Namaku Nakula. Kalian pasti sudah tau kisah ketika Bumi berada di ambang kehancuran. Sekarang sudah 45 tahun dari saat itu, Bumi mulai membangun semuanya seperti semula. Lalu, bagaimana dengan Magnogium? Mudah saja, manusia berusia 15 tahun akan mendapat seleksi. Semuanya. Baik laki-laki maupun perempuan, siapapun yang berusia 15 tahun bisa menjadi yang terpilih. Hari di adakannya seleksi itulah yang mereka sebut dengan
Aku memasang menaikkan ritsleting jaketku, aku tidak terbiasa memakainya tapi hari ini aku ingin memakainya. Aku hanya memakai kaus, jaket, sepatu yang nyaman, dan juga celana panjang. Tidak lupa aku membawa ranselku yang hanya berisi sedikit barang. Tidak ada yang perlu kubawa selain beberapa lembar baju dan barang-barang penting, lagipula tidak ada yang bisa memastikan jika aku akan menjadi yang terpilih. Aku duduk bersama dua teman karibku yang juga mengikuti seleksi hari ini, perbedaannya adalah mereka sudah lebih dulu di seleksi sebelum aku.
"Sudahlah, Abi... Tidak masalah jika kamu tidak terpilih kan?" Kata Gadis, perempuan yang merupakan sahabatku. Aku menoleh ke sisi kananku, melihat sahabatku yang lain kini tertunduk lesu. Abi, semua orang tau kegilaannya tentang Lumentia dan Magnogium. Dia begitu yakin kalau dirinya akan menjadi seorang Lumentia, karena kakaknya juga seorang yang terpilih. Seharusnya orang yang memiliki kerabat yang terpilih, akan memiliki peluang besar untuk terpilih juga, namun ia harus patah semangat karena dia tidak terpilih. Aku bisa tau dengan sangat jelas karena aku sahabatnya, tapi hanya dengan melihatnya sekilas kupikir semua orang bisa tau kalau dia sangat terpukul.
"Gadis benar, tidak terpilih bukan berarti kita tidak bisa menjadi orang keren." Kataku, Gadis tersenyum dan mengangguk kearahku. Aku lalu merangkul bahu Abi, mengacak rambutnya dengan bercanda. "Lihat Gadis, dia saja senang tidak terpilih! Iya gak, Dis?"
Gadis tertawa, tersipu dan merona saat melihatku. Aku tersenyum kearah Gadis, lalu kearah Abi yang mengangkat kepalanya dan tersenyum kearah Gadis. "Iya, terimakasih."
"Kita buktikan kalau Mortal juga bisa menjadi pahlawan!" Abi berseru semangat, aku dan Gadis tertawa. Aku senang sekali Abi bisa kembali bersemangat, aku tidak bisa membayangkan Abi yang jahil dan cerewet menjadi Abi yang murung dan pendiam. Dalam hati, aku sebenarnya juga sedih karena dia tidak terpilih. Abi adalah sahabatku, sahabat yang memiliki kegilaan yang sama denganku. Sejak lima tahun yang lalu, saat ada satu portal dengan
'Nakula Siran.' Namaku di panggil, giliranku tiba. Aku beranjak berdiri, menggendong ranselku di pundak. Gadis dan Abi juga berdiri, mereka tersenyum.
"Semangat, Nakula." Gadis tersenyum, dia meloncat memelukku. Aku tersentak, Gadis tidak pernah memelukku sebelumnya. Aku lalu membuka tanganku, merasakan Abi juga bergabung memelukku. "Sampai jumpa." Kataku, setidaknya aku perlu mengatakan sesuatu jika nyatanya aku terpilih. Karena mereka yang terpilih tidak di berikan waktu untuk mengucapkan selamat tinggal, mereka akan langsung di kirim ke planet khusus Lumentia.
'Nakula Siran.' Panggilan kedua, aku harus bergegas. Abi dan Gadis melepas pelukannya, aku melambaikan tangan kearah mereka. Aku tiba-tiba menangkap tatapan dingin dari Abi yang di berikan padaku, tapi dia kemudian tersenyum kearahku. "Sampai jumpa, Nakula. Kalau kamu terpilih, jangan lupakan kami ya." Katanya, aku mengangguk. Mana mungkin aku melupakan mereka.
Mengabaikan rasa janggal di benakku, aku berjalan menuju tempat seleksinya. Aku melihat wanita yang merupakan seorang
Ruangan itu merupakan ruangan kubus biasa, ruangan serba putih dengan isi sebuah meja dengan sebuah kursi. Aku melihat seorang pria tua yang memakai jas putih panjang, dia melihat kearahku dan tersenyum. "Nakula Siran?"
"Ya, itu saya." Jawabku mantap, jantungku berdebar keras karena ini adalah momen yang sudah kunanti selama satu tahun. Aku berdiri tepat di depan meja tersebut, dia lalu menyodorkan sebuah tabung dengan cairan berwarna biru kepadaku.
"Minumlah..." Tanpa banyak tanya, karena dua sahabatku sudah menceritakan kalau minuman itu penentunya, aku langsung meminumnya. Dalam hati, aku berdoa semoga aku bisa menjadi salah satu dari yang terpilih. Aku menutup mataku, lalu membukanya dengan perlahan.
