Chereads / Dibalik Gelap / Chapter 3 - Chapter 2: Kehidupan yang buruk (flashback)

Chapter 3 - Chapter 2: Kehidupan yang buruk (flashback)

Jam istirahat sekolah tiba....

Riena bergegas merapikan buku dan hendak keluar dari ruangan kelas. Ia ingin pergi ke tempat biasa dirinya menyendiri. Ia pun segera meninggalkan ruangan kelas. Di tengah perjalanan menuju tempat favoritnya, ia menabrak seorang kakak kelas. Kakak kelas itupun langsung kesal karenanya.

Tanpa perasaan, ia menampar Riena hingga jatuh dan menginjak kepalanya dengan sangat keras.

"Hey sampah, kau berani menyentuh ku....?! sampah berbakteri seperti mu tidak pantas menyentuhku. Aku tidak mau tertular virus jelek mu itu," ucap kakak kelas tanpa perasaan.

"Maaf kak, aa... ampun. Aku tidak sengaja, s... sakit...," rintih sakit Riena.

"Enak saja, kau harus membayar karena sudah menodai pakaian ku dengan virus jelek mu itu," tukas Si kakak kelas.

Kakak kelas ini bernama Annie Lien. Dia adalah salah satu dari sekian banyak kakak kelas yang disegani. Prestasinya bagus namun tidak dengan budi pekertinya. Gadis berambut merah, tinggi serta menawan ini memiliki tampang layaknya putri salju tapi kesombongannya melebihi seorang Ratu.

Annie tanpa ampun menginjak kepala Riena yang tidak berdaya. Berkali-kali Riena meminta maaf, namun tak dihiraukan.

"Serangga seperti mu tidak pantas menyentuhku," hina Annie penuh kesombongan. Ia semakin menekan injakan nya. Sampai-sampai Riena tak dapat bersuara.

Tak lama kemudian, seorang siswi berambut pendek datang menghampiri Annie yang keasyikan mempermainkan Riena dengan kakinya.

"Annie, sudahlah. Biarkan dia pergi, dia hanya akan mengotori sepatu mu," ucap wanita itu.

"Windi, darimana saja kau? aku mencari mu sedari tadi," tanya Annie kepada siswi itu.

"Aku baru kembali dari perpustakaan, lalu melihat mu disini sedang menginjak sampah," jawab Windi, menyinggung Riena.

"Kau benar, sampah ini hanya akan membuat sepatu ku bau."

Buakk...!

Annie menendang Riena sangat keras.

"Ayo kita pergi, biarkan sampah itu membuang dirinya sendiri. Aku yakin dia bisa," ejek Windi.

"Baik, awas saja dia berani menyentuh ku lagi."

Annie dan Windi pun meninggalkan Riena yang tergeletak kesakitan. Tak satupun orang mau mengulurkan tangan kepada Riena. Mereka membiarkannya begitu saja. Dengan tenaganya sendiri, ia bangkit dan berjalan terhuyung-huyung. Kepalanya yang pusing membuat langkahnya menjadi tak teratur.

Riena berpegangan pada dinding di setiap langkahnya, agar dirinya tak terjatuh ataupun menabrak orang lain. Sedikit demi sedikit ia berjalan. Hingga ia sampai di tempat favoritnya. Tempat dimana ia bisa merasa tenang.

Terdapat sebuah pohon yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lapangan. Disitulah tempat dimana Riena menenangkan diri. Ia bersandar pada pohon yang tak terlalu besar itu. Dari sana, ia dapat melihat para murid yang sedang bermain ataupun bercengkrama di lapangan sekolah.

Riena memandangi mereka penuh iri, sambil membayangkan hidupnya beruntung seperti mereka yang disana. Mendapatkan banyak teman, memiliki sahabat baik yang dapat dipercaya, bercanda ria dan tersenyum bersama dengan teman-temannya serta mendapatkan kasih sayang dari sosok orang tua. Riena ingin merasakan semua itu. Ia menginginkan hidup layaknya seorang gadis normal.

