Chereads / A Song of the Angels' Souls / Chapter 38 - Tepi Sungai

Chapter 38 - Tepi Sungai

"Ngomong-ngomong, kok kamu sekarang kurusan? Wajah kamu juga kelihatannya kayak capek banget, gitu. Rada pucet lagi," tanya Anggun, kekasih Marcel.

Duduk di kursi ruang kerja pribadinya, Marcel memandang layar laptop yang menayangkan wajah perempuan berlesung pipi itu. "Banyak kerjaan di kantor, Nggun. Nggak usah khawatir. Aku nggak kenapa-napa, kok."

"Duh, aku sendiri sibuk, jadi jarang vidcall sama kamu buat ngecek. Maaf, ya." Anggun sedikit mengatupkan kedua tangannya. "Tapi aneh, deh. Setahuku, kamu itu orang yang pintar jaga waktu dan kondisi. Tadinya aku nggak mau mention ini. Tapi, aku nggak tega ngeliat kondisi kamu."

"Ayahku lagi ngasih banyak kerjaan." Marcel mengangkat bahu, akhirnya memajang senyum samar. "Aku nggak mungkin nolak, kan?"

Anggun terdiam untuk beberapa detik. "Yah, pokoknya kamu jangan sampai sakit."

Terdengar bunyi bel dari tempat Anggun berada. "Eh, udah dulu, ya. Temen-temenku dateng buat main. Bye. Good night .... Eh, di Indo masih pagi, ya?"

"Bye." Melebarkan senyumnya, Marcel melambaikan tangan, sementara sang kekasih memberikan ciuman udara.

Panggilan itu berakhir. Marcel menutup laptop itu dengan tangan gemetar. Ia lalu meringis dan mencengkram kepalanya. Sensasi bak dipukul-pukul di kepalanya itu saja sudah menyiksa, apalagi harus mempertahankan ekspresi agar terlihat biasa saja seperti tadi. Panggilan video yang sebenarnya sangat singkat itu terasa berjam-jam bagi Marcel.

Ketukan terdengar dari pintu ruang kerja Marcel itu. "Marcel, ini aku Lois."

"Masuk." Marcel mencoba merilekskan posisi duduknya. Ia memejamkan mata, memijat ringan keningnya.

"Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat," ujar Lois yang baru masuk. "Di dekat sini ada monster. Ada satu bidadari yang datang ke sana juga. Tapi, melihat kondisi kamu ...."

"Kita berangkat." Marcel bangkit, meraih botol obat, lantas menuangkan beberapa isinya ke tangan. Ia memasukkan obat itu ke mulut dan mendorongnya dengan segelas air. Menunduk dalam diam sejenak, ia lalu berkata. "Ayo."

Lois mengamati langkah Marcel agak sempoyongan, kemudian mengangkat bahu begitu sang tuan melewatinya.

***

"Bu Dor beneran nggak mau nyoba kekuatan yang baru!?" teriak Gilang, mengamati Medora yang bertarung di pinggir sungai.

"Dia sudah mau mati, kok!" Medora mencakar wajah monster yang berbentuk seperti monyet besar bertangan empat itu.

"Kiiiiik!!!" Monster itu memekik sambil memegangi wajahnya yang berlumur cairan hitam.

Tak membuang kesempatan, Medora menghujamkan kedua tangan bercakarnya ke perut sang monster sampai tembus. Si monster kembali berkikik keras. Kemudian, dengan hentakan cepat dan keras, Medora menarik apa pun yang bisa ditangkapnya di dalam perut musuhnya itu.

Usus sang monster terurai keluar. Ia pun langsung tumbang dengan mata membelalak. Medora mengamati lambung sang monster di tangannya, lantas membuangnya begitu saja ke tanah.

Gilang melompat kegirangan, berlari kencang dan langsung memeluk bidadarinya itu, tak peduli bekas cipratan darah monster di tubuh Medora jadi menempel kepadanya. "Bu Dor itu pembasmi kejahatan yang paling hebat! Lebih hebat daripada yang di tivi-tivi."

"Shhhhh .... Ini belum selesai. Siapa tahu ada monster yang masih bersembunyi."

"Oh, iya. Maaf, Bu Dor." Gilang buru-buru melepaskan pelukannya, kembali menjaga jarak dengan sang bidadari.

Medora memberikan senyum andalannya. "Udah Ibu bilang berkali-kali. Nama Ibu itu Me-do-ra."

"Kepanjangan!" Gilang terkekeh-kekeh.

Medora mengedarkan pandangan, berjalan-jalan di sekitar pinggiran sungai itu, mengamati di antara pohon-pohon, mengecek bebatuan besar, sampai menengok ke aliran sungai yang berwarna kecokelatan. Nihil. Dia tak menemukan keberadaan monster lain.

Sraattt!

"Bu Dor!" Gilang memekik histeris.

