Chereads / Terjebak Pernikahan Rahasia / Chapter 2 - 3. Sisi Lain Abian

Chapter 2 - 3. Sisi Lain Abian

"Selamat ya, Nak Abi. Akhirnya kamu bisa mengikuti jejak kesuksesan ayahmu. Kamu memang hebat seperti orang tuamu."

Terdengar ucapan selamat bergantian dari beberapa orang di seberang jalan. Di depan gedung yang tampak diramaikan sebuah pesta perayaan. Mereka tampak elegan dengan setelan jas formal. Namun, suara mereka begitu kampungan sampai Clarissa bisa mendengarnya di seberang jalan lain. Clarissa berusaha tidak memedulikan mereka meski orang yang mereka banggakan itu terdengar begitu hebat. Ia hanya berdiam diri di depan toko sembari menunggu pemiliknya membawakan air galon yang hendak ia beli.

Clarissa sudah diam tanpa menunjukkan wajah akrabnya. Tidak turut ikut campur sedikit pun. Sayangnya—

"Dasar manusia sialan!" gumam Clarissa mengumpat. Karena manusia-manusia itu tidak akan bisa berhenti memancing masalah dengan manusia normal lainnya. Mereka memang masih membanggakan sosok Abi yang menjadi bintang mereka hari ini. Namun, pujian mereka kini diikuti sindiran yang bersifat merendahkan orang lain.

"Pak Hedilah yang paling hebat. Berkat didikan baiknya, kini kamu sudah tumbuh dewasa dan menjadi sosok contoh yang baik. Sekarang kamu bisa membalas didikannya dengan kesuksesanmu." Seorang lelaki dengan kepala yang dipenuhi uban, menepuk akrab pundak Abi. Sedangkan Abi mengangguk dan tersenyum, berterima kasih atas pujian tersebut.

Satu lelaki tua lagi tidak mau kalah. Ia turut menepuk pundak Abi yang satunya. "Sekarang kamu sudah menjadi direktur utama, kan? Di perusahaan mana?"

"Perusahaan Moza, Tuan," jawab Abi.

Lelaki tua itu mengangguk-angguk seolah mengerti. "Oh."

"Gimana reaksi orang tuamu?" Seorang perempuan bertubuh gendut bertanya. Sebenarnya ia terlihat masih cantik di usianya yang kira-kira separuh baya. Hanya saja, riasan wajahnya yang begitu berani dan perhiasan yang berlebihan membuatnya tampak aneh. "Mereka pasti bangga sekali sama kamu," tebaknya, "Tidak seperti orang lain. Baru saja bisa hidup enak di atas, eh, malah mau rusak rumah tangga orang. Untung bapaknya enggak pernah dengar."

Abi mengangguk anggun. "Ya, meskipun Papa sempat tidak setuju keputusanku menolak bergabung dalam bisnisnya, sekarang malah Papa yang menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepadaku. Aku sangat bersyukur karena bisa memberikannya pembuktian dan tidak harus mempermalukannya."

"Beginilah anak yang baik itu. Pulang bawa kebanggaan. Tidak seperti orang lain. Sudah tidak pernah pulang. Saat pulang, yang dibawa malah aib."

Gendang telinga Clarissa rasanya memanas. Kedua tangannya mengepal di bawah. Ia masih berusaha menguatkan diri. Meski hati Clarissa terus berteriak. Menyerunya untuk menghadapi siapa saja yang merendahkannya demikian, bahkan membicarakannya sembarangan. Mengumpulkan keberanian lalu meneriaki mereka semua dengan mengatakan, "Itu semua tidak benar! Aku tidak pernah berselingkuh dan yang kalian katakan hanya tuduhan!"

Padahal, Clarissa hanya ingin mengatakan kebenaran itu. Namun, lidahnya terasa begitu kelu. Ia masih berdiam di tempat. Lagi pula, apa yang bisa Clarissa buktikan? Bahkan, jika ia benar-benar memiliki keberanian untuk melakukan semua itu, tindakannya hanya sembrono dan semakin menghancurkan kehidupannya yang hanya menyisakan nama kelahiran. Satu orang akan tetap kalah melawan persatuan. Pada akhirnya, Clarissa melepaskan kepalan tangannya dengan pasrah.

Clarissa menarik napas kuat-kuat. Tangan kanannya berulang-ulang mengusap dadanya yang mulai mengeras. "Sabar, Rissa. Ini pasti akan berlalu dalam waktu cepat." Risa berusaha menenangkan diri dengan kalimat yang sama seperti sebelumnya.

