Pesta sudah selesai. Dari kejauhan, Joo Won hanya bisa menatap pamannya yang keluar dari aula bersama dengan Park Hyung-Shik. Ia tidak bisa mendekati laki-laki itu karena Yun Na terus menempel padanya dan tidak memberinya kesempatan untuk pergi sama sekali.
"Dimana Yun Hee?" Kata Yun Na menyadarkan Joo Won dari lamunannya, "Ayo, kita cari Yun Hee."
Masih dalam pelukan Joo Won, Yun Na menunjuk ke beberapa tempat di sekitar aula pesta di mana mereka mungkin menemukan kakaknya. Setelah berkeliling, langkah kaki Joo Won akhirnya terhenti di taman kecil tempat Hwi Yong-Jae berdiri tadi. Dari posisinya ia bisa melihat Yun Hee berdiri di samping laki-laki berkacamata dan mereka terlihat saling mengenal dengan baik.
"Sangat membingungkan." Yun Na berkomentar dengan tatapan menyelidik. "Sebenarnya apa hubungan mereka berdua?" Kemudian ia melihat mulut Yun Hee bergerak dan mulai berbicara, tapi tidak begitu jelas karena jaraknya yang jauh.
"Maaf."
Im Seung-Hoon menoleh ke samping dan melihat Yun Hee menatapnya dengan ekspresi agak bersalah. "Apa?"
"Kata-kata kakek Min Hyuk tadi."
Laki-laki itu terdiam sebentar kemudian tersenyum. "Kata-kata yang menekankan kalau aku bukan tunanganmu?"
Yun Hee tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke langit di atas seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
Im Seung-Hoon tidak suka melihat ekspresi rumit di wajah Yun Hee seperti sekarang. Seolah pertanyaan tersebut membuat gadis itu berpikir keras dan memaksanya memberikan jawaban yang tidak disukai Seung Hoon. Di saat seperti ini, ia mulai melihat tembok samar yang dibangun Yun Hee di sekelilingnya, seakan tidak mengizinkan siapa pun untuk masuk.
Ternyata enam bulan sudah cukup untuk membuat gadis itu berubah. Meski kali ini Yun Hee menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya di Korea, Seung Hoon yakin gadis itu pasti akan kembali ke Italia. Hingga akhirnya ia mendengar kabar mengejutkan tentang kakek Yun Hee sebulan yang lalu dan membuatnya sama sekali tidak bisa menghubunginya.
Percaya bahwa perasaan gadis itu tidak akan berubah, Seung Hoon memutuskan untuk mengikutinya ke sini. Rasa percaya diri yang ia rasakan semakin nyata saat ia melihat senyuman gadis itu di aula pesta tadi. Tapi, keyakinan itu langsung menguap begitu mendengar kata-kata kakek Min Hyuk. Berbagai macam pertanyaan langsung membanjiri kepalanya dan perasaannya menjadi campur aduk.
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan." Im Seung-Hoon berkata memecah keheningan, "Laki-laki tadi, apakah dia supirmu?"
Yun Hee menatap Im Seung-Hoo sejenak lalu menjawab, "Namanya Cho Joo-Won. Laki-laki yang tadi bersama adikku."
Seung Hoon merasa gadis itu berusaha mengelak dari pertanyaan tersebut dan ia tidak puas dengan jawabannya, "Dan hubungan kalian?"
Yun Hee menarik napas dalam-dalam dan memutar tubuhnya ke samping. "Aku pikir jawabannya sudah jelas."
"Kau masih marah padaku?" Tanya Seung Hoon langsung.
"Tidak. Untuk apa aku marah?"
Im Seung-Hoon melangkah mendekat dan Yun Hee bisa mencium bau anggur yang khas dari tubuhnya. "Aku serius dengan apa yang kukatakan tadi. Kembalilah padaku?" Tangannya terulur di depan gadis itu.
Kata-kata Seung Hoon terdengar begitu manis di telinganya. Melirik bergantian ke tangan dan wajah laki-laki itu, tangan Yun Hee perlahan terangkat hingga berhenti di udara.
