Chereads / Terjebak Pernikahan Rahasia / Chapter 5 - 6. Gaji Kecil Dalam Waktu Cepat

Chapter 5 - 6. Gaji Kecil Dalam Waktu Cepat

Lambaian tangan seorang perempuan dari kejauhan menyudahi penantian panjang Clarissa. Lagi pula, ia merasa tidak nyaman dengan tatapan was-was Pak Hemas. Seolah khawatir ia akan merugi hanya karena Clarissa duduk di salah satu kursi warung baksonya.

"Nanti aku pesan, kok, Pak. Tunggu temanku dulu," ujar Clarissa membela diri saat Pak Hemas menagih pesanannya untuk ketiga kalinya.

"Lha, temanmu itu kapan datang?"

"Sebentar lagi, Pak. Tolong sabar sedikit, ya, Pak. Daripada nanti tidak jadi beli? Atau, kalau aku pesan sekarang, terus temanku tidak datang, siapa yang akan bayar? Aku kan, tidak punya uang. Memangnya Bapak mau membiarkan aku mengutang?"

Dengan air mukanya yang tampak tidak rela, Pak Hemas pun mengalah dan berusaha bersabar lebih lama lagi.

Clariss bebas bernapas lega saat perempuan itu semakin mendekat. Kemudian bangun dari kursi plastik yang ia duduki sedari tadi, untuk menyambut perempuan itu."

"Hai," sapa perempuan itu, sembari tangannya melambai. "Bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik saja, kan? Aku masih mengkhawatirkanmu."

Clarissa menyalami perempuan itu dengan pelukan. "Terima kasih sudah datang, Ren." Kemudian melepaskan. Tersenyum penuh rasa syukur. Meski Clarissa menyadari bahwa kekhawatiran itu sekadar basa-basi. "Tentunya, keadaanku tidak sebaik dulu. Tapi, syukurlah, karena keadaanku masih bisa baik-baik saja."

Perempuan itu, Renata, manggut-manggut mengerti. Kemudian teringat sesuatu. "Oh, ya. Katanya lo butuh bantuan gue."

Tatapan Clarissa memelas. Kedua tangannya menyentuh tangan Renata yang begitu cantik dengan perwarna kuku biru muda berkilauan dan dikelilingi perhiasan. Berbanding terbalik dengan tangan Clarissa yang begitu kusam. Terlalu lama tidak mendapatkan perawatan.

"Karena memang, hanya kamu satu-satunya orang yang mau menerima panggilanku," ujar Clarissa dengan sejuta harapan.

Clarissa mempersilakan Renata duduk. Meski ia sempat khawatir karena tempat ini tidak berkelas. Untungnya, Renata tidak mengeluh sama sekali. Ia malah terlihat biasa saja. Clarissa pun segera memesan dua porsi bakso dari Pak Hemas.

"Masih sulit dipercaya. Hidupmu berubah sekacau ini dalam seketika," komentar Renata, mengandung rasa iba.

Clarissa mengangguk. Dengan tetap mempertahankan senyum tipisnya. Berusaha terlihat tegar meski ia tidak sehebat itu—sebenarnya.

Keterkejutan Renata tiba-tiba membuat Clarissa ingin tertawa. Hidupnya benar-benar kacau. Padahal, beberapa bulan lalu, orang-orang berlomba-lomba untuk menyentuh tangannya. Kini mereka semua menjauh. Berlomba-lomba mencibir Clarissa.

"Jadi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Renata.

Clarissa melirik Pak Hemas. Lelaki berusia kepala lima itu telah selesai meracik bakso pesanan Clarissa. Kumis lelenya naik turun karena bibirnya menggumamkan sesuatu. Kemudian membalikkan badan. Ia berjalan mendekat dengan membawa dua mangkuk bakso. Clarissa pun menoleh kepada Renata. "Nanti dulu, ya. Baksonya sudah datang. Dan aku sangat lapar."

Pandangan Renata mengikuti jejak pandangan Clarissa. Kini Pak Hemas tengah menata kedua mangkuk itu di atas meja.

Clarissa menarik salah satu mangkuk antusias. Kemudian menengok ke atas. "Bayarin aku juga, nanti, ya?" Ia mengerling. Kemudian mulai melahap bagian bakso itu. Rakus. Kapan lagi Clarissa bisa bebas memesan seperti ini?

Mata Renata menyipit. Memastikan pemandangan asing ini tidak sedang salah dilihatnya. "Kamu … sudah berapa hari tidak makan?"

"Semenjak aku menghubungimu," jawab Clarissa, terdengar begitu lugu. Sedangkan mata Renata langsung membelalak saking terkejut.

"Tiga hari yang lalu?" pekik Renata. Tidak bisa dipercaya.

