Ione berjongkok dan menjambak rambut Fino. Memajang senyum meremehkan, bidadari itu berkata dengan nada santai, "Hei, Kacia sepertinya sudah tidak betah menjadi bidadarimu. Mungkin akan lebih baik kalau kamu melepas kontraknya."
Fino langsung meludahkan darah ke tubuh Ione. "Jangah harap!!!"
"Emang harus dikerasin," dengus Rava, hendak menyakiti Fino kembali, tetapi lagi-lagi dihadang Stefan.
"Ione, tahan dia," pinta Stefan.
Ione memelintir tangan Fino ke belakang. Fino terus mengumpat dan berontak. Stefan sampai agak kesulitan mengambil dompet Fino dari saku celana.
Sementara itu, Kacia masih ditahan oleh Lyra. Bidadari berbusana merah jambu itu menoleh kepada tuannya, terus mencucurkan air mata tanpa berkata-kata.
"Lihat baik-baik, Kacia." Ione menjitak keras kepala Fino, Tuan Kacia itu pun langsung menyemburkan kata-kata kotor. "Bidadari bisa melakukan kekerasan kepada para tuan, kok. Baik tuannya sendiri, maupun tuan dari bidadari lain. Yang terpenting kan tuan itu tidak sampai terbunuh."
Mata Kacia mulai membelalak. Mulutnya menganga, tetapi masih tak mengeluarkan suara apa pun.
"Kesimpulannya, kamu sebenarnya bisa melawan tuanmu yang kejam ini. Kamu juga tidak harus mengikuti semua perintahnya," terang Lyra pelan, tentu saja dengan ekspresinya yang biasa. "Apa kamu tidak tahu tentang hal itu?"
Kacia memandang wajah Lyra dan menggeleng pelan. Air matanya pun mengucur makin deras. Mulutnya merintih seperti menahan sakit.
Melihat hal itu, Rava pun merasakan basah dan panas di matanya. Pandangannya juga mulai mengabur.
"Dia cuma salah mengartikan penjelasan Piv," desah Ione.
"Fino Adinata!" Stefan memotret kartu identitas Fino dengan ponselnya. "Gue udah pegang identitas elu!"
Rava baru tahu kalau suara Stefan bisa setegas dan sedalam itu.
Stefan berjongkok di hadapan muka Fino, menunjukkan sebuah foto keluarga yang menampilkan tiga orang lelaki berbusana formal. "Lu tahu siapa yang ada di tengah ini? Ini bokap gue, namanya William Wiryawan."
Bulu kuduk Rava meremang hebat. Ia tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. William Wiryawan adalah ayah Stefan? William Wiryawan, pengusaha besar yang bergerak di bidang pengangkutan itu? Seseorang yang masuk dalam daftar 10 besar orang terkaya negeri ini?
Yang benar saja?
"Sebenernya, gue nggak terlalu suka pake nama bokap gue. Tapi, elunya yang kebangetan, sih," serang Stefan, menoyor kepala Fino. "Gue nggak mau ngomong panjang lebar. Intinya, lu lepasin kontrak sama Kacia, atau hidup lu bakal jadi susah. Di KTP, elu masih belum kerja. Kalau bener elu masih pengangguran, gue bakal mastiin kalau elu nggak akan bisa diterima kerja di mana pun."
Fino, yang sedari tadi terus mengumpat, akhirnya cuma bisa melongo dengan bibir bergetar.
Stefan kembali menoyor kepala Fino. "Malah bengong."
"Ampun, Bang ...." Fino mulai menangis bak anak kecil. "Keadaan aku lagi susah, aku nggak dapet-dapet kerja ...."
"Heh! Keadaan aku juga lagi susah, tapi nggak sampe nyiksa orang!" hardik Rava sambil memelototi Fino. "Emangnya, kalau susah, kamu punya hak bikin orang menderita, hah!?
"Sekarang, minta maaflah kepada bidadarimu itu," pinta Ione
Fino melirik Kacia, tapi itu sebentar saja sebelum dirinya membuang muka. "Maaf ...."
"Yang keras!" bentak Rava dengan suara menggelegar.
Menelan ludah, akhirnya Fino berkata, "Maafin aku atas semua yang aku lakuin ke kamu, Kacia."
Rava sudah akan mendesak Fino agar lebih sungguh-sungguh dalam meminta maaf, tetapi Stefan mencegahnya. Mulut Stefan membentuk kata 'percuma' tanpa suara. Rava ingin membantah, tetapi dia langsung sadar kalau orang seperti Fino tak akan bisa berubah semudah itu.
"Sekarang, kamu tahu harus melakukan apa, kan?" tanya Ione, tersenyum puas.
Masih menangis, Fino menempelkan wajahnya ke lantai yang kotor. "Aku melepaskan kontrakmu, Kacia."