"Oh Yun-Hee, aku ingin pulang!" Teriakan Yun Na mengejutkan semua orang di sana. Masih dalam pelukan Joo Won, mereka berjalan ke tengah taman dan Yun Na berbicara lagi dengan nada keras yang sama. "SEKARANG!!"
Yun Hee agak kaget dengan kemunculan tiba-tiba dua orang itu. Ia mulai bertanya-tanya sudah berapa lama mereka berada disana mengawasinya. "Kau bisa pulang dulu, aku masih ada urusan." Lalu memberi kode pada Joo Won untuk segera membawa adiknya pergi.
"Tidak mau! Aku ingin pulang bersamamu dan Oppa."
Yun Hee tertegun sejenak, ketegangan di udara mulai terlihat jelas. Tapi, yang membuatnya lebih bingung adalah sejak kapan adiknya memanggil Joo Won dengan sebutan "Oppa"?
Yun Hee menghela nafas panjang dan menyentuh pelipisnya untuk menahan rasa kesal yang mulai muncul karena sikap adiknya yang egois. Ia sangat lelah sepanjang hari dan tidak memiliki tenaga untuk bermain-main dengan Oh Yun-Na atau orang lain.
Menyadari suasana yang berubah serius, Im Seung-Hoon memutuskan untuk menyerah. "Tidak apa-apa, kita bisa bicara lain kali. Lebih baik kau pulang dan beristirahat." Ia menurunkan tangannya dan mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum lebar pada Yun Na yang bahkan tidak memandangnya. Seung Hoon lalu menundukkan kepalanya sedikit ke arah Joo Won.
Setelah laki-laki itu pergi, mereka bertiga berjalan keluar dari taman dan kembali ke rumah. Sepanjang jalan, mata Yun Hee melihat Yun Na yang sedang bermain dengan Joo Won dari kejauhan. Rasa kesal yang sempat muncul sebelumnya tiba-tiba kembali, "Apakah kau tidak sadar kalau kau itu berat? Membiarkan seseorang menggendongmu sepanjang malam."
Mendengar sindirian itu, Yun Na mengalungkan lengannya di leher Joo Won dengan lebih erat, menolak melepaskan laki-laki itu. Melihat tingkah gadis kecil itu, Joo Won hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa.
"Apa yang kalian berdua bicarakan tadi?" Tanya Yun Na penasaran saat melihat Yun Hee sudah tenang.
"Kau tidak perlu tahu urusan orang dewasa."
"Jika kau tidak mau memberitahuku, kau bisa memberitahu Joo Won. Bukankah dia sudah dewasa?" Jawab gadis kecil itu polos.
Yun Hee melirik adiknya dan menyadari bahwa Yun Na mencoba menjebaknya. Di balik matanya yang indah itu, Yun Hee tahu dengan jelas betapa pintar adiknya dalam memutarbalikkan kata-kata orang lain. Oleh karena itu ia memutuskan untuk tidak menjawab lagi dan membiarkan Yun Na terus bertanya.
"Laki-laki bernama Im Seung-Hoon itu, kenapa sepertinya aku belum pernah mendengar namanya." Yu Na bergumam tanpa henti. "Lalu kenapa dia datang ke sini? Apakah dia ingin membawamu kembali ke Italia? Atau kalian berkencan?"
Meskipun ocehan Yun Na terdengar seperti rasa penasaran yang muncul dari seorang anak kecil. Namun mendengar nama Im Seung-Hoon dan melihat reaksi Yun Hee membuat dada Joo Won tidak nyaman. Seolah ada kabut halus menyelimuti paru-parunya yang membuatnya sulit bernapas.
"Teruslah berimajinasi, aku tidak akan menjawabnya." Kata Yun Hee sambil lalu kemudian masuk ke rumah meninggalkan kedua orang itu mematung di pintu depan.
"Aku mencium sesuatu yang aneh disini, pasti ini bukan cuma kebetulan biasa."
