"Arsyla, ini Umi buatkan kamu wedang jahe. Diminum, ya, biar gak masuk angin." Umi Halimah tiba-tiba saja muncul dengan segelas besar wedang jahe di tangannya, lalu meletakkan di meja Arsyla.
"Aduh, Umi! Terimakasih, harusnya tidak perlu begini, Arsyla bisa bikin sendiri nanti," ucap Arsyla merasa tidak enak pada wanita yang telah melahirkan, dan merawat dirinya sejak kecil.
"Tidak apa-apa. Kok bisa kamu sampak basah kuyub begitu? Apa kamu tidak berteduh?"
Arsyla diam sejenak, dia bingung harus beralasan apa, karena ia tidak terbiasa berbohong. Sementara, jika mengatakan yang sejujurnya juga tidak mungkin, kan?
"Tadi itu pas keluar kampus menunju jalan raya hujan langsung deres, Umi."
Matanya tidak berani memandang wajah uminya, ia dengan cepat mencari alasan meraih segelas wedang jahe yang dibuatkan uminya.
****
Malam itu usai Magrib jelang Isyak, Arsyla sudah tiba di Ponpes Baitil Jannati. Ia melihat ada yang berbeda dengan Mbak Nuraini. Ia nampak murung, dan banyak diam.
Awalnya Arsyla merasa itu hanyalah perasaannya saja. Tapi ternyata tidak, Ruroh yang biasa suka isengin Mbak Nur juga nampak diam seolah ikut bersedih, tapi apa yang mereka sedihkan?
Sempat Arsyla berfikir keras menebak-nebak sampai ia pun lupa kalau baru saja ada hal besar terjadi dengannya.
"Mbak, kenapa? Kok murung saja?" tanya Arsyla, memberanikan diri.
"Tidak apa-apa, kok Syl. Ayo, kita mulai mengajar sebelum para santri bikin gaduh," ajak gadis berbadan tinggi langsing berkulitan sawo matang tersebut.
Arsyla hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman. Setelah mbak Nur berlalu, Arsyla sempat bertanya pada Ruroh untuk menghilangkan rasa penasarannya. Tapi, ketika ia hendak menjawab, seorang santri berlari ke arah mereka, melapor kalau salah satu murid Arsyla ada yang mimisan. Jadi, ia pun berlari, dan tidak sempat mendengar penjelasan dari salah satu sahabatnya.
Sampai kegiatan belajar usai, ketiga gadis yang biasanya selalu bercanda kini mereka hanya diam, hawa mello rupanya menyelimuti hati masing-masing.
Suasana yang biasanya selalu ceria kini menjadi kaku, semua sibuk dengan permasalahan hati masing-masing. Sebenarnya, bisa saja Arsyla mengesampingkan masalahnya, dan bertanya pada Ruroh kenapa mbak Nur sebenarnya. Tapi, tidak enak saja. Mbak Nur berada di dekat mereka.
"Syl, abah kamu sudah menunggu di depan," ucap Nuraini yang melihat Arsyla melamun sambil bertopang dagu di atas meja sambil menatap kosong ke arah jendela.
"Oh. Iya, Mbak. Makasih, aku duluan, ya. Assalamualaikum!" Serunya langsung bergegas.
"Waalaikumssalam," jawab dia gadis itu bersamaan.
Saat tiba di depan pintu kelas, Aryla menemukan buku kecil seperti diary tanpa gembok. Takut di dalamnya terdapat catatan arab milik siswa, ia memungutnya dan berniat mengembalikannya besok.
Karena buru-buru takut abahnya menunggu lama ia memasukan buku ersebut ke dalam tasnya. Namun, tampa sengaja ia menjatuhkan secarik lipatan kertas yang mungkin tersisip dalam buku itu.
Dengan Cepat Arsyla memungutnya dan langsung memasukan begitu saja kertas tersebut kedalam tasnya lagi.
Selama perjalanan pulang Arsyla hanya diam saja, biasanya dia ada sedikit bercengkrama dengan abahnya, tapi ini sama sekali tidak.
Sampai tiba di rumahnya, ia juga hanya bersalaman pada uminya dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya ia membenarkan kembali ponselnya yang basah dengan memasukan memory dan sim card nya ke dalam ponsel dan menyalakannya.
Beruntung, hp nya normal dan tidak ada satupun dokumen yang hilang atau eror.
Setelah mengutak atik ponselnya sebentar, ingatannya kembali pada buku dan kertas yang ia temukan tadi. Karena penasaran ia membuka lipatan kertas itu terlebih dahulu.
Arsyla terkejut, ia menutup mulutnya yang sedikit terbuka, tidak mempercayai apa yang tertulis di atas kertas berwarna merah jambu itu, ia membaca berulang kali.
'Assalamaualaikum.
Maaf, Mas Rayyan jika aku berani mengirimkan surat lagi kepadamu. Insyaallah, ini akan jadi surat yang terakhir kali.
Dari awal aku mengirim surat aku sadar siapa diri ini, Mas. Aku tahu perbedaan antara aku dan kamu.
Tapi, wanita mana yang tidak jatuh hati pada pria sepertimu? Coba jawan aku? Kau tampan, sholeh, santun dan sangat lembah lembut.
Aku juga tahu, tidak hanya aku seorang santri wati yang mengharapkanmu sebagai imam di Baitil Jannati. Tapi, apakah salah jika aku mencoba?
Perasaan ini datang begitu saja tanpa kuminta, meski aku sudah berusaha membuangnya jauh-jauh, tapi, semakin aku melupakanmu semakin kuat ingatanku tentangmu.
Sampai pada akhirnya takdir telah menyadarkanku, kemarin tanpa sengaja kumendengar berita tentang pertunanganmu dengan seorang Hafidzah yang menempuh pendidikan S1. Itu benar-benar membuatku sadar akan posisiku. Dia layak bersanding dengan Perwira sepertimu.
Selalam ya Mas, semoga sampai ke pelaminan dan langgeng dalam ikatan samawa.
Wassalamualaikum.
Nuraini"
Arsyla menaruh kertas itu di atas meja, ia merasa panik dan takut badannya gemetaran serta tangannya berkeringat.
"Benarkan mbak Nuraini selama ini menyukai mas Rayyan yang dijodohkan denganku? Lalu, apakah tamu bu nyai kemarin yang tadi pulang itu keluarganya mas Rayan, ya? Aku harus tanya abah," gumam Arsyla berjalan cepat mencari abahnya.