"Jadi, bagaimana? Kamu benar-benar ingin ikut mereka?" tanya Medora, baru saja mendengar penjelasan Ursa tentang Ione dan kawan-kawannya.
Ursa yang baru menghabiskan kotak kedua dari makanannya pun bersendawa keras. "Jujur saja, dari awal aku ditunjuk untuk mengikuti pemilihan ini, suara hatiku seperti terbagi dua, Dora. Satu ingin memanfaatkan kekuasaan sebagai ratu untuk membuat lebih banyak orang tersenyum. Di sisi lain, aku juga berpikir, bagaimana bisa aku menjadi pemimpin yang baik kalau untuk mendapatkan kekuasaannya saja, aku harus menggunakan cara yang keji. Lagipula ...."
Karena Ursa tak kunjung melanjutkan ucapannya dan malah makan dengan lahap, Medora pun bertanya, "Lagipula bagaimana?"
"Aku tidak mau membunuh orang-orang sepertimu." Tersenyum samar, Ursa menurunkan sendoknya. "Bidadari bernama Ione itu juga .... Sayang kalau orang-orang baik seperti kalian mati sia-sia. Mungkin, dunia lebih membutuhkan kalian daripada aku."
"Aku benar-benar kagum dengan kamu, Ursa." Medora turut merentangkan senyum. "Suatu kehormatan bertemu denganmu."
"Ah ...." Ursa mengangkat kotak makannya, menandaskan isinya dengan bar-bar. Medora cuma tertawa kecil melihat hal itu.
"Sudah kuputuskan!" Ursa membanting kotak makanan itu ke meja. "Aku akan ikut dengan mereka! Aku akan menghentikan pertempuran absurd ini! Ikutlah denganku, Dora!"
Alih-alih menyambut uluran tangan Ursa, Medora justru menghela napas. "Aku tidak bisa langsung memutuskan, Ursa. Berbeda denganmu, keinginanku itu menyangkut keluargaku, menyangkut adik-adikku. Kasihan mereka, Ursa. Kami tidak punya apa-apa. Setiap hari mereka kelaparan. Mungkin kamu menganggapnya egois, aku cuma memikirkan keluargaku ...."
"Egois bagaimana?" Meski menurunkan tangan, Ursa melebarkan senyumnya. "Egois itu kalau kamu memikirkan diri sendiri. Kamu kan memikirkan keluargamu. Aku juga yakin, dengan tahu rasanya hidup susah, kamu akan bisa mengerti kehidupan rakyat kecil kalau jadi pemimpin. Kamu akan mengayomi mereka."
"Tapi, tujuan kamu dan bidadari bernama Ione itu juga mulia ...." Medora memejamkan wajahnya, lagi-lagi menghela napas. "Bagaimana kalau kupikirkan dulu sekitar tiga hari. Setelah itu, kamu bisa ke sini lagi untuk menemuiku."
"Siap!" balas Ursa dengan nada antusiasnya yang khas. "Aku pamit dulu, deh. Jam segini kamu biasanya pergi belanja ke pasar, kan?"
"Santai saja." Medora pun mengantarkan Ursa menuju pintu depan.
"Kamu itu benar-benar hebat dalam mengurus keluarga ini, Dora. Dari memasak, mengurus Gilang, sampai memberishkan rumah ini kamu lakukan dengan sukarela. Berbeda sekali denganku, yang cuma numpang tidur dan makan saja di rumah Yohan." Ursa tertawa keras. "Gilang pasti sangat mencintaimu, Dora. Hati kecil Dirga juga aku yakin sebenarnya sangat bersyukur kamu ada di sini. Kamu itu benar-benar bisa menjadi ibu dan istri yang baik!"
Tawa kecil meluncur dari mulut Medora. "Aku cuma meniru ibuku."
"Ibumu telah mendidik putri yang sangat baik." Kembali menyunggingkan senyum, Ursa meninggalkan rumah Medora. "Aku pulang dulu!"
"Sebentar," cegah Medora, menelan ludah. "Walaupun kita belum lama bertemu, aku menganggap kamu teman yang baik, Ursa."
Kening Ursa langsung mengernyit. "Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?"
"Tidak ada apa-apa, kok." Medora memberikan pandangan teduh penuh arti.
Menggaruk rambutnya, Ursa berbalik sambil melambaikan tangan. Tepat setelah itu, kedua tangan Medora memancarkan cahaya putih, yang menjadi solid hanya dalam beberapa detik, sampai akhirnya membentuk sarung tangan logam bercakar hitam.
Kemudian, Medora pun melompat.
Crassss!!!
Ursa berusaha mengelak, tetapi terlambat. Walau tidak dalam, punggungnya sudah dihiasi lima bekas cakaran memanjang.
"Dora?" Ursa membelalakkan matanya, memegangi luka di punggungnya yang mengucurkan darah. Ia pun berdecak keras. "Sial, ini pertamakalinya aku salah menilai orang."
