"Siaaal …."
Clarissa terus meracau tidak jelas semenjak satu jam lalu, untuk menghalangi suara gosipan tentangnya di masa depan yang masih menghantui gendang telinganya. Sedangkan pikirannya sibuk meratapi tindakan yang ia lakukan satu jam lalu.
Bagaimana tidak? Clarissa sudah mempermalukan diri dengan melibatkan dirinya dalam kehidupan palsu Abi. Mulai sekarang, saat orang-orang memuji sikap baik Abi, nama Clarissa akan tersangkut dalam ucapan mereka. Semakin terkenal saja Clarissa! Clarissa mungkin akan berterima kasih jika dirinya masih di posisi setahun yang lalu. Sedangkan kini, ia akan mengutuk Abi yang telah merusak impian hidup tenang dan sepinya.
"Seharusnya aku menolaknya tadi. Seharusnya aku menolaknya. Oh, tidak! Sial!" seruan Clarissa menyebabkan kakinya mendorong sesuatu dengan keras tanpa berpikir. Menyebabkan suara gebrakan pada pintu rumah Clarissa yang sudah reyot.
Clarissa langsung bangun saking terkejut. Kemudian, ia mendapati galonnya tadi, berdiri di dekat pintu. Sepertinya, benda berat itu yang didorong oleh kakinya barusan. Clarissa sampai terperangah sembari melihat kaki kurusnya yang begitu mulus. "Apa benar kau yang melakukannya?" tanyanya masih sulit percaya.
Setelah melihat kakinya, Clarissa berganti menatap pintu kayu di depannya dengan penuh kekaguman. Pintu itu amat tua. Lebih tua dibanding usia karirnya sebagai aktris. Namun, pintu itu masih mampu menahan rasa sakit yang diberikan galon itu.
Perhatian Clarissa beralih, berputar ke sekeliling sudut rumah yang dindingnya hanya dilapisi semen kasar. Polos. Tidak ada apa pun di ruangan sempit ini selain Clarissa dan galon itu. Tidak pernah terpajang foto keluarga saat mereka masih bisa tersenyum bersama. Sesal pun menyusui hati Clarissa. "Seandainya aku menyisakan waktuku untuk rumah ini, saat masih menjadi artis yang bersinar dulu, mungkin hidupku sekarang menjadi lebih baik."
Clarissa menarik napas kuat-kuat. Kemudian mengembuskannya. Tidak bisa dipercaya bahwa rumah yang tidak pernah ia ingat, kini menjadi satu-satunya tempat yang mau menerimanya.
Penyesalan Clarissa bergulir menuju kerinduan kepada sosok ayah dan ibunya. Kedua sosok manusia yang hampir tidak bisa Clarissa ingat, saking terlalu lama berpisah. Mereka berdua telah meninggal saat Clarissa masih duduk di bangku kelas 4 SD. Semenjak saat itu, Clarissa hidup dengan belas kasihan dari para tetangga.
Clarissa menarik napas kuat-kuat. Kemudian mengembuskannya sembari membaringkan kepalanya ke lantai. Menatap langit-langit kamar dan mencoba melukis wajah sepasang suami istri yang telah lenyap dari ingatannya.
"Ayah ... ibu …. Apa kalian sungguh akan malu jika bisa melihat keadaanku saat ini?"
-oOo-
Tidak ada pemasukan sedangkan pengeluaran terus mengalir. Sekarang Clarissa memang masih hidup tetapi mungkin ia akan mati sebentar lagi. Meski Clarissa sudah berusaha keras untuk meminimalisir pengeluarannya, seperti hidup tanpa listrik dan mandi dua hari sekali. Bagaimanapun ia berusaha keras, Clarissa tetaplah makhluk hidup yang membutuhkan makan dan minum—setidaknya, sampai uangnya habis. Clarissa bersyukur karena kebiasaan dietnya, ia menjadi terbiasa menderita kelaparan.
Sebenarnya, Clarissa sudah menyiapkan segala hal sebelum kematiannya. Sialnya, rencananya gagal karena satu kelalaian.
"Lima ribu." Pak Hemas menyebutkan nominal uang yang baru dihabiskan Clarissa untuk semangkuk bakso.
Sebenarnya, Clarissa sudah berusaha keras menahan diri. Namun, ia sudah tidak sanggup lagi. Aroma bakso tidak pernah melewati rumahnya tanpa menggelitik lubang hidung Clarissa. Tidak ada Bayu dan tidak ada yang bisa menghentikan Clarissa.
