"Mau kemana, Nduk buru-buru, gitu?" sapa abahnya di ruang tengah.
"Tidak, Bah. Anu, kemarin Bu Nyai kedatangan tamu, ya?" tanya Arsyla ragu-ragu.
"Iya, kamu kok tahu? Itu adiknya Bu Nyai yang datang, orang tuanta Rayyan, membahas pertunangan kalian," jawab abah Arsyla.
Arsyla nampak bingung membenarkan isi surat itu ditujukan mbak Nur kepada Rayyan calon suaminya.
"Oh, begitu ya, Bah. Ya sudah," ucap Arsyla lalu beranjak kembali ke kamar.
"Iya, Rayyan kemarin juga ikut. Mereka menginap satu malam di sana."
Arsyla tidak menjawab melainkan hanya tersenyum. Kemudian, gadis bermata lebar itu pun berpaling arah untuk kembali ke kamarnya.
"Kenapa tanya demikian, Nduk? Apakah kamu tanpa sengaja bertemu dengan calon suamimu di sana?" tanya abah, penasaran.
"Tidak, kok Bah. Soalnya, kemarin Ruroh bilang kalau dalem sedang kedatangan tamu," jawab Arsyla menjelaskan. Sebab, ia tahu seperti apa abahnya. Jika tidak diberi jawaban yang jelas, tidak akan bisa berhenti bertanya.
Tiba di kamarnya ia memegangi buku diary tanpa gembok itu, awalnya dia berusaha mengabaikannya. Tapi, rasa penasarannya jauh lebih besar.
"Tidak! Tidak perlu, surat barusan sudah mewakili segalanya, agar tidak perlu mengetahuinya lebih jauh lagi," gumam Arsyla kembali meletakan buku itu di atas meja.
Saat itu Arsyla lebih banyak diam, ia membayangkan apa jadinya jika ia menikahi pria yang selama ini dicintai sahabatnya. Bagaimana reaksi Nuraini jika melihatnya? Akankah Nuraini akan hadir dalam acara pernikahannya kelak, jika tahu kalau dialah wanita yang dijodohkan dengan Rayyan?
Arsyla tetap merasa tidak nyaman dengan semua ini, ia merasa akan hidup dalam penderitaan Nuraini, meskipun ia belum tentu bahagia dengan Rayyan. Karena, di hatinya masih terukir jelas nama Jordhan. Pria nonis (nonislam) yang membuat dirinya mengenal apa itu cinta.
"Ah, kenapa dalam setiap masalah yang aku pikirkan selalu saja terhubung dengan dia?" Arsyla merobohkan badannya di tas meja sambil menempelkan pipi sebelah kirinya di atas buku-buku yang berserakan.
Tangannya meraih ponselnya yang sudah hampir sejam tadi ia aktifkan, ia mainkan dan menyekrol semua pesan-pesan yang masuk, tak ada satupun pesan dari Jordhan.
"Apakah dia akan benar-benar menjauhiku setelah kejadian tadi?" gumamnya seorang diri.
Sekuat apapun Arsyla mencoba menghindari Jordhan, tetap saja jika tak ada kabar darinya dia masih tidak biasa. Meskipun akhir-akhir ini setiap pertemuan bahkan chat nya hanya berisi pertengkaran, dari lubuk hatinya paling dalam ia tetap merindukan pria itu. Bahkan, rasanya lebih baik bertengkar asal tahu kabar daripada seperti ini.
Bagi Arsyla dialah warna dalam hidupnya. Tanpanya, hidup terasa hambar. Tapi, mau sampai kapan begini terus? Berdosa sekali jika sampai pernikahan terjadi dia masih menjadikan pria lain sebagai semangatnya.
'Sudah, cukup memikirkan Jordhan. Yakin dan percayalah, kalau ketentuan Allah adalah yang terbaik.'
Ia menangis sejadi-jadinya. Seperti apapun dia hanyalah wanita biasa yang lemah. Berat pula baginya meninggalkan cinta pertama yang sudah lama dikenalnya demi pria baru. Meskipun dari segi apapun dia jauh lebih baik. Tapi, cinta apakah sampai nalar ke situ?
Tapi, bisa tidak bisa ia akan tetap melakukan demi Robbnya. Ia mencintai Robbnya tapi tidak munafik selama ini ia sudah terbiasa bersama Jordhan bahkan ia juga memiliki rasa ketergantungan.
"Ya Allah, aku tidak pernah menyalahkan takdirmu. Tapi, kenapa jika aku harus jatuh cinta kepada pria, kenapa harus Jordhan? Dan kenapa dia harus seorang Kristen?" keluh Arsyla di sela-sela tangisnya.
"Ya Allah, apakah kiranya perasaan ini akan tetap berlanjut? Bagaimana jika hamba menyakiti hati suami saya? Hapuslah seluruh rasa cinta di hati ini untuk laki-laki bernama Jordhan ya Allah, hilangkan prasaanku terhadapnya, jangan biarkan secuil rasa pun tertinggal di hati ini, Ya Allah. Kosongkan perasaanku padanya. Dan ganti dengan cinta yang penuh pada pria yang jadi suamiku nanti."