Clarissa mengganti anggukannya menjadi tawa. Wajahnya terlihat seolah tidak berdosa. "Iya. Karena kupikir, kita akan bertemu kemarin. Tapi ternyata, kamu sedang memiliki acara lain. Daripada nanggung, ya aku puasa sehari lagi." Ia menaikkan kedua sudut bibirnya sampai memamerkan dua baris giginya. "Kan, sayang uangnya kalau kugunakan untuk membeli makanan kemarin. Dan aku sudah susah payah berpuasa di hari sebelumnya demi makan dari uangmu."

"Kalau kamu bisa berpuasa sehari lagi, kenapa kamu enggak berpuasa seterusnya lagi? Biarkan saja kamu terus enggak makan dan uangmu bisa tetap tersimpan." Suara Renata terdengar ketus.

Clarissa malah tetap tertawa dengan raut wajah tidak berdosanya. Menambah perasaan kesal di hati Renata. Meski di salah satu ruang hatinya, sebenarnya Renata merasa prihatin.

"Perut kamu bisa sakit, Clarissa!" tegur Renata, meluapkan kekhawatirannya.

"Apa sakit perut bisa membuatku mati?" Clarissa malah menggoda dan menganggap seolah teguran Renata bukanlah sesuatu yang besar.

"Tidak! Setelah ini, aku akan mencekikmu. Barulah kamu mati!"

Tawa Clarissa kembali meledak. Lebih keras dibandingkan sebelumnya. Ia tidak ingat pernah tertawa seluas ini selama menjadi artis. Setiap hari dan hampir setiap waktu, ia terus bertemu orang-orang berpengaruh, yang mengharuskannya selalu bersikap sopan dan anggun. Bahkan untuk tertawa dan makan, ada tata krama tersendiri.

Setelah tenggelam dalam keterpurukan selama berhari-hari, rasanya baru sekarang Clarissa bisa merasa senang tanpa memikirkan apa pun dan melupakan segala masalah yang terjadi.

Tentu saja. Bagaimana Clarissa bisa tidak senang setelah menemukan sebuah harta karun di tengah kegelapan lautan. Dan Renata adalah harta karun itu. Satu-satunya teman Clarissa yang tersisa.

Obrolan pun berhenti. Lagi pula, tidak ada kekhawatiran yang bisa disuarakan. Clarissa selalu merubah kekhawatiran Renata menjadi lelucon. Renata pun memilih diam dan memilih menikmati semangkuk baksonya.

Clarissa tidak membuang kesempatan baik ini begitu saja. Masih dengan wajah tidak berdosanya, ia menambah pesanan dengan membungkus tiga porsi.

"Sudah dipastikan, kalau hidupmu benar-benar kacau," gumam Renata berkomentar.

Rupanya, bertemu di warung Pak Hemas sekadar alasan bagi Clarissa. Kenyataannya, tidak ada satu pun pembicaraan penting yang dilakukan di tempat itu. Clarissa justru mengajak Renata menjejakkan kaki di rumah reyotnya.

Tentu saja Clarissa masih punya malu. Namun, ia berusaha menahan perasaan tidak nyaman itu demi memberikan kenyamanan untuk sang tamu—meski itu tidak meyakinkan.

"Maaf, ya, Renata. Aku tidak memiliki kursi di rumah ini," kata Clarissa, merasa tidak enak hati. Ia tersenyum tipis sembari memasang kain di atas tikar yang melapisi lantai rumahnya.

Untung saja, Renata bisa memahami keadaan Clarissa. Ia tidak mempermasalahkan tindakan yang bisa dibilang tidak sopan untuk artis papan atas sekelas dirinya. Ia malah menerima penyambutan dari Clarissa dengan senyuman dan duduk begitu saja.

Clarissa turut duduk di depan Renata. Ia diam beberapa saat. Menarik napas dalam-dalam. Kemudian melihat Renata dengan tatapan memelas.

"Ren," panggil Clarissa, "tolong bantu aku."

"Aku kemari memang untuk itu. Aku mendengar dari orang-orang agensi, katanya utangmu sudah lunas. Jadi, apa lagi masalahmu?"

"Aku …." Clarissa agak kesulitan mengatakan. Ia malu mengaku. Ia pun menundukkan kepala dan menurunkan intonasi suaranya. "Aku tidak tahan terus direndahkan orang-orang."

Renata tercengang. Tiga tahun yang lalu, sekali pun ia tidak pernah membayangkan akan melihat Clarissa dalam keadaan seburuk ini. Seorang perempuan yang selalu dipuja-puja kini direndahkan seluruh orang. Jujur saja, hati Renata berharap bahwa yang terjadi saat ini hanyalah mimpi. Kemudian ia terbangun dan kembali sebagai Renata di tiga tahun yang lalu.

-oOo-