Medora tak sempat menghindar ketika mata pedang bercahaya merah menusuk punggungnya. Untung saja dia masih memiliki energi pelindung. Tubuhnya tidak terluka sama sekali. Hanya punggungnya saja yang dihinggapi nyeri.

"Siapa pun itu, keluarlah!" Medora mengangkat kedua tangannya. "Aku tidak ingin bertarung denganmu! Lebih baik kita bekerjasama!"

Lois, sudah mengenakan busana termpur warna merahnya, keluar dari balik sebuah batu besar. "Jangan bilang kamu ingin mengajakku untuk tidak membunuh bidadari lain."

"Ada beberapa hal yang hanya bisa dibicarakan oleh orang dewasa." Medora melirik Gilang yang mengintip dari balik punggungnya. "Intinya, aku mengajak kamu untuk bertarung bersamaku sampai saatnya tiba."

Ya, tentu saja Medora tidak bisa mengutarakan maksudnya di dekat Gilang. Medora sedang mencari partner untuk melawan monster dan bidadari lain. Itu akan membuat jalan Medora semakin ringan. Kemudian, setelah semua bidadari lain mati, dia tinggal bertarung dengan sang partner.

Paling tidak, itu yang akan dipahami calon partnernya ini. Medora akan memilih jalan lain untuk membunuhnya nanti, tidak perlu bertarung secara adil.

Lois mengangkat kedua alisnya saat menyadari keberadaan Gilang. "Dia tuanmu? Anak sekecil itu?"

Gilang merapatkan dirinya kepada Medora.

"Memangnya kenapa?" Medora melebarkan senyumnya. "Ini kan hari libur. Dia tidak sekolah."

"Ah, bukan urusanku, sih. Aku tak peduli bagaimana pihak penyelenggara memilih tuan."

Medora menyipitkan matanya. Setelah beberapa menit mengamati wajah Lois, ia menyadari sesuatu. Hampir saja ekpresi Medora berubah ketika mengingat sebuah kejadian bertahun-tahun yang lalu.

Dia pernah bertemu dengan bidadari di hadapannya ini.

Lois dulu ikut rombongan keluarganya memasuki tempat-tempat kumuh, demi menarik simpati masyarakat. Waktu itu, Medora berjongkok sendirian di pinggir jalan, dengan rambut kusut dipenuhi kutu, tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit, baju yang sobek-sobek dan sangat kotor, bau badan tak sedap, kulit penuh penyakit jamur, serta sayap yang patah.

Lois memberinya makanan. Tentu saja Medora menerimanya karena perutnya keroncongan. Orang-orang di sekitar Lois lalu bertepuk tangan. Lois juga mendapat pujian dari orangtuanya, para ajudan, serta masyarakat yang berkumpul di sekelilingnya.

Namun, setelah itu tak terjadi apa-apa lagi. Medora yang sempat berharap kehidupannya akan berubah karena kedatangan mereka, harus menggelandang kembali. Makanan yang dulu diberikan telah masuk ke perutnya dan berakhir sebagai kotoran.

"Jadi, bagaimana? Mau bergabung denganku?" Medora mempertahankan senyumnya, sekaligus menjaga suaranya terdengar seperti biasa.

Walau sebenarnya, Medora ingin mengoyak-oyak bidadari bermata pirang dan berambut biru itu.

"Bagaimana, Marcel!?" seru Lois, memajang senyum penuh arti.

Marcel keluar dari balik sebuah pohon besar, langsung menggeleng kepada Lois.

"Walaupun kamu mengiyakan ajakannya, aku tetap akan menyerangnya, sih." Lois mengacungkan pedangnya kepada Medora.

Gilang membelalak begitu lebar. "Ke-kenapa? Kenapa dia malah kayak mau ngelawan Bu Dor? Bukankah bidadari itu seharusnya berteman untuk membasmi monster?"

Pandangan Lois langsung menajam, sementara ekspresi Marcel terlihat makin serius.

"Nanti Ibu jelaskan." Medora mengusap lembut kepala Gilang dengan sarung tangan cakarnya. "Sekarang, kamu mundur dulu seperti kalau kita bertemu monster."

Masih membelalak tak percaya, Gilang akhirnya mundur. Tubuhnya mulai bergetar. Medora memasang kuda-kuda super rendahnya.

"Sayang sekali," desis Medora, tentu saja dengan ekspresi teduh andalannya. "Padahal, saya ingin lebih mengenal Anda, Nona Lois. Saya ini pengagum Anda."

Lois menghela napas lelah. "Di sini, kedudukan kita sama. Kita sama-sama petarung. Jangan panggil aku Nona .... Ah, aku belum tahu namamu."

"Untuk apa bertanya namaku?"

"Aku diajarkan untuk selalu mengingat lawan yang akan dibunuh karena ...." Lois terkekeh pelan. "Ah, kamu memancingku untuk berbicara selayaknya bangsawan."

Senyum Medora semakin melebar.