"Oh, ya—" Clarissa telah mengumpulkan keberanian untuk membuka suara "—Namaku Clarissa, bukan Ajeng," ia menegaskan sesuatu yang belum sempat ia katakan sebelumnya.
"Oh, ya? Aku baru mengetahuinya." Abi mengangguk-angguk seolah mengerti sedangkan perhatiannya menuju jalan seolah tidak peduli. Clarissa tidak tahu apa Abi memang baru mengetahuinya atau hanya berpura-pura tidak tahu. Tidak mungkin ada orang di Indonesia ini yang tidak mengenali nama yang membesarkan karirnya. Namun, air muka Abi terlalu serius untuk berpura-pura.
Tali yang mengikat dada Clarissa akhirnya terlepas setelah Pak Hemas memberikan tiga bungkus bakso Clarissa. Pak Hemas melayani Clarissa lebih dahulu agar ia lekas pergi. Niatnya memang kasar. Namun, itu juga yang diinginkan Clarissa.
"Terima kasih." Ah, sial! Kenapa Clarissa mengatakan itu melalui mulutnya?
Sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi basi, batin Clarissa membela diri. Kemudian lekas pergi untuk menyembunyikan malu.
Sesampainya di rumah, Clarissa menyemburkan napas lega sepuasnya. Kini, tiga bungkus bakso tergeletak di atas tikar. Ia harus menghabiskan uang dua puluh ribu untuk pengeluaran sore ini. Dan ia tidak tahu bagaimana caranya menghabiskan semua bakso ini. Jika pun Clarissa bisa menghabiskannya sekarang, maka besok ia tidak akan menghabiskan apa pun. Sayang sekali, tidak ada kulkas yang membuat bakso ini bisa tetap awet.
Clarissa tidak bisa tenang melihat semua bakso itu. Senyum licik Abi masih menempel pada dinding ingatannya. Senyum yang membuat Clarissa semakin marah.
Clarissa langsung bangun. Ia bergegas memasuki salah satu dari dua kamar di rumahnya. Kemudian mengambil dompet dari dalam lemari dan menarik selembar uang hijau. Setelah mengembalikan dompet itu ke semula, Clarissa bergegas pergi ke luar. Ia kembali ke warung bakso Pak Hemas. Kata Pak Hemas, Abi sudah pulang beberapa saat lalu. Kemarahan Clarissa membuatnya nekat mengikuti jejak langkah lelaki itu. Ia masih tidak terima harga dirinya diinjak-injak.
Dari seberang jalan, Clarissa melihat Abi memamerkan senyumnya ke beberapa anak pengamen yang mengerumuninya. Anak-anak itu membawa sebungkus bakso masing-masing. Tampaknya, Abi begitu sibuk menerima ucapan terima kasih mereka dan memamerkan kebaikannya. Clarissa pun memilih tidak jadi menyeberang. Ia hanya berdiam di tempat tanpa mengalihkan perhatiannya sedetik pun dari Abi. Padahal, ia hanya melakukan itu dan perhatian Abi berhasil tertarik begitu saja.
Abi membubarkan kerumunan itu sembari melambaikan ucapan selamat tinggal. Kemudian ia menyeberangi jalan untuk menghampiri Clarissa.
"Untuk apa kamu kemari?" tanya Abi bernada ketus. Ia terlihat sibuk menoleh ke kanan kiri. Tampak waspada barang kali ada yang memperhatikannya bersama Clarissa.
Sejujurnya Clarissa tersinggung. Abi membuatnya merasa seperti seorang parasit. Namun, kenyataan bahwa Abi kini berdiri di samping perempuan berjuluk pelakor kelas dunia seperti Clarissa memang memalukan. Clarissa tidak bisa mengelak soal itu.
Clarissa menyerahkan uang hijaunya. "Aku hanya ingin mengembalikan uangmu."
"Tidak usah. Aku tidak butuh," tolak Abi. Langsung memalingkan perhatiannya menuju jejalan. Tampak jalan tidak begitu ramai. Tidak ada kemacetan dan pejalan kaki bebas melintas.
"Kalau kamu tidak membutuhkannya, kamu bisa memberikannya kepada orang lain yang membutuhkan," tegus Clarissa. Kemudian menarik tangan Abi dan memaksa lelaki itu agar menggenggam uangnya. Namun, Abi malah tidak melepaskan tangan Clarissa.
Dalam sejenak, Abi memaku tatapannya kepada Clarissa. Tanpa bersuara. Tiba-tiba ia menarik Clarissa, memaksanya berjalan, lalu memasuki sebuah gang sempit dan sepi. Abi mendorong Clarissa sampai menabrak dinding bangunan. Kemudian mengunci tubuh kecil Clarissa di antara kedua lengan kekarnya.