Clarissa merogoh kantong saku rok kirinya tidak sabar. Karena tidak menemukan apa-apa, ia beralih ke kantong saku lainnya. Sialnya, lagi-lagi ia hanya menemukan kekosongan. Mati aku! batin Clarissa. Seketika pikirannya menjadi kosong.
Clarissa akan baik-baik saja seandainya ia masih menjadi artis. Namun, di posisinya sekarang, tidak akan ada orang yang mau memercayainya. Orang-orang hanya memiliki sangkaan buruk terhadapnya.
Mulut Clarissa terkatup. Ia bingung harus mengatakan apa. Tidak ada rekomendasi kata di kepalanya. Dan tidak ada jaminan yang bisa ia berikan sebagai ganti kepercayaan. Kediaman Clarissa selama beberapa menit dipecahkan seruan Pak Hemas yang sudah letih menanti pembayaran darinya. "Kok lama banget!" Dia sampai menyentak Clarissa. Keyakinan Clarissa menguat—bahwa ia tidak akan baik-baik saja jika mengatakan kebenaran. Sepertinya benar kata pepatah, 'kebenaran kadang terasa pahit'.
Clarissa tidak tahu haruskah ia bersyukur atau merasa sial mendapati selembar uang biru tersodor di depannya. Parfum berbau maskulin menggelitik hidung Clarissa. Sejenis wangi yang mulai terasa tidak asing bagi indra penciumannya. Clarissa langsung menoleh. Lelaki yang tampak khas mengenakan kemeja dengan bagian lengan terlipat sudah berdiri di dekat Clarissa. Tangannya yang kekar masih memegang uang biru itu. Senyum secerah mentari siang ini menguasai wajahnya yang kecokelatan. Siapapun yang melihat senyum itu akan lansung tersanjung.
… kecuali Clarissa. Karena ia sudah melihat wajah asli lelaki itu: Abian Arsenio.
"Ini. Pak. Aku yang bayar," kata Abi semakin mendorong uang tersebut.
"Eh, ada Nak Abi." Pak Hemas mulai menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. Ia tampak ragu untuk menerima uang itu. Tangannya tidak ada yang bergerak seolah enggan menerima. "Bagaimana, ya?"
Abi menaikkan alis. "Ada apa, Pak?"
"Sepertinya, tidak ada kembalian penuh."
Bisakah tukang bakso itu dipercaya? Mana mungkin bisa begitu? Clarissa sampai membatin, Pak Hemas pasti sengaja biar baksonya dibeli banyak.
Clarissa tidak mau menerima penipuan ini. Dan ia lebih tidak sudi menerima bantuan Abi. Ia langsung mencekal tangan Abi. "Tidak usah. Aku akan membayarnya sendiri."
Abi menoleh pada Clarissa. Senyum di wajahnya semakin lebar saja. Andai Clarissa belum melihat iblis di wajah malaikat Abi, mungkin Clarissa sudah jatuh tidak berdaya. Lututnya terlalu lemah untuk menerima karisma yang terpancar di wajah Abi.
"Tidak apa-apa. Lagi pula, aku mau beli bakso enam bungkus." Abi kembali menghadap Pak Hemas. "Sisanya bungkus saja. Kasih buat Ajeng."
Clarissa hanya bergeming. Ia mengepalkan kedua tangannya di bawah. Menguatkan diri untuk tidak tertipu lagi dengan kebaikan Abi. Sedangkan Pak Hemas mengangguk. Kemudian berbalik menuju gerobak untuk memenuhi seluruh pesanan Abi.
"Aku mau pulang. Aku mau membayar pesananku sendiri," Clarissa menegaskan. Ia sungguh tidak betah dengan suasana kaku ini. Saat ia mau melangkahkan kaki untuk pergi, Abi langsung mencekal pergelangan tangannya. Masih sama seperti sebelumnya, Abi mengusir senyumannya setiap melihat Clarissa.
"Apa kamu tidak mendengar kalau aku sudah memesan tiga bungkus bakso untukmu?" protesnya.
Clarissa langsung menghempaskan tangan Abi. "Tapi bukan aku yang menyuruhmu memesannya!" Ia tidak mau kalah.
"Apa aku menyuruhmu membayarnya? Cukup terima saja!"
Meskipun Abi sudah memberikan kemudahan, tetap saja Clarissa tidak nyaman menerima bantuan yang diberikan Abi untuk menarik pujian orang-orang. Dan jika Clarissa nekat pergi, ia hanya akan membuat dirinya terlihat semakin buruk di mata orang-orang. Clarissa terpaksa duduk di salah satu kursi dan berusaha menenangkan diri. Clarissa tidak mau terlihat gugup di mata Abi yang kini duduk di sampingnya.