Ia ingin merasakan rasanya benar-benar menjadi seorang manusia yang diperlakukan layaknya manusia. Bukan manusia yang diperlakukan seperti sampah. Setiap hari, ia selalu duduk di tempat ini sambil membayangkan semua itu.

Paras buruknya mengingatkan dia akan perbuatan kejam Sang ibu kepadanya, sepuluh tahun yang lalu. Riena lahir tanpa sosok ayah. Ibunya membesarkan dia sendirian. Profesi wanita panggilan sudah ibunya jalani sejak Riena masih dibawah umur 10 tahun.

Setiap malamnya, ia mendapatkan perlakuan kasar dari ibunya yang baru pulang kerja. Ibu Riena selalu pulang dalam keadaan mabuk. Sekujur tubuhnya penuh dengan bau minuman keras. Karena saat itu Riena masih labil dan tidak tahu apa-apa, ia mengira bahwa ibunya sedang sakit. Dengan sigap Riena kecil segera membuatkan secangkir teh hangat untuk ibundanya.

Dengan hati-hati, ia menyajikan teh yang masih panas kehadapan ibunya. Riena mengharapkan pujian dari ibundanya, namun bukan itu yang ia dapatkan.

"Jangan sok perhatian kepadaku...! anak haram..!"

Sang ibu menepis cangkir teh itu dengan kasar. Hingga teh panas itu tumpah dan langsung mengenai wajah anaknya. Riena menjerit kepanasan, ia sampai berguling di lantai. Kulitnya melepuh akibat teh yang masih sangat panas itu.

"PANAS...! IBU... IBU...! TOLONG...!"

Bukannya menolong, ibunya malah menginjak dan mencaci maki Riena. Entah mengapa dia begitu membenci anaknya sendiri.

"Gara-gara kau, hidupku hancur. Gara-gara darah haram seperti mu, aku diusir dari keluarga ku dan gara-gara kau aku gagal menikah dengannya. Kau seharusnya tidak terlahir...!"

bentak keras ibu Riena. Tanpa peduli anaknya yang masih kepanasan.

Sang ibu lanjut menyiksa anaknya. Ia menyeret Riena ke ruang tengah, lalu menempelkan setrika panas ke wajah anaknya. Luka bakar di wajah Riena pun semakin parah. Riena semakin menjerit.

Ibunya tersenyum puas melihat penderitaan anaknya itu. Sama sekali tidak ada belas kasihan terhadap anaknya yang masih kecil.

"Itulah akibat yang pantas kau terima," ucap Ibunya sebelum pergi meninggalkan dia terpuruk sendiri.

Luka bakar di wajah Riena pun dibiarkan tanpa perawatan. Sehingga Riena menjadi cacat rupa seperti sekarang. Tetesan air mata membasahi pipinya setiap kali ia mengingat perlakuan ibunya terhadap dirinya.

"Mengapa ibu begitu membenciku? apa salah ku?" batin Riena.

Hingga saat ini ia masih mempertanyakan hal ini, ia tidak berani menanyakan ini langsung kepada ibunya. Meskipun ibunda tak seperti sosok ibu yang ia harapkan. Riena masih tetap menyayangi ibunya. Ia ingin menjadi anak yang berguna dan berbakti kepada orang tuanya. Riena mungkin terlalu naif, dia sangat ingin melihat ibunya berubah.

Riena meyakini, jika ia berhasil menjadi seorang gadis yang sukses. Maka ibunya akan berbalik menyayangi dirinya. Itulah yang membuat dirinya bertahan tinggal bersama ibu yang kejam itu. Tiba-tiba, sebuah bola sepak melayang dan berhenti tepat didepannya.

Riena pun mengambil bola itu secara spontan.

"Hei..."

Terdengar suara orang yang sedang memanggil. Suara itu terdengar tepat didepannya. Riena pun melihat ke sumber suara. Nampak seorang siswa berbadan tinggi tegap tengah berlari ke arahnya. Siswa itu nampak penuh keringat, sehabis berolahraga. Tak lama kemudian, siswa itu sampai dihadapan Riena.