Tersenyum tipis, Joo Won kemudian berkata. "Aku akan mengantarmu sampai ke kamar." Mengelus lembut kepala gadis itu, "Malam ini biarkan kepalamu beristirahat dulu, besok kau boleh mulai memikirkan Yun Hee lagi."
Mendengar kata-kata Joo Won membuat Yun Na tersenyum, kemudian ia menguap lebar. "Baiklah."
***
Terkadang dan sangat jarang, Joo Won bermimpi tentang orangtuanya. Ibunya sibuk menyiapkan sarapan di dapur dan ayahnya duduk sambil membaca koran menunggu di kursi di ruang makan.
Wangi kopi hitam yang khas, tercium jelas dari posisinya yang berdiri di ambang pintu. Meski Joo Won sadar kalau ini semua hanya mimpi, namun dengan melihat kedua orang tuanya seperti itu, sudah cukup memberikan kekuatan untuknya untuk terus hidup.
"Oh, Sherlock.. Sudah datang rupanya."
Joo Won begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari seseorang sudah berdiri di samping nya.
Laki-laki tua itu hanya menatapnya sambil tersenyum, "Apa kabar?"
Mata Joo Won terbelalak lebar. Orang itu.. Kenapa ada disini? Kenapa dia datang ke mimpinya?
Melihat ekspresi wajah Joo Won yang rumit, Oh Tae-Won hanya tertawa ringan, "Sepertinya aku berhasil memberikan kejutan untukmu." Katanya menebak pikiran Joo Won. "Bagaimana kalau kita mengobrol di taman?"
Joo Won terus menatap laki-laki tua yang berjalan di sampingnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat Oh Tae-Won sesantai ini. Kedua tangan laki-laki itu dimasukkan ke saku celana dan ia melangkah pelan sambil mengamati tanaman yang tersusun rapi di sekitarnya.
"Aku baru menyadari ternyata hidup ini terlalu singkat. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu terobsesi dengan apa yang tidak kita miliki, sehingga kita mengabaikan banyak hal yang membuat hidup kita berharga." Kata Oh Tae-Won dengan suara lirih.
Joo Won ragu sejenak lalu berkata, "Apakah anda menyesal sekarang?"
Oh Tae-Won menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya, "Hanya ada satu hal yang paling kusesali." jawabnya serius, "Kau."
Joo Won terdiam, rasanya sulit sekali mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Oh Tae-Won, "Kenapa?"
Laki-laki tua itu mengangkat sebelah tangan dan meletakkannya di pundak Joo Won. "Karena aku belum sempat mengucapkan terima kasih."
Joo Won agak bingung, tapi ia bisa merasakan kesungguhan kata-kata itu. Sambil tersenyum tipis, ia bertanya lagi. "Apa yang sedang anda bicarakan?"
Menepuk pundak Joo Won beberapa kali, Oh Tae-Won mulai menjelaskan maksudnya. "Terima kasih karena sudah tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang baik. Terima kasih sudah memilih untuk terus hidup. Dan terima kasih sudah memilih untuk tidak kembali ke masa lalu."
Kata-kata yang keluar dari mulut Oh Tae-Won membuat dada Joo Won terasa hangat. Banyak hal yang ingin di katakan dan di tanyakannya kepada laki-laki tua itu, namun lidahnya tidak bisa bergerak dan otaknya tidak bisa menemukan kata yang tepat.
Kedua mata itu kemudian menatapnya tulus, "Aku tidak akan pernah tahu rasanya seberapa sulit bagimu melewati semua ini, tapi aku bangga padamu."
Emosi yang terpendam dalam dirinya perlahan muncul, sulit rasanya mendengar pujian yang tidak pantas diterimanya, apalagi datang dari Oh Tae-Won. "Bukankah anda seharusnya menyesal karena telah menolongku? Sepuluh tahun lalu dan sekarang. Bukankah anda seharusnya membenciku?"
Oh Tae-Won menurunkan tangan dari pundak Joo Won dan menatap langit biru di atas. "Setiap pilihan yang kita ambil pasti memiliki resiko. Yang bisa kita lakukan hanya memilih satu yang tidak akan membuatmu terlalu menyesalinya. Dan ini ada pilihanku." Gumam Oh Tae-Won. "Ketika orang yang kau perjuangkan adalah orang yang tepat, maka penyesalan dan kekecewaan itu tidak akan terlalu besar."
