa? Apakah karna kita berbeda?" ucap pria itu dengan wajah sayu.
"Kau tahu alasannya, jadi mulai sekarang, kumohon, berhentilah berharap padaku. Jangan siksa dirimu dengan perasaan semu ini." gadis itu pun pergi berlari menjauhi pria di depannya. Terlihat dari belakang ujung jilbab putih yang dikenakannya melambai-lambai seolah mengucapkan selamat tinggal.
Pria blasteran Indonesia-Spanyol itu hanya beku menatap gadis yang ia cintai sejak bangku SMA dulu. Meski, dari awal gadis itu sudah memberi ketegasan bahwa mereka tidak dapat bersama dengan alasan apapun, namun, pria itu masih saja tidak menyerah
Hati pria itu selalu yakin kalau dialah wanita yang akan di takdirkan untuknya. Meski, ia tidak tahu apa alasannya.
Di tempat lain.
Di dalam kamarnya, Arsila segera menunaikan sholat Ashar setelah mengambil wudhu. Tak lupa ia bermunajah, mengadukan seluruh perasaanya pada Robbya.
"Ya Allah, engkau tahu dan melihat selama ini aku sangat mencintai Jordhan. Tapi karena kami tidak seiman, dengan sekuat hati aku menjauhinya meski meninggalkan luka yang mendalam."
Air mata Arsyla kembali meleleh membasahi pipinya.
"Ya Allah, aku tidak pernah meragukan apa yang sudah kau tetapkan menjadi takdirku. Jika memang Jordhan bukan jodohku, hapuslah rasa cinta ini untuknya, hadirkan pria sholeh untukku. Curahkanlah seluruh cintaku padanya, agar tak lagi ada cinta untuk yang lain. Tapi, andai dia memang jodohku yang sudah kau tulis di louh mahfud persatukan kami dalam satu iman dan islam."
Tiada hentinya buliran bening itu terus meleleh, membuat kedua mata Arsyla terlihat merah dan sedikit membengkak.
Ia bangkit dari sujudnya, lalu bergegas ke toilet kamar untuk mencuci wajahnya. Meski sudah berlali-kali matanya masih saja terlihat merah, tapi apa boleh buat, ia harus tetap keluar kamar untuk membantu uminya menyiapkan makan malam.
Hingga ba'da sholat Magrib Arsyla baru berani keluar dari kamar, turut membantu uminya memasak untuk makan malam.
"Sil, kamu akhir-akhir ini, kok, jarang banget keluar kamar. Ada apa?" tanya ibunya sambil menumis sayur.
"Banyak tugas dari kampus, Umi. Habis isya' kan ke pesantren bantu-bantu Mbak Nuraini, takutnya keburu ngantuk kalau tidak segera dikerjakan," Kilah Arsyla tanpa menghentikan aktivitasnya mencuci perabot yang baru saja digunakan untuk memasak.
"Ya sudah, tapi kamu tidak ada masalah, kan?"
Gadis itu tersenyum lembut sambil mengelengkan kepalanya, "Tidak, Umi."
*******
"Ssttt... Ssssttt! Dhan, itu Arsyla, tuh!"
Dion berbisik pada sahabatnya saat melihat gadis berhijab biru dengan setelan blus panjang dan rok jeans menutup sampai mata kaki.
Meski kemungkinan Arsyla juga mendengar. Jangankan menghentikan langkah untuk menyapa, menolehkan kepala kepada mereka pun tidak.
Sementara Jordhan hanya menatap gadis yang ia cintai sejak kelas 1 SMA itu menjauh.
"Bro, kamu kenapa lagi? Marahan sama, Syla?" Mata Dion melihat ke arah Jordhan dan Arsyla bergantian.
"Tidak, kami tidak ada masalah, ya sudah, ayo! Sebelum dosen datang ke kelas kita masuk, aja, yuk!"
Jordhan merangkul pundak Dion berjalan bersama menuju kelasnya. Kebetulan mereka mengambil satu jurusan.
Selama mata kuliah berlangsung semua berjalan lancar. Namun, saat kelas telah usai, Dion menghadang Arsyla di depan pintu.
"Syl, kamu marahan sama Jordhan, ya? Kasian tu jadi pemurung. Semalam juga tidak tidur dia."
"Kami tidak ada masalah, Dion. Maaf aku mau lewat, aku harus segera pulang," ucap Arsyla lemah lembut tanpa menatap pria yang menghadangnya.
Dion memandangi wajah di balik kerudung biru yang cantiknya alami tanpa polesan mekap
dan kalem itu.
Merasa risih diperhatikan sedemikian rupa oleh pria, Arsyla menundukan pandangannya. Dan sekali lagi ia ucapkan, "Permisi, Dion aku harus segera pulang."
Pria berdarah Jawa dan Jambi itu akhirnya menyerah, menggeserkan tubuhnya dan memberi akses jalan untuk gadis di depannya lewat.
Ketika memasuki pagar rumahnya terlihat sebuah mobil Alphard putih terparkir di halaman rumahnya.
Arsyla tidak asing dengan mobil itu, ia tahu siapa yang bertamu.
"Asaalamualaikum," Arsyla pun masuk dan ternyata benar. Abdi Kyai Baitil Jannah yang tengah bertamu.
"Waalaikumssalam," jawab mereka yang ada di dalam serempak.
"Sudah pulang kamu, Nduk?" Umi Arsyla langsung menyapa putrinya yang baru saja pulang dari kampus.
Setelah bersalaman mencium tangan abah dan uminya, Arsyla menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai ganti bersalaman pada yang bukan muhrim.
"Apa kiranya yang membuat Pak Abdullah kemari, ya? Gak biasanya," gumam Arsyla seorang diri.
Seperti biasa Arsyla membuka kembali mata kuliahnya usai sholat Ashar, tiba-tiba masuk sebuah pesan dari Jordhan.
[Sil, kamu yakin mau begini terus tanpa mencoba berbicara dulu sama abah dan umi kamu?]
[Dhan, kamu tahu sendiri abah dan umi orangnya bagaimana? Mereka sangat menegakkan apa yang sudah agama kami tetapkan.]
[Jika aku berubah keyakinan, menganut agamamu apakah kau bersedia menjadi istriku?]
[Maaf, kau melakukan bukan karna lillah dari hatimu, tapi demi aku, aku tidak bisa menerimamu.]
[Kenapa? Bukannya kamu mau yang seiman?]
Arsyla mendesah kesal, jika ia menjelaskan panjang lebar kepada Jordhan itu juga akan sia-sia saja. Pria itu tidak akan pernah bisa mengerti.
[Jika kamu masuk islam karna suka aku, jika cintamu sudah pudar tidak menutup kemungkinan kau akan kembali pada keyakinan lamamu, aku tidak mau kau mempermainkan agamaku.]
Sejak balasan itu Arsyla meletakkan gawainya dan kembali mengerjakan tugas yang diberikan dosen.