Janu menyeruput es kopi susunya sambil membuang muka. Lyra masih saja duduk di hadapannya, memandang tajam dirinya. Suasana itu sudah cukup canggung bagi Janu, ditambah dengan mata-mata pengunjung yang terus tertuju kepada dirinya dan bidadari itu. Dulu, Janu tak pernah mengajak Alsie datang ke kafe yang ramai seperti ini, jadi dia tidak sadar betapa kecantikan dan kemolekan tubuh bidadari bisa menarik begitu banyak perhatian.
"Jadi, apa kamu sudah berubah pikiran dan mau menjadi tuanku?" tanya Lyra untuk kesekian kalinya.
"Sekali enggak tetap nggak!" Janu menaruh gelasnya ke meja dengan cukup keras, kemudian bangkit berdiri. "Udahlah, kita udah lumayan lama loh di sini. Dari tadi kita ngobrol ...."
Lyra ikut bangkit dan langsung mendorong pundak Janu ke bawah. Janu tak kuasa melawan dan langsung terduduk. Ia pun mendengus kesal. Para bidadari itu, cantik-cantik tenaganya seperti gorila.
"Memangnya, kamu benar-benar tidak mau keinginan kamu terkabul?" serang Lyra, penuh dengan penekanan. "Apa sih keinginan kamu?"
"Elu dari tadi nanya begituan terus," gerutu Janu. "Keinginan gue itu bukan urusan elu! Gue cuma bisa bilang, keinginan gue nggak pantes buat dikabulkan!"
Ya, Janu tak mau diolok-olok lagi karena keingannya yang memalukan itu. Keinginan mendapatkan seorang wanita pujaan. Sebenarnya, keinginan Janu itu banyak, tetapi hatinya malah menganggap cintanya kepada Tina lah yang paling penting. Sekarang, setelah memikirkannya dalam-dalam, Janu membenci dirinya yang seperti itu. Seperti tidak ada perempuan lain saja.
"Aku bakal melakukan apa pun asal kamu mau menjadi tuanku," desak Lyra lagi.
Janu tertawa kecil. "Elu mau ng*w* sama gue!?"
"Apa itu ng*w*?" Lyra sedikit menelengkan kepalanya.
"Lupain aja." Janu menarik napas panjang. Barangkali pendidikannya tidak tinggi, pekerjaannya pun tak menghasilkan uang banya, ia juga masih suka bergaul dengan anak-anak yang hobi mabuk, tetapi Janu tak sampai hati memanfaatkan Lyra untuk kesenangan sesaat. "Intinya, ng*w* itu kata kasar. Nggak pantes disebuti sama cewek kayak elu."
Lyra menyilangkan kedua tangannya di dada. "Sekali lagi ...."
"Ah, sebenarnya gue punya alasan lain kenapa gue nggak mau jadi tuan elu." Karena terlalu bingung dengan situasinya, Janu sampai melupakan penyebab utama dirinya tidak mau ikut pemilihan para ratu itu. Penyebab yang membuat bulu kuduknya meremang. "Zita."
Lyra terdiam seribu bahasa.
"Temen-temen gue dibunuh sama dia. Gue nggak mau kayak mereka. Gue cuma mau bilang gitu, sih. Elu paham maksud gue, kan?"
Memejamkan matanya, Lyra menghela napas panjang. Seperti biasa, ekspresinya tidak berubah. Tatapannya, sejak berangkat dari pasar kuliner sampai tiba di kafe dengan arsitektur serba bambu itu, masih saja tajam menusuk.
"Baiklah." Lyra bangkit dari duduknya. "Aku tidak bisa memaksa kamu kalau alasannya seperti itu."
"Kenapa nggak dari tadi gue bilang begitu, ya?" tanya Janu, lebih kepada dirinya sendiri.
Tak mengatakan apa pun lagi, Lyra bertolak dari tempat itu. Mata para pengunjung, terutama yang laki-laki, tertuju kepada sang bidadari. Bahkan ketika Lyra sudah keluar dari bangunan, mereka melongok-longokkan kepala untuk melihat bidadari tersebut.
Dan tentu saja sudah tak ada lagi yang memperhatikan Janu.
Menyeruput sisa es kopi susunya, Janu memandang piring dan gelas kosong di mejanya. Untung dirinya memilih kafe murah tongkrongan mahasiswa. Karena Lyra sudah pergi, Janu yang harus membayar mie goreng keju dan es susu coklat yang tadi dinikmati bidadari itu.
***
Menghela napas panjang, Rava menduduki undakan beton di pintu belakang rumah kontrakan. Matanya tertuju ke bulan purnama yang sebagian tertutupi awan mendung.
Lagi-lagi dirinya tak bisa terlelap. Kemungkinan bahwa Lyra tak akan kembali ke sisinya terus menghantui pikiran Rava.
"Tidak bisa tidur lagi, Rav?" tanya Kacia, keluar dari pintu belakang.