"Boleh ku minta bola ku kembali?" tanya sopan siswa itu. Riena seketika gugup, baru kali ini dia diajak berbicara oleh seseorang.

"B... b.. boleh," balas Riena, gugup.

Tangannya gemetar, perlahan mengembalikan bola yang ia genggam kepada pemiliknya. Siswa itupun mendapatkan bolanya kembali, meski ia heran dengan Riena yang tampak gerogi.

"Ini pertama kalinya aku melihat mu disini. Apa kau siswi baru?" tanya siswa itu.

Riena tak sanggup berkata saking gugupnya. Ia hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala.

"Begitu ya, sepertinya aku saja yang jarang melihat mu. Karena aku cukup sibuk," ucap siswa itu seraya mengulurkan tangan kepada Riena.

"Mari kita berkenalan. Namaku Jonathan Dalian dari kelas 12 A. Siapa namamu?" tanya Jonathan sambil memperkenalkan diri.

Riena semakin gugup dibuatnya. Tangannya semakin bergetar hebat. Perlahan ia membalas uluran tangan Jonathan yang tulus. Ia tak sanggup memandang wajah siswa yang ada dihadapannya. Sungguh gugup sekali dirinya.

"N.... nnnn.... namaku Riena Vion," balas Riena terbata-bata.

Jonathan tersenyum kecil melihat tingkah laku Riena yang nampak malu-malu dan Riena sendiri pun semakin gerogi. Baru kali ini ada orang yang tersenyum padanya. Seakan ia ingin menampar pipinya sendiri, guna memastikan bahwa ini bukan mimpi.

"Riena, nama yang cantik. Terima kasih karena sudah mau berteman denganku," ucap Jonathan.

"I... i... iya," balas Riena.

"Oh... iya, kau dari kelas berapa?" tanya Jonathan.

"A... aku ddd... dari kelas 10 B," jawab Riena, ia masih gugup.

"Oh... rupanya kau adik kelasku. Bodohnya aku tidak mengetahui adik kelas ku sendiri," ucap senyum Jonathan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Perlahan tapi pasti. Riena memberanikan diri untuk memandang wajah Jonathan. Seketika ia terpukau ketika memandang wajah laki-laki yang berhadapan dengannya itu. Jantungnya berdegup sangat kencang. Ia tak mampu berkata-kata.

Siswa yang ternyata adalah kakak kelasnya itu memiliki paras rupawan, berkulit putih serta berambut pendek. Jonathan sungguh murah senyum, seakan dirinya tidak keberatan dengan rupa Riena yang buruk.

Riena mematung kagum melihat kakak kelasnya yang satu ini, . Tak disangka, ia akan bertemu dengan seseorang seperti Jonathan. Sudah sekian lama Riena berharap untuk memiliki seorang teman dan sekarang harapan itu terkabul. Ini adalah nuansa yang menegangkan bagi Riena.

Sesaat kemudian, terdengar dari arah lapangan suara yang memanggil nama Jonathan. Ternyata itu adalah suara teman-teman Jonathan yang sudah menunggu di lapangan. Mereka menunggu Jonathan mengambil bola yang terpental keluar dari lapangan.

"Teman-teman ku memanggil ku. Riena, lain waktu kita mengobrol lagi, ya. Aku pergi dulu," ucap Jonathan, seraya melangkah pergi. Ia melambaikan tangannya kepada Riena yang masih terdiam mematung.

Tangan Riena seakan bergerak sendiri, membalas lambaian tangan Jonathan. Riena masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat. Ia tak percaya akan mendapatkan seorang teman seperti Jonathan.

Perasaan ini, baru pertama kali dialaminya. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Hingga saat ini, ia masih memandangi Jonathan yang sedang bermain sepak bola di lapangan bersama dengan teman-temannya. Bahkan ia lupa untuk berkedip.

Riena yang terpukau pada pria yang baru saja ia temui, perlahan ia mempertemukan kedua telapak tangannya. Ia berkata dalam batinnya.

"Perasaan ini, apakah ini yang dinamakan rasa senang?" batin Riena.

Bersambung....