Bel istirahat berbunyi, pertanda semua siswa ataupun guru harus mengakhiri kegiatan belajar mengajar dikelas. Tapi tidak dengan si ketua murid di kelasku yang gemar Fisika.
"Woi!" aku menggeretak meja Muhiban, sementara dia terkejut.
"Muhiban, kita itu harus adil. Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ini 'kan waktunya istirahat. Tutup bukunya dan mari ke kantin!" sahutku dengan pembawaan bicara yang cepat.
"Iya mangga duluan saja. Nanti nyusul" ujar Muhiban tanpa melihatku.
Itulah temanku yang terlanjur jatuh cinta terhadap mata pelajaran yang ia suka. Terkadang, bukan hanya Muhiban yang lebih mengutamakan tugas dari pada pergi ke kantin untuk sekedar mengisi perut sembari bersenda gurau dengan teman dan sahabat, tetapi banyak diantara teman sekelasku yang rela mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengerjakan tugas atau mempelajari kembali pelajaran yang mereka sukai. Mungkin bedanya kelas unggulan dengan kelas biasa seperti ini. Dan aku baru tahu.
Saat akan pergi ke kantin yang berada di lantai satu, aku dan Risma mengajak teman-teman seorganisasi dari kelas 10 IPA 4 untuk jajan bersama.
Sebagaimana kebiasaanku saat berkumpul bersama teman-teman didalam kantin, kami menggemakan seisi kantin dengan suara kami yang keras. Kami lalu berfoto. Ceritanya sebagai kenang-kenangan.
Ketika kami tertawa dan bersuka ria membahas hal yang tak penting bahkan konyol, di kursi dekat Abah -si pelayan kantin- duduklah 3 pemuda berseragam olah raga tengah memandangi kami. Pemuda lainnya menatapku hanya sekilas. Namun berbeda dengan pemuda yang satunya lagi.
Pemuda hitam manis yang berperawakan kecil kering itu menatapku lebih lama. Aku tak tau apa yang ia fikirkan. Aku sudah terbiasa di perhatikan oleh orang asing. Ketika pandangan pertama, aku biasa saja. Pandangan kedua, aku mulai kesal.
"Siapa, sih cowok yang lihatin gue? Kok kaya gitu amat lihatinnya?" gerutuku dalam hati.
Ketika pandangan yang ketiga, keajaiban mulai terasa di dalam tubuhku, terutama pada detak jantungku. Sorotan bola mata yang hitamnya seperti menancap menembus dadaku hingga mampu membuatku seperti salah tingkah.
Pandangannya saat itu, seketika mengalirkan sebuah energi. Darah yang bersemayam dalam tubuhku rasanya mengalir begitu deras. Tangan yang semula hangat ini, berubah menjadi pucat dingin di bawah terik mentari.
Dalam beberapa detik, pemuda itu berhasil memenuhi kepalaku sehingga timbul rasa penasaran. Aku ingin tahu siapa dia? Aku ingin tahu siapa namanya? Kelas berapakah ia?
Jika dilihat dari dekat, wajahnya itu seperti blasteran Indonesia-Korea. Itu terlihat jelas dari kelopak matanya. Berhidung mancung dan manik hitam dimatanya terlihat selalu berbinar. Meskipun kulitnya berwarna sawo matang, tetapi dia cukup menarik dimataku.
Jikaku ingat-ingat, bukankah dia anak basket yang beberapa waktu lalu tak sengaja bertabrakan denganku? Bukankah dia anak basket yang aku cibir sebagai anak basket yang tidak keren? Lantas mengapa perubahan aneh ini terjadi padaku ketika pemuda itu melihatku?
Oh, sinyal seperti apa ini aku tak faham. Mengapa aku selalu ingin dekat dengannya? Dan terkadang jika aku telah berdekatan dengannya, seketika aku mendadak gugup. Dan mengapa aku selalu ingin melihatnya?
"Lu, tau enggak? Ada cowok yang lihatin gue terus di kantin. Pandangannya tuh beda banget!" ceritaku pada Lulu saat aku berada di rumah kostnya hanya untuk sekedar menonton bersama.
"Iya, Shan? Siapa namanya?" tanya Lulu penuh begitu penasaran.