Rava bergeser untuk memberikan tempat kepada bidadarinya itu. Memberikan senyum hangatnya, Kacia sedikit menyibak rambutnya dan duduk di sebelah tuannya.
"Itu .... Aku cuma nggak bisa ngebayangin kalau Lyra mungkin bakalan ada di pihak yang berseberangan sama kita," gumam Rava, masih menatap bulan purnama.
Kacia ikut memandang benda langit itu. "Kamu perhatian sekali dengannya, ya?"
"Gimana ngomongnya, ya .... Aku sama Lyra memang belum lama kenal, tapi dia udah sering ada di sampingku .... Ah, susah jelasinnya .... Intinya, kalau pindah kubu, berarti dia mungkin bakal ngebunuh lagi. Tekadnya itu kuat banget, Kacia. Dia bener-bener ingin berjuang demi kaumnya. Dan aku merenggut kesempatannya ...." Tak bisa melanjutkan kata-katanya, Rava tertawa getir.
Perlahan, Kacia merentangkan senyum hangatnya lagi. "Terimakasih, Rava."
"Hah?" Kedua alis Rava langsung menaut. "Terimakasih? Terimakasih buat apa?"
"Terimakasih karena kamu sudah lebih terbuka kepadaku. Artinya, kamu benar-benar sudah menganggapku sebagai partner."
Wajah Rava dan Kacia langsung dihiasi rona merah. Bahkan Rava sampai tak bisa menatap mata bidadarinya itu.
"Oh iya," Kacia berdiri dari undakan. Nada bicaranya terdengar sedikit lebih ceria. "Bagaimana kalau kita duduk di atas atap saja? Anginnya berbeda, loh. Lebih sejuk. Mungkin bisa membuat pikiran kamu jadi lebih tenang."
Rava langsung menengok ke atas. Rumah itu tidak menggunakan genteng, melainkan atap plastik yang cukup tebal, sepertinya tidak apa-apa mendudukinya. "Hmmm .... Boleh, sih ...."
Kacia sudah mengulurkan kedua tangannya, jelas sekali akan mengangkat Rava dengan posisi seperti pangeran yang membopong putrinya. Rava cuma bisa melongo, sementara Kacia berkedip-kedip, tampak heran kenapa tuannya tak kunjung bangkit berdiri.
Menyadari apa yang dilakukannya, Kacia buru-buru membuang wajahnya, yang kini kembali merona merah. Namun, kedua tangannya masih terjulur.
Rava meringis kaku. "Kapan-kapan aja, deh .... Uwaaaaa!!!"
Sekonyong-konyong, ione keluar dari pintu belakang, mengangkat tubuh Rava dan melemparkannya kepada Kacia. Untungnya, Kacia bisa menangkap tuannya itu dengan baik.
Mendengus keras, Ione menunjuk ke atas. Rava dan Kacia cuma bisa mematung saat bidadari Stefan itu pergi.
"Jadi, mau naik nggak, Rav?" tanya Kacia, masih tersipu malu.
"I-iya." Karena sudah terlanjut dibopong Kacia, Rava tak bisa menolak.
Kacia pun melompat ke atap, kemudian mendudukkan Rava di sana. Kembali menatap bulan, bidadari itu pun ikut duduk.
"Dulu, waktu masih kecil, aku pernah terbang setinggi-tingginya, berusaha menggapai bulan, Rav. Waktu itu, aku belum paham kalau bulan itu jaraknya sangat jauh dari tempatku tinggal. Semakin tinggi aku terbang, udara semakin menipis, suhu semakin dingin, energiku terkuras habis. Aku pun pingsan dan jatuh," tutur Kacia, sedikit tersenyum. "Untungnya, ada yang melihat dan menangkapku sebelum tubuhku mendarat di tanah."
"Kayaknya, itu pengalaman yang mengerikan."
Kacia mengangkat bahu. "Tapi, itu tetap kalah mengerikan daripada kemarahan ibuku. Dia jarang marah, tetapi kalau marah seram sekali. Dia marah karena aku sembrono."
Mereka pun tertawa kecil.
"Kacia, apa bulan di tempatmu sama kayak bulan di sini?" tanya Rava.
"Ya, keduanya sama. Sama-sama indah."
***
Angin sepoi-sepi sedikit mengibarkan rambut Lyra. Berdiri di atap sebuah rumah, ia memandang Rava dan Kacia di kejauhan. Mereka terlihat sedang bercengkrama, tertawa-tawa bersama, walaupun dengan gestur kaku dan canggung.
Alih-alih kembali ke rumah kontrakan, Lyra malah balik arah, kembali melompat dari satu rumah ke rumah lain. Ia pun memegangi dadanya. Ada rasa sakit di sana. Namun, itu bukan rasa sakit fisik yang membuatmu ingin menjerit. Itu rasa sakit yang sulit dijelaskan.
Lyra terkejut ketika merasakan kedua ujung matanya mulai berair. Ia pun menyekanya, mengamati cairan bening itu di jari-jemarinya.