Chereads / Tuan Cokelat / Chapter 10 - Penasaran

Chapter 10 - Penasaran

Bau basa dari dedaunan mulai tercium di pagi buta. Suara Adzan berkumandang menyeru sekalian manusia untuk berlutut dan bersujud kepada Tuhan Pemilik sifat Wujud.

Air yang sejuk mengalir pada bagian tubuh tertentu untuk mensucikan raga ketika hendak menghadap Ilahi. Walau udara dingin memeluk raga dengan sempurna, takĀ dijadikan alasan untuk alpa dalam menunaikan kewajiban setiap muslim.

Setelah bersujud bersama keluargaku diwaktu Subuh, Papah memberikan ceramah subuh sebagai rutinitas di pagi buta hingga nampaknya fajar shidiq yang tumpah ruah di langit yang lenggang.

Entah bagaimana awalnya, Papah akhirnya membahas tentang cinta. Papahku berkata bahwa, "jangan pernah mengemis cinta. Cinta itu jangan diminta, tapi belilah cinta dengan seperangkat perhatian dan kasih sayang agar kita mendapatkan kasih sayang dan cinta yang setara. Baik itu dari orang yang kita cinta, ataupun dari orang yang tidak pernah kita sangka sebelumnya"

Aku benar-benar tak faham dengan apa yang Papah bicarakan. Sebab, ini kali yang pertama Papah meracikan ceramahnya dengan bumbu cinta. Tapi kalimat itu mampu menyentuh perasaanku.

Aku tak tau apakah yang aku rasakan ini adalah cinta atau sebatas kagum saja kepada pemuda di kantin itu. Oh Tuhan, bolehkah aku jatuh cinta? Haramkah aku jika mengagumi insan-Mu? Keterlaluankah jatuh hati ini?

Mentari menyambutku dengan hangatnya. Burung-burung berkicau riang sebagai simbol keadaanku pagi ini. Aku begitu semangat menjalani hidupku. Ketika aku sedang semangat-semangatnya, ditambah dengan seseorang yang membuatku berenergi, aku terlihat seperti perempuan yang begitu ceria. Bahkan kebahagiaanku ini berlebihan menurut mereka.

Seorang pemuda yang belum ku ketahui namanya telah menyihirku. Pemuda basket itu sangat menarik dimataku, wajahnya yang hitam manis membuat jiwaku mencair olehnya, bola mata hitamnya begitu indah. Senyumnya yang menenangkan jiwa mengingatkanku pada sebuah cokelat yang aku sukai. Tuan Cokelat. Hanya dia yang pantas mendapatkan gelar itu.

"Shan, kamu sudah tau namanya belum?" tanya Lulu membuyarkan lamunanku.

"Nama siapa?" tanyaku polos.

"Itu loh, Tuan Cokelat yang kamu maksud" ujar Lulu.

"Ooh. Belum" jawabku singkat.

"Kamu penasaran?" tanya Lulu kembali dan aku mengiyakannya.

"Kamu cari tau aja siapa namanya? Kelas berapa? Gak mungkin 'kan selamanya kamu panggil dia dengan sebutan cokelat?" ucap Lulu yang meyakinkanku.

"Iya juga sih. Tapi gue gak tau sama siapa juga nanyanya"

"Shan, yang mempertemukanmu dengan cokelat di kantin Abah adalah Allah. Jika Dia mentakdirkan kisah ini akan berlanjut, aku yakin, kamu pasti akan tau siapa Cokelat itu. Dan jika Allah menghendaki, pasti Cokelat juga akan tau tentang Shana"

Kata-kata Lulu benar-benar membuatku merasa terbang melayang. Kini, aku begitu semangat. Melebihi semangat 45. Canda dan tawa yang aku tebarkan membuat mereka hanyut dalam kebahagiaanku.

"Shan, yang mana sih orangnya? Aku jadi penasaran" tanya Lulu melanjutkan percakapan yang sempat terputus tadi.

"Kalo Lulu mau tau, nanti kita ke kantin Abah. Pasti dia ada" ucapku seraya menyunggingkan bibir.

"Pasti orangnya hebat, ya?" ujar Lulu yang diakhiri senyum. Tak ada yang dapat aku katakan selain kata, "Emang kenapa?"

"Ya, soalnya dia bisa meluluhkan hati seorang perempuan yang asalnya cuek banget ke cowok" celoteh Lulu yang membuat aku ingin tertawa.

Aku tak tau lagi apa yang harus aku katakan. Membicarakannya saja hatiku sudah berdebar, apalagi berjumpa. Aku rasa jantungku rasanya hampir copot dari tempatnya.

Bel istirahatpun berbunyi. Tepat pukul 9:45 aku sudah stand by bersama Lulu dan Risma di kantin Abah. Orang pertama yang aku beri tahu mengenai Tuan Cokelat ini adalah Lulu.

Sementara Risma belum mengetahuinya. Aku, Lulu, dan Risma duduk di kursi panjang dekat pintu kantin menanti kedatangan sang pencuri hati. Akhirnya segerombolan pemuda memasuki kantin bersamaan.

"Yang mana, Shan?" Lulu seperti tak sabar ingin mengetahui pemuda itu.

"Tuh, yang lewatnya ketiga" tunjukku sembari berbisik.

"Oh, yang itu? Cowok yang lagi lihat ke arah kita?"

"Iya. Syuutt, jangan kenceng-kenceng ngomongnya" ucapku seraya meletakkan jari telunjuk dibibirku.

"Apaan sih, Shana? Aku tuh gak ngerti. Apa emang?" ujar Risma dengan polosnya.

"Syut. Pelanin ngomongnya" ucapku seraya menarik tangan Risma.