"Enggak tau. Kayaknya dia kakak kelas kita. Soalnya gue pernah lihat dia pas acara pertandingan basket" celotehku memandang wajah Lulu.
"Wah. Anak basket, Shan? Keren dong!" ucap Lulu penuh antusias.
"Em. Kalo sekarang, lumayan sih. Kalo mau tau besok kita ke kantin Abah. Pasti dia ada" ujarku.
"Iya ah pengen lihat. Tapi Shana suka sama dia?." Pertanyaan Lulu membuat aku teringat sesuatu. Suka? Apakah hal aneh yang terjadi padaku tentang pemuda itu adalah suka? Aku tak dapat berfikir keras untuk menganalisis hal ini.
Karena memang hal ini terlalu asing bagiku. Biarlah semuanya mengalir sesuai kehendak Tuhan. Karena aku tak kuasa untuk mendahului skenario-Nya. Aku hanya yakin jika skenario Tuhan untukku adalah cerita terindah.
"Em. Gak tau, Lu" jawabku asal tanpa berfikir panjang.
"Tapi sebelumnya Shana pernah pacaran?" tanya Lulu kembali.
"Belum. Waktu SMP ada temen sekelas yang ceritanya nembak gue, pake bahasa Arab lagi. Tapi guenya gak suka. Gue jawab 'No!!' sambil meletakkan kepalan tangan gue tepat di depan wajahnya. Terus dia tidak masuk sekolah selama dua minggu, katanya sih sakit" ceritaku.
"Ya ampun! Shan, itu beneran? Ahaha. Parah banget. Kasihan tau, Shan!" ujar Lulu yang diiringi tawa.
"Ya awalnya gue tak peduli. Tapi ketika gue cerita ke Mamah, dia bilang 'Jangan gitu amat, Kak. Kasihan dia. Jangan main-main sama yang namanya cinta. Orang yang di tolak cinta bisa ngelakuin apa saja. Kalo misalnya dia bunuh diri gimana?'. Gitu katanya. Setelah itu gue baru ada kasihan sama dia dan merasa bersalah. Tapi itu dulu" jawabku.
Aku baru ingat saat itu Mamah mengucapkan kata cinta. Apa benar yang kurasakan ini adalah reaksi dari kata cinta? Iya, mungkin ini cinta. Jika benar ini cinta, maka aku adalah perempuan normal. Dan jika benar ini cinta, maka kini aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta.
Pantas saja Aji selalu memikirkanku selama enam tahun, karena dalam fikirankupun selalu bergelantungan wajah pemuda itu. Pantas saja jika orang pertama yang ingin Aji temui sekembalinya ke kota ini adalah aku, karena akupun ingin terus berada didekat pemuda itu. Dan semua itu terjadi karena ulah sang cinta.
Dan aku baru menyadari bahwa cinta itu adalah hal yang paling aneh. Dia tak terlihat, tapi mampu mengubah apa yang ada dalam diri. Sebelumnya, aku belum pernah merasa jatuh cinta. Tapi pemuda di kantin itu telah berhasil melemahkanku dengan sorotan matanya.
Akan tetapi, apakah aku akan merasakan apa yang Aji rasakan sehingga Aji menghilang dan pergi dariku? Apakah nanti akupun akan tahu bagaimana rasanya patah hati seperti Aji? Apakah patah hati akan sama menyenangkannya dengan jatuh cinta?
Aku yang jarang sekali untuk melihat diri dalam cermin, ketika tahu apa itu cinta aku kini tak pernah melewatkan kesempatan untuk selalu bercermin. Aku yang semula tak pernah memperhatikan penampilan, setelah jatuh cinta terhadap pemuda basket itu kini aku hanya ingin terlihat rapi dan berpenampilan serapi mungkin.
Aku tahu aku sama sekali belum pernah merasa jatuh cinta terhadap lelaki. Dan pemuda basket itu adalah cinta pertamaku. Dan dalam perjalanan cinta pertamaku, aku tak tahu aku harus apa dan harus bagaimana. Tapi aku akan mengikuti apa yang Tuhan mau dari ceritaku ini.
Karena aku belum tahu siapa nama pemuda itu, maka aku menyebutnya dengan Tuan Cokelat. Mengapa Tuan Cokelat? Karena parasnya yang hitam manis mengingatkanku pada sesuatu yang aku gemari. Ya, cokelat.