"Bagaimana anda tahu kalau aku adalah orang yang tepat atau bukan?"
Oh Tae-Won mengalihkan tatapan ke belakang Joo Won dan senyum sayang tersungging di bibir laki-laki tua itu. Joo Won membalikkan tubunya dan matanya melebar melihat siapa yang ada disana.
Dari posisinya yang agak jauh, ia melihat Oh Yun-Na sedang bermain-main dengan bunga yang ditanam di tanah. Meskipun tangan dan baju nya menjadi kotor, anak kecil itu terlihat tidak peduli dan masih terus memegang sekop di tangan berusaha menekan tanah di sekitarnya agar bunga itu terus berdiri.
Tidak jauh dari situ ada Oh Yun-Hee yang sedang duduk di kursi di taman sambil memegang sebuah buku. Matahari terlihat menyinari area tersebut, membuat matanya bisa melihat gadis itu dengan sangat jelas dari jauh.
"Kau akan tahu ketika di antara begitu banyak orang, matamu hanya melihat satu orang itu." Oh Tae-Won tertawa ringan, "Saat semua orang di sekelilingmu mengatakan tidak, kau akan menjadi orang pertama yang mengatakan iya. Ketika semua orang menyerangnya, kau akan menjadi satu-satunya yang berdiri paling depan untuk melindunginya. Saat bersamanya membuatmu tenang dan bahagia, bukankah itu yang dinamakan cinta?"
Joo Won kembali menatap Oh Tae-Won. Kerutan di wajah laki-laki tua itu semakin dalam saat ia tersenyum kepadanya. Setelah hening beberapa saat, akhirnya Joo Won menemukan kata-kata yang selama ini sulit ia ucapkan. "Seharusnya aku yang mengatakan terima kasih itu kepada anda?" Suaranya agak bergetar saat ia menatap mata Oh Tae-Won yang jernih. "Terima kasih karena sudah mengorbankan segalanya untukku."
Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mengungkapkan perasaan terdalamnya kepada Oh Tae-Won. "Terima kasih atas dukungan dan bimbingan yang begitu besar, sehingga membuatku bisa menjadi seperti sekarang." Tenggorokannya terasa tercekat, seolah membawa begitu banyak beban dan rasa syukur.
Senyum tipis tersungging di sudut mulut Oh Tae-Woon mendengar apa yang dikatakan oleh Joo Won. Perasaan bahagia terpancar melalui tatapan laki-laki tua itu yang tertuju padanya. Saat itu ia sadar, ternyata selama ini Oh Tae-Won adalah rumahnya. Oleh karena itu, sekarang mereka juga menjadi rumahnya.
Joo Won mengalihkan perhatian pada kedua kakak beradik yang masih fokus dengan kegiatan mereka masing-masing, sampai kemudian sosok lain muncul di belakang Yun Hee. Ia menyipitkan mata untuk menangkap lebih jelas siapa yang ada situ, dan begitu berhasil menangkap samar wajah orang tersebut, ekspresi Joo Won langsung berubah. Rasa takut menyerangnya, tanpa sadar ia berteriak, "Tidak.."
Tangan Hwi Yong-Jae yang memegang pisau melingkari leher Yun Hee. Seketika itu juga Joo Won langsung berlari sambil berteriak sekencang-kencangnya, berusaha mendekat ke arah mereka. Namun anehnya, semakin keras ia berusaha meraih mereka berdua, semakin sulit tubuhnya untuk bergerak. Pada akhirnya, ia kehabisan tenaga dan hanya bisa diam di tempat sampai kemudian terbangun dari mimpinya.
Tubuh Joo Won langsung terduduk di atas tempat tidur dengan mata terbuka lebar dan nafas pendek. Butiran keringat membasahi wajahnya, membuktikan bahwa ketakutan yang baru saja dirasakannya bukan hanya sekedar mimpi. Dengan pandangan kabur dan jantung berdebar kencang, ia berusaha membedakan antara mimpi dan dunia nyata. Perlahan matanya menangkap sosok yang duduk di hadapannya, yang menatap dengan ekspresi khawatir.
