Bunga-bunga di pekarangan rumahku tumbuh bermekaran. Terkadang, kumbang-kumbang mendekat dan mengisap madu bunga yang tercium harum menyeruak bagai pewangi halaman.
Begitupun keadaan hatiku saat ini, bunga-bunga cinta yang tumbuh begitu saja kini semakin mekar dan merekah indah ditaman hatiku yang megah bak mahligai cinta yang terawat. Kumbangpun menghampiri bunga yang tumbuh di taman hatiku. Dan kumbang itu adalah pemuda di kantin itu.
Entahlah, sejak aku sadar ternyata aku menyukai anak basket itu, aku menjadi lebay seperti ini. Mungkin benar ada cinta pada pandangan pertama. Dan aku merasakannya sekarang.
Terkadang, aku selalu bertanya pada Tuhan. Mengapa jatuh cinta itu begitu mendadak dan tak pernah meminta bermusyawarah sebelumnya. Dan aku berfikir jika hati itu sepenuhnya milik Allah, karena hati tak bisa memilih kepada siapa ia jatuh cinta.
Cinta merupakan anugrah yang Tuhan beri kepada makhluk-Nya, dan mencintai adalah takdir-Nya. Setiap hari bahkan setiap saat aku merasa pelangi selalu menghiasi hati. Setiap saat aku selalu bersyukur kepada Allah Yang Maha Romantis atas takdir indah yang Dia beri untuk hidupku.
Semesta akhir-akhir ini selalu mempertemukanku dengan Tuan Cokelat itu di sekolah ini. Tuan Cokelat itu tak pernah mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapku tanpa senyum juga tanpa isyarat jika kami kebetulan berpapasan.
Aku semakin bingung harus bagaimana aku menafsirkan pandangan pemuda hitam manis itu yang ternyata dia adalah anak Paskibra juga. Aku tau aku belum berpengalaman dalam hal ini, biarlah takdir yang akan membawa kemana cerita ini.
"Shan, kamu belum kenalan sama kak Cokelat itu?" tanya Risma ketika kami berada di kantin saat istirahat pertama.
"Belum. Gue bingung harus bagaimana. Oh iya Ris, waktu Risma mau PDKT sama gebetan Risma dulu, apa yang Risma lakukan ke dia waktu itu?" tanyaku untuk meminta saran dari Risma.
"Dulu waktu aku berada didekat dia, aku berpura-pura jatuhkan uang dari saku aku. Terus aku bilang, 'kak, itu uang kakak bukan?.' Terus waktu itu aku ketahuan kalau aku yang sengaja jatuhkan uang dari saku aku, terus ya kita jadi saling bercanda dan alhasil kita deket deh" cerita Risma penuh antusias.
"Apa hal itu tidak akan mengurangi harga diri sebagai perempuan?" tanyaku yang masih ragu dan takut.
"Shan. Sekarang itu zamannya Emansipasi wanita. Jadi, bukan cowok saja yang boleh memulai PDKT duluan. Cewek juga bisa kok. Sudah jadi hal yang lumrah loh di kita" ujar Risma yang mulai memberi saran kepadaku.
"Menurut aku ya. Cewek yang mulai PDKT duluan itu gak apa-apa dan masih wajar. Tidak mengurangi harga diri sebagai perempuan. Asal jangan berlebihan seperti cewek yang nembak duluan ke cowoknya. Nah, itu yang berlebihan dan akan mengurangi harga diri sebagai perempuan" sahut Risma padaku yang sedang berfikir keras dalam hal ini.
"Itu prinsip Risma, ya? Tapi pemikiran gue sangat menolak prinsip lo, Ris. Gue itu sangat, sangat malu. Dan bahkan gue takut, Ris" ujarku menolak saran Risma untuk memulai pendekatan terlebih dahulu kepada anak Basket itu.
"Ya sudah. Aku gak maksa kamu, ya. Aku hanya kasih saran saja. Kalau kamu masih malu, coba deh kamu senyum ke kak Cokelat itu. Kamu belum pernah senyum ke dia 'kan?" tanya Risma yang mulai mengalah.
"Belum, sih. Oke, nanti gue coba, ya?" ucapku seraya berjalan mendekati Abah untuk membayar jajananku.
Siangpun tiba, matahari melototi bumi dengan teriknya. Kegiatan belajar-mengajar telah usai, aku bersama beberapa teman sekelasku berhamburan keluar memadati pinggir lapangan untuk menuju gerbang.