"Apa kamu belum bisa melihat dirimu sendiri?" tanya Abi, dengan memberikan penekanan pada setiap kata.
Clarissa tidak mengerti. "Memangnya apa yang masih perlu kulihat dari diriku?"
"Kekurangan. Karena seluruh bagian dalam dirimu adalah kekurangan. Seharusnya kamu bisa melihat itu. Tapi berani sekali kamu mengatakan kalau kamu bukan orang yang membutuhkan?" Abi menarik sudut kiri bibirnya, sinis.
Mata sayu Clarissa melebar. "A-apa kamu menghinaku sekarang?" Abi berhasil membuatnya tercengang.
"Apa aku terlihat menyanjungmu?" Sekali lagi, Abi tersenyum sinis.
Degup jantung Clarissa menjadi tidak keruan. Kedua tangannya mengepal erat di bawah. Sekali lagi, ia berusaha menahan diri untuk tidak menampar lelaki yang mengangkat kepala begitu angkuh di depannya.
Clarissa menarik napas kuat-kuat. Kemudian mengembuskan perlahan sembari melontarkan balasan, "Kalau aku masih bisa memenuhi, kenapa aku harus membutuhkan? Karena itu aku masih bisa mengembalikan uangmu."
"Kenyataannya, kamu sudah terpuruk sekarang. Apa kamu masih belum bangun juga?"
Lebar mata Clarissa berkurang perlahan. Abi benar. Meski enggan, Clarissa tidak bisa mengelaknya.
Tangan kanan Abi menyentuh pundak kiri Clarissa. Merayap di atas lengan Clarissa lalu berakhir pada telapak tangannya. Abi mengisi kepalan tangan Clarissa dengan sesuatu. Mengunci kepalan tangan itu sehingga Clarissa belum bisa melihat isinya.
Abi mendorong kepalanya mendekati telinga Clarissa. Meniupkan udara dari mulutnya sehingga menggetarkan tubuh Clarissa. Degup jantung Clarissa semakin kencang saja. Sakit. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Karena kedua tangannya masih terkunci dan terpaku suara lirih Abi. "Dengan memperbesar harga dirimu, kamu tidak akan pernah bisa menyamai posisiku. Kamu bukan apa-apa dan akan selalu di bawahku, baik bagi orang lain maupun diriku. Jadi, simpan uang itu. Kalau kamu hambur-hamburkan di awal, kamu tidak akan jadi apa-apa lagi seumur hidupmu."
Abi menarik kepalanya, begitu pun dengan tangan dan tubuhnya. Kemudian pergi meninggalkan Clarissa.
Sampai Abi lenyap dari jangkauan pandangannya, Clarissa masih membeku. Kemudian mengangkat tangan dan membuka genggaman tangannya. Selembar
uang hijau yang ia berikan kepada Abi mengisi telapak tangannya.
Napas Clarissa menjadi tersendat-sendat. Dadanya terasa begitu sesak. Air matanya tak lagi mampu ia bendung. Ia terduduk lunglai. Lututnya tidak kuat menopang tubuhnya lebih lama lagi.
"Apa sesulit ini jatuh miskin?" gumam Clarissa, meratapi keadaannya yang memburuk. Padahal, ia dibesarkan dalam kemiskinan. Bahkan tumbuh dewasa sebagai yatim piatu. Namun, ia baru tahu bahwa kehilangan sesuatu atau terjatuh akan membuatnya sesakit ini. Tidak ada bagian dari tulangnya yang utuh sampai tidak ada orang yang menganggapnya sebagai apa-apa.
"Kalau aku tidak bisa menjadi apa-apa tanpa uang hijau ini, apa tingkatan manusia hanya dinilai dari uang?" Clarissa mulai bertanya-tanya.
Rasanya tidak adil. Dan Tuhan tidak akan sejahat itu kepada manusia. Namun, memang begitu realita di dunia. Kehormatan hanya dinilai dari uang. Jika seseorang memiliki uang banyak, tidak akan ada yang merendahkannya seburuk apa pun perangainya. Namun, jika orang sebaliknya, dan terlebih lagi kalau orang itu adalah Clarissa, bahkan penjual bakso pun ragu melayani. Takut-takut sampai diutangi.
Clarissa menyeka air mata di wajahnya. Tekad mengasah tatapannya. Kedua tangannya mengepal di atas jalan. "Jika memang begini prioritas jalannya roda di dunia, maka aku akan mengangkat kaki ke atasnya. Aku akan mengikuti permainan ini!
"Jika dengan uang aku bisa mendapatkan kehormatanku kembali, maka aku yang akan mengejar uang itu. Dengan cara apa pun dan demi kehormatan!"
-oOo-