Pemilik toko akhirnya datang. Seorang ibu tua berambut keriting pendek, yang tidak menyisakan warna hitam, kesusahan dengan lututnya yang tampak memburuk, mendorong air segalon penuh. Keadaannya yang begitu lemah membuat Clarissa urung melontarkan umpatan atas keterlambatannya. Ibu tua itu tidak tahu, apa yang hampir Clarissa bakar dalam mulutnya.

Meski sempat merasa iba, Clarissa membiarkan si pemilik toko kesusahan. Ia sendiri tengah berdiri dengan perasaan ketir. Ini pengalaman pertama baginya. Sebelumnya, ia belum pernah mengangkat air segalon penuh dan ia tidak memiliki keyakinan untuk bisa.

Selama ini, Bayu selalu mengawasi pola makan Clarissa dengan ketat. Sehingga terbentuklah tubuh kurus Clarissa. Kemudian berbagai insiden buruk yang terjadi beberapa hari ini, membebani pikiran Clarissa. Sehingga tubuh kurus Clarissa kini tampak seperti mumi hidup.

Dulu, Clarissa baik-baik saja dengan tubuh kurusnya. Karena Bayu setia di sisinya, dan tidak akan membiarkannya kesulitan. Sayangnya, saat ini tidak ada Bayu di sini.

Tidak ada orang yang bisa Clarissa mintai tolong. Mau bagaimana lagi? Ia pun menarik napas kuat-kuat. Membentuk kuda-kuda lalu membungkukkan punggung. Sebelum tangan Clarissa berhasil menyentuh galon itu, sepasang tangan besar sudah menguasainya lebih dahulu. Clarissa menoleh keheranan. Bola matanya langsung melebar mendapati bintang yang diagung-agungkan para manusia sialan itu, kini sudah berdiri di sampingnya sembari memanggul galon milik Clarissa di pundaknya. Lelaki itu tidak lagi terlihat seperti bintang dengan pakaian atasannya yang menyisakan kemeja putih, dengan bagian lengan yang dilipat sampai ke bahu.

"Ka-Kak Abi …." Clarissa dibuat tercengang. Ia mengerjapkan mata. Menguji apakah ini sungguh bukan mimpi?

Senyum di wajah tampan lelaki itu baru kali ini Clarissa lihat. Ekspresi yang tidak pernah ia bayangkan, akan Abi berikan kepadanya, setelah apa yang terjadi di antara mereka di masa lalu.

"Ka-Kak Abi, kenapa bisa ada di sini?" tanya Clarissa. Kemudian menoleh, menuju seberang jalan tempat para manusia sialan itu berkumpul. Rupanya, tempat itu telah sepi dari pembicaraan tidak berguna. Mereka masih berkumpul, hanya melihat, tanpa berbicara.

"Biar aku antar ke rumahmu." Abi menjawab kebingungan Clarissa.

Sebelum Clarissa bisa menyuarakan penolakannya, Abi sudah lebih dahulu melangkah. Membuat Clarissa terpaksa mengikuti dan mengatupkan bibirnya. Karena pandangan para manusia sialan itu lebih membuatnya merasa tidak nyaman.

Abi meletakkan galon itu di depan pintu rumah orang tua Clarissa. Clarissa amat lega mendapati galonnya sampai dengan begitu mudah. "Terima kasih, Kak," ucapnya bersyukur. Ia juga berusaha untuk tersenyum dengan baik. Sekadar tanggapan atas bantuan Abi ini.

Di luar dugaan, Abi memberikan reaksi berlawanan. Senyum yang dibangga-banggakan warga tadi sudah luntur bersama air keringatnya. Air mukannya menjadi dingin. Seolah ada bongkahan es dalam bola matanya. "Makanya, jangan bersikap sok kuat. Kamu tidak sehebat itu, Ajeng."

Clarissa tercengang seketika. A-apa dia menyindirku? batinnya keheranan.

Sebelum Clarissa memberikan penjelasan dengan kesabaran yang ia pertahankan, Abi sudah pergi tanpa pamit. Sebelum Clarissa mengatakan bahwa namanya sudah berganti sejak tiga belas tahun yang lalu.

Clarissa sudah berusaha dengan keras mengabaikan sindiran para manusia sialan tadi, tetapi Abi sepertinya sudah memancingnya. Akhirnya, Clarissa mengerti. Abi tidak pernah berniat tersenyum kepadanya atau bersikap baik kepadanya. Lelaki itu hanya tersenyum untuk memamerkan sikap baiknya kepada orang-orang. Lebih tepatnya, ia adalah orang yang haus pujian.

"Kalau tahu seperti ini, seharusnya aku menolakmu tadi!" Clarissa melompat-lompat saking kesal.

-oOo-