Pagi ini, langit masih berwarna biru, awan masih berkontras putih, dan aku masih bernafas. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan. Sampai saat ini masa remajaku di warnai dengan berbagai macam warna yang begitu indah.
Aku sadar usiaku kini sudah 16 tahun, aku sudah menginjak kelas 10 SMA di semester 2. Tapi karakterku yang seperti anak-anak ini belum juga berubah. Aku bahagia dengan duniaku, dengan karakterku. Tapi mereka kadang mencibirku bahwa aku harusnya mulai dewasa. Papahku kadang kesal padaku karena aku belum bisa dewasa. Ah, lagi-lagi dewasa!
Sudahlah simpan saja dewasa itu. Ini adalah hidupku. Aku memiliki peraturan sendiri. Dan aku tidak ingin di atur oleh siapapun.
Pelajaran untuk hari ini telah selesai, semua siswa siswi beserta guru-guru berhamburan keluar kelas dan memadati gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Seperti biasa, aku tak pernah pulang sekolah sendirian. Aku dan sahabat-sahabatku selalu pulang bersama
"Eh, Shan. Bentar dulu, deh. Ada pak Akmal. Kita nanyain nilai ulangan yuk ke pak Akmal!" ucap Risma menghentikan langkahku ditengah desakan searah orang-orang yang berjalan mendekati gerbang.
Akupun menyetujui saran Risma. Dan benar saja, pak Akmal yang hendak menyalakan sepeda motornya tengah berbicara dengan seorang siswi. Aku dan Rismapun berjalan melawan arah dari kumpulan siswa siswi yang tengah berdesakan ini.
"Assalamu'alaikum." Sebelum memulai kata, aku dan Risma menjabat tangan pak Akmal terlebih dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh seorang murid terhadap guru pada umumnya.
"Pak saya mau nanya soal hasil ulangan. Saya nilainya berapa, pak?" tanya Risma yang begitu penasaran.
Aku dan Risma yang telah akrab dengan pak Akmalpun larut dalam pembicaraan yang asik mengenai berbagai hal sehingga kami lupa bahwa kami tengah mengobrol di tempat yang salah. Kami menghalangi siswa siswi yang akan keluar gerbang. Bahkan banyak diantara mereka yang melihati kami dengan tatapan yang aneh.
Ketika pembicaraan telah selesai, akupun berbalik badan dan kesialan menerpaku. Aku menabrak seorang pemuda dari arah yang berlawanan. Mungkin karena langkahku dan langkah pemuda itu cepat membuat kami seperti orang yang sedang berpelukan.
Orang-orang yang sadar akan adegan ini membuat mereka bersiul heboh terutama laki-laki. Untuk menutupi rasa malu, aku hanya tersenyum dan meminta maaf. Pemuda itupun tersenyum dan meminta maaf padaku. Dasar orang aneh! Kamipun bersilangan jalan dan siulan itu masih belum berhenti. Ah, dasar para remaja!
Tapi tunggu, pemuda itu seperti tak asing lagi dimataku. Tapi siapa? Ah, aku ingat. Pemuda itu adalah pemain basket di pertandingan basket beberapa pekan lalu. Pemuda itu yang aku sebut salah satu anak basket yang tidak keren. Dan sekarang bumi mendekatkan aku dengannya? Ah, mungkin ini hanya kebetulan saja.
Siang ini cuaca mendung, rintik hujan mulai mengguyur bumi di Kota Tasikmalaya. Aku dan teman-teman satu sekolah tertahan di sekolah. Menunggu hujan reda kemudian pulang adalah hal yang sudah lumrah di kalangan anak sekolah.
Kebetulan, hari ini di kelasku sedang terdapat masalah. Kami masih dalam proses beradaptasi dan kami belum menemukan kenyamanan di dalam kelas. Di tambah berbagai kesalahpahaman diantara teman satu kelas membuat satu kelas semakin panas.
"Oke iya aku yang salah. Aku bodoh aku gak bisa kayak kamu!" ujar Rifai di depan kelas memasang wajah emosi.
"Enggak, bukan gitu. Aku tuh enggak suka kalau kamu ngerendahin diri kamu sendiri" jawab Rahmi yang tengah duduk di bangku kedua dari depan.
