Riena Vion, seorang gadis biasa yang harus menghadapi kelamnya hidup sejak ia masih kecil. Ia adalah seorang anak cacat rupa yang terkucilkan oleh semua orang dilingkungan nya termasuk ibunya sendiri.
Plak! (suara tamparan)
Setiap kali ia melakukan kesalahan, tamparan Sang ibunda langsung mendarat di pipinya. Sekecil apapun kesalahannya. Riena yang masih duduk di bangku SMA kelas 1 sudah terlalu sering menelan murka Sang ibu setiap pagi.
"Beraninya kau memecahkan piring ini. Kau pikir ini murah!"
Ibunya membentaknya tepat dihadapannya. Membuat dirinya amat takut dan gemetar seraya mengusap pipinya yang merah akibat tamparan ibunya.
"M.... mm.. maaf," ucap Riena lirih.
"Hanya itu saja yang bisa kau katakan setiap hari. Dengar! hidupku sudah cukup menderita. Ditambah lagi, aku harus merawat mu. Seharusnya aku menggugurkan mu saat kau masih berada dalam kandungan!"
Ibunya kembali menamparnya. Hingga Riena tersungkur jatuh ke sudut dinding. Riena hanya dapat menangis menahan rasa sakit. Perilaku ibunya ini tidak mencerminkan sosok ibu sama sekali. Dia tidak pernah mempedulikan ataupun mengayomi anaknya. Hanya bentakan, tamparan bahkan pukulan benda tumpul yang selalu ia berikan kepada darah dagingnya sendiri.
Setelah cukup lama memarahi Riena, ibunda pun pergi meninggalkan anaknya yang menangis sedih. Ia tidak memikirkan kondisi fisik dan mental anaknya akibat perbuatannya.
Riena yang sudah mulai tenang, dengan lekas berdiri dan langsung menyiapkan barang-barang yang ia butuhkan untuk sekolah serta memakai seragam. Seragamnya terlihat begitu kusut lantaran ibunya tak pernah menyetrika pakaiannya.
Tanpa sarapan. Riena meraih tasnya dan langsung memakai sepatu. Ia lekas berangkat menuju sekolah. Setiap langkahnya dipenuhi rasa sedih dan lesu. Mengingat ibunya yang selalu mencari alasan untuk marah.
Ibu Riena bernama Sonya Vion. Ia adalah satu-satunya orang tua yang Riena miliki. Riena hidup bersama dengan ibunya di sebuah rumah kecil dalam lingkungan yang kotor. Mereka berdua hidup pas-pasan. Ibunya berprofesi sebagai pelacur yang selalu pulang malam.
Setiap malamnya, ia pulang dengan diantar oleh pria yang berbeda-beda dan dalam kondisi mabuk. Ibunya berkerja di sebuah rumah bordil yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediamannya. Di sana, ibunya berkerja sebagai pelayan tamu khusus dengan tarif biasa.
Biasanya, ibu Riena mampu meraup keuntungan mulai dari 20-50 dollar, tergantung dari peminatnya. Jika malam itu tidak ada yang memesan dirinya, maka ia akan pulang dengan tangan kosong. Seperti itulah caranya mencari nafkah.
Kini Riena telah sampai di sekolah. Dia disambut dengan berbagai hinaan dan cacian ketika langkah kakinya sudah memasuki ruang kelas. Bahkan beberapa anak melempari dirinya dengan penghapus dan benda-benda lain yang ada didekat mereka.
"Lihatlah, siapa yang datang. Si rupa cacat keturunan pelacur. Apa kau juga melacurkan diri seperti ibumu? itupun jika ada yang mau memesan mu, hahahaha....," ejek Irya, teman sekelas Riena.
Dia adalah gadis yang paling sering mengolok Riena, bahkan hampir sepanjang jam pelajaran. Baginya, tiada hari tanpa menghina. Dia juga sering menaruh sampah serta benda-benda berbau busuk kedalam loker dan kolong meja milik Riena. Ia merasa derajatnya jauh lebih baik daripada orang yang ia hina.
Tak luput dari setiap perkataannya kesombongan akan paras menawan yang ia miliki. Kecantikan parasnya membuat rasa percaya diri semakin besar. Ia selalu merendahkan martabat seseorang yang tidak memiliki wajah cantik sepertinya.
"Mau dia telanjang sekalipun, takkan ada yang mau padanya. Dia seperti alien berbadan manusia. Mood pejantan akan langsung hilang saat melihat wajahnya."
Lagi-lagi ada siswi yang melontarkan hinaan. Siswi berkulit sawo matang dengan perawakan tubuh ramping atletis dan berambut pirang. Mulut gadis ini jauh lebih pedas dibandingkan Irya. Dia bernama Molid Carmella.