Pikirannya kacau dan otaknya tidak bisa diajak berpikir. Tapi melihat Oh Yun-Hee ada disitu dalam keadaan baik-baik saja, langsung meredakan ketegangan di tubuhnya. Tanpa sadar Joo Won menyandarkan kepala di bahu gadis itu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar sangat kencang. Ia memejamkan mata dan menarik napas pelan, merasakan kehangatan dan kehadiran Yun Hee yang nyata, "Untung saja kau ada disini." Gumamnya dengan suara lega.
Yun Hee yang bingung dan mematung di tempat mencoba memahami situasi yang sedang terjadi saat itu. Mengangkat sebelah tangan, ia menepuk punggung Joo Won dengan lembut untuk menenangkannya. Yun Hee bisa menebak kalau laki-laki itu baru saja terbangun dari mimpi buruknya, hanya saja ia memilih untuk tidak berkata apa-apa. Hal yang bisa dilakukannya sekarang hanya membiarkan Joo Won bersandar di bahunya sampai kondisinya stabil.
"Karena melindungiku, kedua orangtuaku meninggal. Begitu juga dengan orang yang sangat mempercayaiku, orang itu juga meninggal karena menolongku." Joo Won mulai membuka pembicaraan setelah mereka pindah ke paviliun di luar. Hembusan angin malam yang dingin sepertinya berhasil membuat suasana hati Joo Won menjadi lebih baik, meskipun tatapan matanya masih terlihat kosong.
Oh Yun-Hee melihat kedua tangan Joo Won yang memegang gelas susu coklat hangat yang dibawanya tadi. Ia belum pernah melihat sisi Joo Won yang seperti ini, wajahnya terlihat lelah dan frustasi. Laki-laki misterius yang biasanya terlihat tenang dan ramah, kini tampak rapuh duduk di samping nya. Sejujurnya ia bukan orang yang mudah penasaran terhadap orang yang baru ditemuinya, oleh karena itu Yun Hee tidak berpikir untuk bertanya terkait apapun pada Joo Won. Namun, ia tidak bisa menutupi rasa simpatik melihat kondisi laki-laki itu seperti ini.
"Tidak ada gunanya hidup dengan rasa bersalah. Mereka sudah memilih untuk melindungimu, jadi bukankah seharusnya kau hidup dengan bahagia?" Yun Hee mengalihkan tatapan dari Joo Won ke langit gelap di atas tanpa bintang. "Berpegang pada masa lalu hanya akan membuat pengorbanan mereka menjadi sia-sia."
Joo Won menoleh pelan ke arah Yun Hee. Kehangatan gelas berisi susu cokelat di tangannya cukup membuatnya merasa lebih baik, tapi ternyata itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan suara gadis itu yang begitu menyenangkan. Seolah ada api hangat yang menyala di dadanya, menyebarkan panas yang menenangkan ke seluruh tubuh Joo Won.
"Di setiap pilihan yang kita ambil, pasti akan ada resiko. Yang bisa kita lakukan hanya memilih salah satu yang tidak akan membuatmu terlalu menyesal. Dan ini ada pilihan mereka." Yun Hee mencoba memahami pikiran orangtua dan orang terdekat Joo Won yang diceritakannya tadi. "Bagi mereka, kau adalah orang yang tepat untuk dilindungi. Sehingga tidak ada penyesalan dan kekecewaan di hati mereka ketika hal buruk menimpa mereka sendiri, karena rasa sayang mereka kepadamu lebih besar."
Joo Won tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari mulut Yun Hee. Meski terkadang ia menemukan sedikit kemiripan antara Yun Hee dan Oh Tae-Won, namun mendengar gadis itu memiliki pemikiran yang sama dengan kakeknya, entah bagaimana membuat Joo Won merasa awan hitam tebal yang berada di kepalanya perlahan memudar.