"Tuh kan. Kamu beneran gak suka sama aku. Oke gak papa-" ucap Rifai yang yang sela oleh Rahmi.
"-Enggak. Maksudnya bukan gitu..." ucap Rahmi dengan spontan. Pertengkaran ini dilerai oleh Muhiban si ketua kelas.
"Sudah, sudah. Gini ya, kita sudah besar. Sekarang kita sudah dewasa. Bukan anak kecil lagi. Jadi gak pantes kalau kita menyelesaikan masalah dengan bertengkar. Mending kita selesaikannya dengan baik-baik dan musyawarah, oke?" sahut Muhiban dengan tenang dan menenangkan. Sebagai Ketua kelas, peran Muhiban sangat diperlukan terlebih jika keadaan kelas sedang seperti ini.
Mendengar pertengkaran ini, awalnya aku acuh tak acuh. Aku hendak keluar dari kelaspun Elis mencegahku. Jadi aku terpaksa menjadi saksi atas pertengkaran ini. Yang aku lihat bukan hanya Rahmi dan Rifai saja yang terlibat masalah. Muzammil dengan Zainalpun memiliki masalah juga. Yang dapat aku simpulkan dari percakapan mereka di depan kelas bahwa Muzammil akan pindah sekolah karena ada masalah dengan Zainal yang tidak aku fahami karena aku tak peduli.
Di tambah, Zahara bertengkar dengan kedua temannya yaitu Ulfah dan Salwa. Mereka sampai histeris menangis. Tapi aku tak tau apa penyebabnya. Sekali lagi aku tak peduli.
Oh Tuhan, aku tak tau aku harus bagaimana karena aku tidak terlibat dalam masalah ini.
Akhirnya kami semua saling bermaaf-maafan.
Aku tak tau mengapa aku sampai acuh seperti ini. Kini aku sadar. Aku ini perempuan yang berbeda. Disaat orang lain gelisah dengan nilai prestasi, aku justru tak peduli. Disaat mereka sedang bersedih, aku malah tertawa.
Pemikiranku lain dari pada yang lain. Aku tidak suka dengan apa yang mereka suka. Justru aku suka dengan apa yang mereka tidak suka. Inilah aku. Aku adalah aku dan aku bukan mereka.
"Shan, yang kemarin kamu tabrakan sama laki-laki itu siapa?" tanya Risma ketika kami sedang berada di kantin ketika istirahat kedua setelah Shalat Zuhur.
"Mana gue tau. Emang kenapa?" tanyaku memasang wajah polos seraya mengambil wafer dan kue cokelat.
"Gak kenapa-kenapa. Aku hanya baper saja. Kalian kayak sepasang kekasih yang sedang berpelukan" celoteh Risma diiringi sunggingan senyum yang mengembang.
"Apa? Baper? Nih ya Risma, kalo gue ketemu sama laki-laki itu lagi, gue akan pukuli dia! Dia tuh orang aneh tau gak? Punya mata tapi masih tabrak anak orang. Berarti matanya gak dipake tuh orang!" umpatku dengan nada bicara yang tinggi dan membuat pengunjung kantin melihatiku.
"Shana, kamu tuh lucu. Kamu kayaknya cuek banget ya ke cowok?" celoteh Risma diiringi kekehan.
"Emang iya. Entah kenapa gue ilfeel banget kalau membahas cowok" kataku seraya memasukan kue cokelat kemulutku.
"Kalau kata aku ya, Shan. Suatu saat nanti, kalau Shana jatuh cinta, Shana gak akan ilfeel lagi membahas cowok. Justru bahan bicara kamu nanti bakalan cowok terus" ucap Risma seraya memakan makanannya.
"Masa sih?" tanyaku heran setelah itu meneguk minumanku.
"Iya, Shan. Soalnya dulu aku pernah gitu. Dan memang orang yang sedang jatuh cinta itu akan terus membahas orang yang dicintainya. Kayak aku suka cerita kak Yofa ke kamu dan ke teman-teman dekat aku" terang Risma memasang wajah yang serius dan aku hanya mendengarkan saja.