Tanda di lengan Fino memancarkan cahaya terang berwarna merah jambu, sebelum akhirnya hilang tanpa bekas. Lyra melepaskan tangan Kacia. Kacia pun menutupi wajahnya, kembali menangis sesenggukan. Ione juga melepaskan kunciannya dari Fino.
Rava pun membantu Kacia untuk duduk. Mereka semua, kecuali Fino, kini mengelilingi Kacia.
"Terimakasih, semuanya." Kacia memandangi para penyelamatnya itu satu-persatu.
Ketika pandangan Kacia tertuju padanya, Rava langsung tersipu. Kalau tidak dihiasi bengkak dan lebam, Rava yakin wajah Kacia akan jauh lebih imut. Bidadari dengan rambut berwarna cherry tua itu setipe dengan idol-idol jepang yang terkadang Rava tonton konsernya.
"Ikutlah dengan kami," pinta Stefan dengan senyum ramah, kemudian menepuk pundak Stefan yang ada di sampingnya. "Dia Rava. Energi kehidupannya melimpah. Dia bisa hare .... Ehm .... Dia bisa menjadi tuan untuk lebih dari satu bidadari."
Mendengar ucapan Stefan itu, entah mengapa Rava jadi merinding.
Tak langsung menjawab, Kacia menengok kepada Fino, yang sudah mulai melangkah pergi dengan lunglai. Menghela napas, ia kembali menatap para penolongnya. "Sepertinya, aku tidak punya pilihan lain."
"Rava pasti senang menjadi tuan kamu, Kacia." Ione terkekeh-kekeh. "Dia semangat sekali menyelamatkanmu, loh. Dia sampai tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan keadaan kamu."
"Benarkah?" Kacia menatap Rava, yang tak berani balas melihatnya. Mengembangkan senyum lebar, Kacia berkata lembut, "Terimakasih atas perhatiannya. Kamu baik sekali."
Rava sekilas melirik senyum bidadari itu. Jantungnya jadi berdegup tak terkendali. Wajahnya pun mulai memanas. Namun, semua itu berbeda dengan apa yang terjadi kalau dia berhadapan dengan keseronokan Lyra.
Sesuatu yang hangat seolah mengalir di dada Rava.
Mata Lyra sedikit menyipit saat melihat kecanggungan Rava. Bidadari itu pun mengembalikan pakaiannya menjadi busana normal, kemudian bangkit dan mulai melangkah pergi.
"Lebih baik kita naik mobil saja. Kasihan Kacia kalau harus melompat dengan kondisi begitu. Pak Herman udah nunggu nggak jauh dari sini," tutur Stefan.
Rava membantu Kacia untuk berdiri. Merasakan lembut dan hangatnya tangan bidadari itu, Rava makin salah tingkah. Darah di wajahnya seolah mendidih. Dan anehnya, Kacia juga ikutan malu-malu. Bidadari itu memain-mainkan ujung rok baju tempurnya dengan wajah yang ikutan merona.
Ione dan Stefan bertukar senyum penuh arti.
"Sebaiknya kita pergi sekarang. Mbak berambut cokelat itu sudah tidak sabar mau pulang," ujar Ione, menonaktifkan baju tempurnya, menunjuk Lyra yang sudah jauh.
Kacia ikut menonaktifkan baju tempurnya, menghapusi sisa air matanya di wajah, lantas mengikuti para penyelamatnya. Saat melirik busana normal Kacia, Rava merasa miris. Kacia memakai kaos dan celana kebesaran yang lusuh dan sobek di beberapa bagian, tanda kalau Fino tak mengurus bidadari itu dengan baik.
Lyra melirik ke belakang untuk mengecek tuannya. Namun, dia malah melihat dua sosok manusia di atap salah satu bangunan, agak jauh di belakang Kacia dan Rava.
"Awas, di belakangmu!" seru Lyra keras, menunjuk ke bangunan itu.
Kacia dan yang lain langsung menoleh ke belakang. Melihat benda mirip mata pedang tipis bercahaya merah memanjang ke arahnya, Kacia bergeser menghindar.
Terlambat, karena memakai busana biasa, energi pelindung Kacia tidak aktif. Pinggangnya terserempet mata pedang itu dan langsung mengucurkan darah. Tubuhnya pun oleng dan menabrak Rava. Mereka berdua pun terhempas ke lantai.
"Kacia!!!" Rava berteriak panik melihat Kacia yang mengerang kesakitan di atas tubuhnya.
"Lois," desis Lyra, mengaktifkan kembali baju tempur dan senjatanya. Pandangannya terhujam tajam kepada bidadari pirang berbusana tempur merah yang berdiri di atas atap. Ya, bidadari itulah yang barusan melukai Kacia dengan rapier yang memanjang.
Stefan berjalan pelan mendekati bangunan tempat Lois berada. Namun, mata Stefan tidak tertuju kepada Lois, melainkan kepada pria yang mendampingi bidadari itu.
"Kak Marcel?" Stefan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Pria dengan rambut agak gondrong dan mengenakan kemeja putih itu balas menatap Stefan.