"Apa kamu tidak pernah berpikir, barangkali mereka yang kau kira baik itu tidak selamanya baik? Mereka hanya belum mengkhianatimu saja."
Masih memberikan senyum dan pandangan teduh, Medora menyilangkan kedua tangannya di dada. Tubuhnya memancarkan cahaya putih, yang beberapa detik kemudian meredup. Bajunya kini berganti dengan busana abu-abu ketat yang menutupi seluruh tubuh. Tidak bisa dikatakan terlalu menutupi sebenarnya. Busana itu dihiasi sobekan di sana-sini, membuat banyak bagian kulit putih mulusnya terlihat jelas.
Ursa pun ikut berganti ke baju tempur, sekaligus memunculkan senjatanya. Raut wajahnya kini menegas. "Semua ceritamu itu, tentang keluargamu, tentang kemiskinanmu itu, tentang perjuanganmu bertahan hidup itu, semuanya bohong?"
"Yang bohong itu cuma tentang bagian keluarga saja." Medora memasang kuda-kuda super rendah, sampai sebelah tangannya menapak di tanah. Ekspresinya masih belum berubah. Pandangannya masih teduh. Mulutnya pun masih tersenyum. "Aku ini sejak kecil dibuang dan harus hidup sendiri di jalanan. Maka dari itu, sebenarnya aku bingung saat kamu bilang aku bisa menjadi ibu dan istri yang baik. Aku ini tidak pernah melihat contoh ibu dan istri yang baik seperti apa."
Ursa mengacungkan senjatanya. "Paling tidak, kalau mau bertarung, lebih baik kita pindah ke tempat sepi ...."
Belum juga Ursa selesai bicara, Medora keburu melompat. Pertarungan sengit pun dimulai.
"Huh, bahkan kamu tidak peduli kalau orang-orang di sekitar sini dibekukan." Ursa tertawa getir, terus menangkisi cakaran-cakaran dari Medora. Karena senjata Ursa itu dikhususkan untuk jarak sedang, dia belum bisa balas menyerang. Medora terus memepetnya.
Dan akhirnya, Ursa tak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya mendapat kombinasi cakaran dari Medora. Setelah itu, Ursa sebenarnya berhasil menemukan celah, tetapi Ia lebih memilih melompat mundur daripada melancarkan serangan.
"Aku tidak akan terpancing! Kamu sengaja membuat celah agar aku menyerang, kan!?" hardik Ursa.
"Menyerah saja. Kita sudah sering bertarung bersama, aku sudah tahu semua gerakanmu." Medora kembali memasang kuda-kuda rendahnya.
Ursa menelan ludah. Meskipun perkataan Medora ada benarnya, tetapi itu jelas diutarakan untuk memancing emosinya. Dia harus hati-hati.
"Hei, apa kau tahu lokasi pasar tempatku biasa berbelanja? Tempatnya tak jauh dari sini," lanjut Medora, makin mengembangkan senyumnya.
Ursa membelalakkan matanya. Medora kembali melompat, tetapi bukan ke arahnya, melainkan ke atap salah satu rumah. Bidadari berambut hitam itu menoleh kepada Ursa, masih dengan tersenyum, lantas melompat lagi ke atap rumah yang lain.
Berdecak keras, Ursa mengejar Medora yang terus melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lain. Firasat Ursa bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi dia tidak tahu apa itu. Kalau dipikir-pikir, dia tak terlalu mengenal gaya bertarung Medora. Kuda-kuda rendah yang tadi digunakan bidadari itu baru pernah dilihat Ursa. Begitu juga dengan kombinasi serangannya. Serangan Medora sekarang lebih cepat dan tidak bisa diprediksi. Bidadari berbusana tempur abu-abu itu lebih memaksimalkan kelenturan tubuhnya dalam bertarung. Arah kedatangan cakarannya jadi lebih bervariasi.
Medora mendarat di depan sebuah pasar kecil yang cukup ramai. Ia mengedarkan pandangan sejenak, kemudian berlari ke salah seorang bapak tua yang tentu saja membeku, tengah berjualan ikan di pelataran pasar.
Medora membuat gerakan seperti hendak mencekik bapak itu.
Ursa segera menghadang Medora. Medora tak membuang kesempatan itu dan kembali memberikan kombinasi serangan kepada Ursa, yang langsung terhuyung karenanya.
Namun, Ursa tetap berhasil memberikan serangan balasan. Medora pun langsung melompat mundur untuk menghindar.
Mata Ursa membelalak saat mendapati serangannya menyerempet lengan seorang wanita di dekatnya. Wanita itu tentu saja tetap pada posisinya, tak menyadari tangannya sudah mulai mengucurkan banyak darah.
"Kalau kamu kabur, aku tak akan bisa menjamin orang-orang di sini akan selamat dari cakarku." Masih dengan ekspresi teduhnya, Medora kembali memasang kuda-kuda rendah.