"Oh iya syut. Emang apaan sih, Shan? Ada siapa?" akhirnya Risma menuruti kata-kataku. Dia berbisik sama dengan aku berbisik padanya.

"Nanti deh gue ceritain" ujarku pada Risma dengan mata yang tertuju pada Tuan Cokelat itu.

Sejak tadi, aku curi-curi pandang dengannya. Tanganku terasa dingin pucat, hatiku berdesir kencang. Ketika mataku bertabrakan dengan matanya, rasanya hati dan jiwaku seperti di hujam badai. Aku tak tau apa alasannya.

Setiap hari Jumat siang bakda Shalat Jumat ini, ekstrakulikuler Pramuka mengadakan latihan rutin. Aku dengan Risma setelah pulang ke rumah harus kembali ke sekolah untuk menghadiri pertemuan ini. Karena rumahku tak jauh dengan lokasi sekolah, maka Risma ikut pulang bersamaku untuk sekedar beristirahat dan berganti pakaian di rumahku.

Ketika dalam perjalanan, aku dengan Risma sedang asik mengobrol mengenai Kak Yofa sebagai pacar Risma. Tiba-tiba sepeda motor melaju kencang dari belakang dan hampir saja menyerempetku.

"Woi! Lo buta ya?!" teriakku sebagai refleks karena terkejut.

"Anak siapa sih tuh orang? Main kebut-kebutan gitu! Bagaimana kalo gue celaka? Rese banget sih tuh orang!!" umpatku.

Setelah ku selidiki pengendaranya, sepertinya itu bukan orang asing lagi dimataku. Sweater hitam dan helm yang ia kenakan membantuku untuk menebak pengendara sepeda motor itu.

Tidak salah lagi. Itu adalah Tuan Cokelatku. Apa yang aku katakan tadi? Semoga dia tidak mendengar ocehanku. Kalaupun mendengar, terserah. Biar dia tahu aku seperti ini adanya.

Ketika tiba di sekolah, dugaanku benar. Sepeda motor berjenis VegaZR itu memarkir di halaman kelas diujung lapangan sana. Dan Tuan Cokelat itu bersama rekan basketnya mulai memainkan bola basket dibawah ring atau keranjang basket.

"Tuh kan, Risma! Dia lihatin gue terus!" tunjukku pada Risma. Sekarang, Risma sudah tau tentang Tuan Cokelat itu karena tadi ketika di rumahku, aku menceritakannya pada Risma.

Kebetulan jadwal latihan anak pramuka dengan anak basket bersamaan. Selama menunggu kakak kelas dan teman-teman seorganisasi yang lain, aku dengan teman-teman yang hadir lebih awal menunggu di pinggir lapangan dibawah pohon rambutan.

"Iya aku lihat. Dia lihatin karena punya mata, Shan" ujar Risma dengan tenang.

"Tapi lihatinnya berulang kali" sanggahku.

"Mungkin dia suka sama kamu" ujar Risma.

Aku diam seribu bahasa karena aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku ingin menyanggah Risma dengan mengatakan, "Lo tuh ngomongnya sembarangan! Dia lihatin gue karena guenya yang lihatin dia duluan!" Tapi ku telan kembali kalimat itu. Aku tak ingin membahas masalah ini terlalu lama.

Ketika Tuan Cokelat itu menatapku yang kesekian kalinya, jantungku semakin berdegup kencang dan aku semakin merasa bahagia. Inilah yang kurasakan, bumi.

Aku raih handphoneku dari saku baju, kemudian mulai mengaktifkan kamera untuk membidik Tuan Cokelat itu. Satu bidikan berhasil, yang kedua kalinya bagus. Namun saat membidiknya yang ketiga kali, Hanida teman seorganisasi yang duduk di sebelahku mulai curiga. Dia merebut handphone dari tanganku.

"Lagi fotoin siapa sih? Serius amat nyekreknya, haha" celoteh Hanida.

"Woi Hanida! Kembalikan handphone gue! Lo gak sopan amat sih! Kembalikan sini! Gue gak ikhlas! Sini Hanida!" teriakku yang begitu panik.

Tentu saja aku terkejut dan marah. Aku takut jika Hanida mengetahui aksiku. Aku takut aksiku ini disebar luaskan ke publik sekolah ini yang membuat aku menjadi malu.

Untung saja sebelum Hanida melihat foto yang aku bidik, aku sudah merebut kembali handphone milikku dari tangannya meskipun aku dengan Hanida harus terjatuh dan berguling di atas lantai. Mereka mengira aku dengan Hanida bertengkar. Tapi aku tak memperdulikan mereka.

Untuk menghindari perkelahian ini kembali, aku berpindah 20 kaki ke kiri tapi masih di sekitar pinggir lapangan.

Mataku masih tak henti-hentinya membidik Tuan Cokelat itu. Ku perhatikan gerak-geriknya. Saat kulihat, Tuan Cokelat itu melihat-lihati anak pramuka yang semula aku bergabung disana. Kemudian ia seretkan matanya ke arahku yang sedang duduk seorang diri.

Dan deg! Jantungku kembali berdegup kencang. Dia masih bisa menemukan keberadaanku. Sesekali kata 'kebetulan' membisik benakku. Aku takut aku terjebak dalam perangkap Geer.

Ia lalu melanjutkan bermain basket bersama anak laki-laki dari pramuka. Permainan semakin panas. Dan, "Anjing!"

Satu teriakan itu terlontar dari mulut Tuan Cokelat itu. Ia salah melakukan strategi dalam penyerangan. Bola basket yang seharusnya dioverkan kepada kawan, justru ia melemparkannya kepada lawan.

Aku terkejut dengan apa yang ia katakan. Aku hanya bisa tertawa melihatnya duduk tersimpuh sembari menundukkan kepalanya setelah ia melirikku.