Chereads / Dandelion. / Chapter 3 - Bab 03. Ingin Menghindar

Chapter 3 - Bab 03. Ingin Menghindar

"Lupakan sajalah, kamu miskin," racau Anna semakin tidak jelas. Ia kembali menundukkan kepalanya pada counter desk. Pusing dan perasaann mual yang dialaminya semakin menggebu.

"Beginikah perasaan jika seseorang sudah mabuk?"

"Benar-benar tidak enak" racaunya kembali dengan kepala masih menunduk.

Matanya sudah terpejam karena jika sampai ia membukanya lagi, Anna mungkin akan memuntahkan segala isi perutnya saat itu juga.

Dering handphone milik seseorang yang ia duga adalah pria yang menolak hadiahnya menggelitik indra pendengarannya. Percayalah, meskipun saat ini Anna terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan kesadaran, namun segala hal yang ada di sekitarnya masih mampu ia dengar dengan sangat jelas.

"Hmm," suara bariton seorang pria mulai terdengar.

"..."

"Sudah kubilang berhenti menggangguku," agaknya pria itu berbicara pada seseorang yang berada di seberang sana di balik telepon.

"..."

"Berhenti bersikap seperti itu, rengekanmu membuatku jijik," dan setelah mengatakan itu, pria itu langsung mematikan panggilannya sepihak.

Anna tidak melewatkan satu katapun dari percakapan pria itu, karena posisinya yang memang hanya dibatasi dua buah bar stooll. Jika Anna tebak mungkin saja itu adalah pacar dari pria itu.

"Benar-benar brengsek," racau Anna lagi.

"Hey, kamu. Berhenti memperlakukan perempuan seperti itu, perempuan juga punya hati, jangan berprilaku seenaknya seolah hanya ada kamu di bumi ini," tambahnya lagi dengan nada suara yang naik turun khas orang mabuk.

Merasa bahwa semua ucapan itu diarahkan kepadanya, pria itu berbalik dan menghadap wanita yang sudah sejak tadi selalu mengganggunya. Ia tidak tahu masalah apa yang dimiliki wanita itu pada dirinya sehingga ia terus saja diganggu.

"Aku tidak berpikir dengan kondisimu yang sekarang, kamu masih harus mencampuri urusan orang lain, Nona."

Anna hanya berdecih mendengar ucapan pria itu yang sepertinya di tujukan kepadanya.

"No-nona, bisa anda memberitahuku nomor telephone teman atau kerabatmu untuk menjemputu di sini?" tanya pria bartender itu kembali mengulangi pertanyaan yang sejenis.

"Hhhh, ibuku, kamu bisa pergi menggalinya di kuburan. Sedangkan Ayahku, akan lebih bagus jika kamu mencarinya untukku, tanganku sudah gatal untuk membunuhnya. Bagaimana jika kamu saja yang mengantarku nanti," jawab Anna dengan nada tinggi kemudian kembali sesenggukan, sepertinya ia tidak melupakan semua hal yang terjadi dalam hidupnya.

"Benar-benar wanita gila," gumam pria yang duduk di sebelahnya.

"Ah ada satu orang, tetapi aku ragu jika ia akan peduli padaku, ckck," tambahnya lagi kemudian tertawa renyah seperti orang yang kehilangan kewarasan.

Melihat perubahan ekspresi pada wanita yang ada di depannya terjadi begitu cepat membuat pria bartender itu sedikit merasa bersalah. Bagi pria bartender itu, ia baru pertama kali melihat seorang yang begitu menyedihkan terutama orang itu adalah seorang perempuan. Ia merasa iba namun juga merasa lucu disaat yang bersamaan.

Detik berganti menit, menit berganti dengan jam, tak terasa Anna sudah berada di tempat itu selama dua setengah jam.

Tak ada lagi racauan yang terdengar, hanya sesekali isakan tangis yang berhasil lolos dari bibirnya. Dan kemudian hening, seperti seorang yang sedang tertidur. Pria bartender itu hanya menghembuskan napas pasrah dan bersabar menunggu sampai wanita itu akan kembali sadar.

Anna sudah berhenti minum sejak sejam yang lalu karena ia tidak mampu lagi menahan bobot tubuhnya dan akhirnya tanpa sadar, ia memjatuhkan kepalanya di atas counter desk dan tertidur di sana.

.

.

.

Anna mengerjap-ngerjapkan matanya, masih dalam pengaruh minuman beralkohol itu ia berusaha melihat sekelilignya, agaknya rasa pusingnya sedikit berkurang. Tetapi perasaannya tidak enak sama sekali. Tenggorokannya sangat kering. Ia sangat haus.

Melihat sebuah botol berisi air mineral di depannya, Anna segera meraihnya dan menenggaknya tanpa bertanya terlebih dahulu siapa pemilik air itu.