Sebelum aku turun ke lantai bawah, di koridor kelasku aku melihat kak Cokelat itu sedang bermain basket bersama teman-temannya. Tentu saja aku bahagia, terlebih lagi ketika kak Cokelat itu menengadah melihatku dari lapangan sana. Bola mataku dengan bola matanya saling beradu. Dan saat itu jantungku berdetak begitu kencang.
Ketika aku turun dan berjalan dipinggir lapangan, aku harap bola basket itu mengenai kepalaku dan kak Cokelat itu menghampiriku dan mengobatiku seperti dalam film-film yang aku tonton. Mungkin semesta akan terlihat sangat indah dan aku akan sangat bahagia.
Namun, rencana Tuhan dengan keinginanku berbeda. Bola basket itu hanya menggelinding kearahku, aku mengambil bola basket itu dan memainkannya sebentar. Ketika aku lihat kelapangan sana, kak Cokelat ternyata sudah berdiri sedikit jauh dari hadapanku dan menunggu aku melemparkan bola basket ini kearahnya.
Tidak ada senyuman dariku atau dari kak Cokelat itu saat kami saling menatap dengan cukup lama.
"Shana, cepetan!" aku disadarkan oleh teriakan teman-temanku yang hendak pulang bersama denganku.
Aku akhirnya melemparkan bola basket itu ke arah kak Cokelat dan kak Cokelatpun berlari dan bergabung kembali bersama teman-temannya untuk melanjutkan bermain basket.
Sebenarnya ketika kami saling memandang tadi, aku ingin sekali tersenyum padanya. Namun aku belum berani sebab maluku masih menyelimuti hati dan akalku.
Sebelum aku pulang ke rumah, aku diminta untuk menghadiri pertemuan mendadak bersama teman-teman di organisasi Pramuka. Setelah pertemuan Pramuka berakhir, kamipun pulang ke rumah masing-masing.
Ketika aku melewati taman sekolah, ternyata kak Cokelat sudah duduk di kursi taman seorang diri. Tubuhnya yang dibalut sweater hitam dan rambutnya yang sedikit gondrong itu menatapku dengan wajah datar.
Aku memberanikan diri untuk tersenyum meskipun aku sangat gugup. Aku berjalan seraya tak henti-hentinya melihati kak Cokelat. Dan mata kak Cokelat itu membuntutiku yang sedang berjalan menjauhinya.
"Shan. Kamu dengar apa yang aku katakan tadi?" ucap Wina teman sekelasku yang rumahnya dekat dengan rumahku.
"Eh iya, denger. Terus gimana?" tanyaku gelalapan karena sejak tadi fikiranku hanya terfokus pada kak Cokelat itu.
"Iya, aku minta pendapat kamu. Menurut kamu gimana?" ucap Wina kembali seraya terus berjalan beriringan denganku untuk mendekati gerbang sekolah.
"Menurut gue..." ujarku seraya menoleh ke arah belakang tepatnya menoleh kepada kak Cokelat yang masih duduk di kursi taman itu.
Aku semakin bahagia saat aku tau kak Cokelat itu masih melihatiku dibalik pohon hias yang tertanam di taman sekolah ini. Aku kembali tersenyum kepadanya. Dan kak Cokelat masih bergeming disana tak membalas senyumku. Dia hanya melihatiku.
"Shana. Kamu dari tadi lihatin siapa, sih?" tanya Wina yang ikut menoleh kebelakang dan melihat-lihati orang-orang di sekitar taman sekolah.
"Eh, enggak. Oh iya tadi lo tanya apa? Pendapat gue? Bisa diulang tadi lo bilang apa? Soalnya ini berisik, gak kedengeran" celotehku mengalihkan perhatian Wina agar ia tak banyak bertanya padaku tentang kak Cokelat.
Sepertinya akan banyak perubahan dalam diriku karena Tuan Cokelat itu. Aku yang semula tidak suka mengenakan pelembab, kini aku merawat wajahku dengan mengenakan pelembab dan pencuci wajah yang membuat wajahku yang semula sedikit hitam dan apa adanya, kini wajahku mulai memutih dan terawat.
Yang semula aku melipat baju lenganku dan mengenakan pakaian yang bisa dikatakan berantakan, kini aku terlihat mulai rapi dan mulai belajar bepenampilan feminim. Dan semua yang terjadi padaku ini bermula dari ulah pandangan Tuan Cokelat itu.