Tidak terjadi apapun, aku menatap pria tua itu dengan bertanya-tanya. Pria tua itu tersenyum, tidak mengatakan apapun. Saat itu juga, aku di landa rasa kecewa. Jadi, ini yang di rasakan oleh Abi ketika dia tidak terpilih? Suaraku tercekat di tenggorokan, aku ingin mengatakan sesuatu tapi suaraku tidak bisa keluar. 'Kenapa?' Aku ingin sekali menanyakan itu. Apa semua usahaku selama ini sia-sia? Iya juga, Abi yang kakaknya adalah seorang terpilih sajs tidak terpilih, apalagi aku. Aku yang tidak punya anggota keluarga lagi, yang bahkan tidak memiliki kenalan seorang Lumentia.
["Kau sudah benar-benar tidak mempunyai keluarga lagi, nak?"]
Sebuah suara muncul di kepalaku, aku melihat ke arah pria tua. Tapi, bukan pria tua itu yang kulihat. Aku justru melihat sebuah temoat kosong dengan sekelilingku berwarna putih dan kabut tebal. Aku terdiam. Apa yang terjadi?
["Jawab saya."]
"I-iya...?" Tanyaku, aku gugup.
["Bagus. Berarti saya tidak salah menilai."] Sebuah bayangan muncul diantara kabut, seseorang dengan dengan sayap. Aku mengerjap, sosok itu maju kearahku. Jantungku berdebar lagi, penasaran dengan sosok yang bicara kepadaku. Sebenarnya, dari suaranya saja sudah jelas kalau 'dia' adalah seorang pria. Tapi, seperti apakah sosok pria itu? Pria itu maju, menunjukkan dirinya. Daguku jatuh dan wajahku sepertinya memucat, apa yang kulihat ini benar?
"Anda— siluman burung?" Tanyaku. Pria itu memiliki bagian leher dan kepalanya adalah burung, dengan tubuh manusia dan sayap elang keemasan. Dari wajahnya, sepertinya dia tersinggung. Dia langsung mundur perlahan.
["Saya tidak jadi menjadi Predescessor-mu"] Katanya, sepertinya kecewa meskipun ekspresinya tetap datar.
"EEEHHHHH! Jangan! Jangan! Maafkan saya!" Aku panik, mencoba mencegahnya pergi. Dia sudah berniat menjadi Predecessor-ku! Dia maju lagi, lalu mengeluarkan sebuah keris dari sakunya. Tiba-tiba saja, dia sudah ada di hadapanku dengan kerisnya mengarah ke leherku. Gerakannya cepat sekali!
["Saya tidak main-main. Jika kau bisa menuruti perintahku, saya bisa menjadikanmu salah satu Successor di bawah namaku."]
Saat aku merasakan aura mengerikan yang berasal darinya, juga melihat dengan jelas wujudnya yang seperti elang, aku mengetahui satu nama yang pernah kubaca.
Salah satu Predecessor terkuat adalah [The King of Birds], dengan nama lain [Garuda] |
Salah satu Predecessor terkuat. Kalimat itu muncul di kepalaku saat tatapannya mengarah padaku, tatapan dan ingatan itu membuat buku kudukku berdiri. Aku ingat bagaimana Abi benar-benar bersemangat dalam menceritakan betapa hebatnya [The King of Birds] yang ia kagumi, betapa kuat semua Successor yang ada di bawah namanya. Aku menelan ludah. Aku bingung. Entah kenapa, aku tidak merasa takut.
"Bisa tolong Anda mundur? Paruh Anda hampir mengenai saya." Pintaku, dia menurunkan kerisnya dan tertawa. Aku menatapnya dengan tatapan tegas, aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa menjadi Successor-nya.
["Baiklah, maaf soal yang tadi. Tapi, nak, saya sedikit terkejut kau tidak takut pada saya."] Aku tidak tau bagaimana, tapi aku rasa dia sedang menatapku dengan penasaran.
"Saya juga terkejut." Jawabku sejujurnya. Dia mengangguk, seakan menyudahi semua basa-basi yang baru saja terjadi.
["Nakula Siran. Jadilah Lumentia yang berada di bawah namaku. Saya bisa membuatmu sangat kuat.] Dia mengulurkan tangannya, membuatku tercengang. Aku senang sekali.
Aku ingin sekali langsung menjawab iya, tapi aku juga ingat bahwa ada konsekuensi dalam menerima Predecessor yang mengajak bergabung. Aku terdiam. Kenapa dia menginginkanku di bawah naungannya? Aku melihatnya dengan lebih saksama. Dia memakai pakaian zaman kerajaan lampau nusantara, juga dengan keris dan beberapa perhiasan emas di lengan dan pergelangan kaki tangannya.
"Iya, saya bersedia." Walau sebenarnya bukan itu yang ingin kukatakan, aku mengangkat tanganku dan menjabat tangannya. Aku bisa merasakan kalau dia tersenyum senang dan bangga, bukan kepadaku, bangga kepada dirinya sendiri. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada.
["Selamat. Kau orang ke-4 yang berada di bawah namaku. Mulai sekarang, kau kau adalah Lumentia dengan sistem Garuda."]
Dengan kata-katanya itu, pandanganku mulai mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, sampai pandanganku akhirnya menunjukkan wajah pria tua yang ada di dalam ruangan seleksi. Wajah tuanya yang berkeriput mencerah, dia tersenyum lebar dan berkata :
"Lulus."