Siswi dari club olahraga. Semua bidang olahraga ia ikuti. Mulai dari bela diri, renang, lari jauh sampai angkat beban. Dia sangat mencintai olahraga melebihi apapun. Karena itulah ia mendapatkan tubuh atletis bak binaragawati. Sayangnya, dia juga sama sombongnya dengan Irya.
"Kau lebih cocok menjadi samsak tinju ku untuk latihan boxing," ucap Molid.
Riena tertunduk diam. Ia tidak dapat berkata apa-apa. Tiba-tiba seseorang melempar penghapus papan tepat mengenai kepalanya. Riena pun menoleh ke arah lemparan itu. Terlihat seorang lelaki yang duduk santai diatas bangku. Lelaki itu berniat usil terhadapnya.
"Maaf, tanganku bergerak sendiri. Oh..ya katakan kepada ibumu, malam ini kami akan memesannya lagi. Meski sudah berumur rupanya ibumu sangat pintar melayani laki-laki," ucap lelaki itu, dengan niat menyinggung. Tanpa memikirkan perasaan Riena.
Ucapannya begitu melukai hati Riena, namun Riena tak dapat memungkiri perkataannya. Lelaki itu bernama Dion. Siswa paling berandal di kelas. Ia selalu mengganggu setiap siswa-siswi semaunya. Terkadang ia juga memalak murid-murid yang lebih lemah darinya.
Dion dan teman-temannya sudah menyiapkan uang untuk memesan ibu Riena malam ini. Dihadapan Riena, ia menceritakan seperti apa ibunya saat melayani mereka kemarin. Riena menutup telinganya, ia tak tahan mendengar Dion menceritakan hal itu. Dion malah semakin mendekatkan bibirnya ke telinga Riena, itu semakin membuat Riena terpuruk.
"Dion..! tutup mulutmu. Kau menjijikkan," bentak Irya.
Dion merasa tersentak karena yang membentaknya adalah Irya. Orang yang selalu membully Riena.
"Hei, bukankah kau senang melihat dia seperti ini?" tanya Dion.
"Cih..., meski begitu. Yang kau katakan tetaplah menjijikkan. Aku tidak tahan mendengarnya," jawab Irya.
"Dion, kau mengatakan itu didepan gadis perawan. Seharusnya kau lihat kondisi sekitar mu," tukas Molid.
"Baiklah, aku tidak akan mengulanginya. Dasar anak manja, mendengar hal seperti itu saja tidak tahan," ucap Dion, lalu ia melangkah pergi dari ruang kelas.
"Apa katamu?!"
Bentak Irya, namun Dion tidak menghiraukan. Riena merasa lega berkat Irya, Dion pun berhenti menceritakan hal tak senonoh tentang ibunya. Irya menoleh ke arah Riena yang sedari tadi memandangi dirinya.
"Jangan salah paham. Aku tidak membelamu, aku hanya tidak tahan mendengar hal tak senonoh seperti itu. Kau sama menjijikkannya dengan ibumu," ucap Irya.
Namun Riena tak memikirkan ucapan kasarnya itu. Dalam hati, ia sangat berterima kasih kepada Irya. Irya yang sudah mulai bosan pun pergi dari ruang kelas. Molid melirik Irya yang pergi keluar.
"Dasar perawan. Tapi dia ada benarnya. Dulu aku juga sama sepertinya," batin Molid. Sebelum akhirnya dia juga ikut meninggalkan ruangan kelas.
Sementara Riena harus bersih-bersih kelas. karena hari ini adalah hari piket nya. Tidak pernah ada orang yang membantu dirinya saat piket.
Tidak ada yang mau satu kelompok piket dengannya. Dia selalu menjalankan tugas piket nya sendirian dan tempat yang paling pertama yang harus dibersihkan adalah bangkunya sendiri. Karena para murid yang usil selalu menumpuk sampah di kolong mejanya. Hal ini sudah biasa bagi Riena.
Bangkunya yang berada di posisi paling belakang, selalu menjadi target keusilan para murid. Berbagai coretan yang penuh hinaan memenuhi permukaan bangku belajar Riena. Kolong mejanya pun dipenuhi oleh berbagai sampah. Khususnya plastik dan makanan sisa yang sudah busuk. Semua ini ia alami setiap hari.
Tentu ini keterlaluan, namun apa daya. Riena tak punya kekuatan untuk melawan. Ia sendiri sudah menjadikan penderitaan ini sebagai bagian dari hidupnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah berharap esok hari akan lebih baik dari pada yang sekarang. Meski harapannya itu tidak pernah terwujud.
"Aku takkan menyerah. Suatu saat aku pasti bisa melewati semua ini dan membanggakan ibu. Aku yakin," batin Riena, berusaha untuk tetap tegar.
Bersambung.....