Tegukan pertama yang berhasil melewati tenggorokannya kembali ia muntahkan.

Dugaannya salah, itu bukan air mineral seperti yang ada dipikirannya, rasanya begitu hambar dan sepat seperti rasa minuman yang diminumnya tadi.

"Benar-benar tidak tahu malu," ternyata pria yang ada disampingnya itu masih tak meninggalkan tempatnya. Tetapi Anna tidak memperdulikannya sama sekali.

Perasaannya belum stabil, dan sesekali rasa pusing masih mendera kepalanya.

Tiba-tiba sepasang pria dan wanita memasuki bar, Anna yang sempat berbalik melihat kedua orang itu kembali shock.

Apa yang dilakukan pria brengsek itu di sini?

Bukankah ia sedang bercumbu dengan seorang wanita beberapa saat yang lalu?

Siapa lagi wanita yang bersamanya itu?

Sangat jelas Anna melihat bahwa wanita yang bersama Brian itu bukanlah wanita yang sama dengan yang berada dalam kungkungan pria itu beberapa saat lalu.

Kedua orang itu mendekati counter desk membuat Anna kalang kabut, ia tak tau harus bagaimana agar bisa terhindar dari Brian.

Otaknya bekerja cepat, perasaan mabuk yang menderanya beberapa saat lalu seketika menghilang begitu saja.

Bagaimana ini?

Aku tidak ingin terlihat oleh pria brengsek itu.

Dengan keberanian yang tersisa Anna segera bergerak menghampiri pria yang duduk di sebelahnya dan mendaratkan bibirnya pada bibir pria itu. Tentu saja kaget, pria itu melotot dan segera mendorong Anna tapi ditahan oleh wanita itu yang sudah melingkarkan tangan pada lehernya dengan botol minuman yang masih setia di genggamannya. Ingin mendorong untuk yang kedua kalinya tapi terhenti ketika pria itu merasakan air mata yang berjatuhan dan membasahi bibir keduanya yang masih saling bertautan.

"Tolong aku, kali ini saja," bisik Anna tanpa melepas pautan bibir mereka.

Sementara pria bartender yang melihat perubahan sikap wanita mabuk itu secara tiba-tiba hanya bisa mematung karena terkejut. Terlalu bar-bar menurutnya.

"Selamat datang, kal..."

"Pinot noir," ucap wanita itu memotong ucapan bartender, salah satu tangannya menggandeng lengan pria yang tak lain dan tak bukan adalah Brian. Kekasih Anna.

"Sayang, jangan yang itu. Aku tidak mau kamu terlalu mabuk, yang lain saja ya," ujar pria itu kemudian menarik bar stool dan mempersilahkan wanitanya duduk.

"Kerjaan di kantor membuatku stress, sayang, kali ini saja ya, ayolahh. Kan besok hari libur, lagi pula ada kamu di sini," ujar wanita itu lagi dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi pria itu.

"Ya sudahlah, terserah km saja. Tapi jangan banyak-banyak minumnya." Ucap pria itu lagi dan mencoba mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

Pandangannya berhenti pada sepasang kekasih yang sedang berciuman tepat di samping mereka, dengan posisi sang wanita yang membelakanginya.

"Benar-benar pasangan tidak tahu malu," ujar wanita yang besamanya ketika mengikuti arah pandang Brian.

Sementara di sisi lain, Anna yang mendengar percakapan mereka semakin memperdalam ciumannya. Air matanya mengalir dengan deras bercampur dengan saliva ketika memainkan bibir pria yang tak dikenalnya itu. Meskipun tidak mendapat balasan namun ia tidak peduli.

Hatinya benar-benar sakit. Ia tidak lagi peduli tentang ciuman pertamanya diberikan kepada siapa, yang ia inginkan sekarang adalah segera pergi dari tempat ini.

Anna melepaskan ciumannya dan beralih memeluk lelaki itu.

"Tolong aku, kali ini saja. Bawa aku pergi dari sini. Aku mohon," ucap Anna berbisik tepat disamping telinga pria itu dengan suara masih terisak.

Sepertinya pria itu sedikit banyak mengerti tentang situasi Anna.

Ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dan membayar minumannya sekaligus milik wanita yang masih memeluknya.

"Sisanya, untukmu," ucapnya lagi.

"Sepertinya kamu tidak tahu akibat dari perbuatanmu ini, Nona," bisiknya sensual dengan senyum smirk terpatri di bibirnya. Kemudian mengangkat wanita itu dan menggendongnya ala bridal style. Sementara Anna berjengit kaget dan refleks menyembunyikan wajahnya pada dada bidang pria itu.

Pria bartender yang melihat keanehan kedua orang itu hanya melongo seperti orang bodoh.