Waktu terus bergulir, jam dinding sudah menunjukkan jam 4.34 pagi.
Sial, aku tidak bisa tidur. Dari kemarin sampai saat ini, aku tidak bisa memejamkan kedua mataku.
Cih, ini semua gara-gara Selvi, salah satu teman sekaligus sahabatku satu-satunya di sekolah yang menceritakan tentang hewan peliharaan. Harusnya aku tidak mempercayainya dengan mudah. Kalau sudah begini, mataku jadi tidak bisa terpejam satu inci pun.
Aku juga sudah melakukan berbagai cara untuk menutup rapat mataku. Misalnya saja seperti meminum susu hangat atau menghitung domba yang ada di gambar, semua usahaku tidak ada yang membuahkan hasil untuk membuatku mengantuk.
Apa aku harus menyalakan dan menonton salah satu saluran televisi agar mataku bisa terpejam?
Hal itu juga sudah ku lakukan dari tadi tapi hasilnya tetap sama saja. Saluran televisi yang selalu menayangkan iklan rokok pun sudah ku lihat berulang kali. Mungkin sekitar 34 kali tayangan iklan yang sama, mataku tetap segar bugar.
Untung saja hari ini hari minggu. Walau banyak tugas yang harus ku selesaikan, aku masih bisa memakai beberapa jam untuk tidur dengan nyenyak.
Tanganku bergerak dengan sendirinya, mengambil buku kecil dan alat tulis yang terletak tak jauh dari tempatku tertidur.
Tanganku mulai menuliskan sesuatu, seperti mengatakan bahwa aku masih belum tertidur dari jam sekian sampai jam sekian, selalu memainkan game di ponsel pintar, dan mengutuk berat sahabatku satu-satunya karena sudah menceritakan dongeng yang membuatku tertarik dan tidak akan pernah terjadi di dunia realita.
Setelah aku selesai mengutarakan semua isi hatiku pada buku kecil yang ku tulis, aku menutup lembut buku kecil yang bertuliskan 'Diary' itu lalu meletakkannya kembali di tempatnya.
Aku mulai menguap, namun mataku tak semata-mata tertutup.
Aku benci tubuhku yang tidak mendengarkan isi hatiku.
###
Matahari mulai menampakkan wujudnya, disusul dengan jam bekerku yang bekerja untuk membangunkanku dengan mataku yang masih terbuka lebar. Jam menunjukkan pukul 7.00 pagi dan aku tidak tidur sama sekali.
Lihat saja. Setelah ini, aku akan datang ke rumah sahabatku lalu mengutuknya secara terang-terangan di depan rumahnya. Biarkan saja dikata orang gila, yang penting hidupku puas setelah memakinya.
Aku bangkit dari tidurku. Dengan rambut yang masih acak-acakan, aku berkomentar pada diriku di cermin.
"Menjijikan."
Bagaimana bisa rambutku acak-acakan seperti baru terbangun dari tidur padahal aku tidak tertidur sama sekali?
Terserahlah. Aku berjalan keluar dari kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan baju rumahan seperti biasa, dengan kaos dan celana pendek untuk mempermudah gerakku.
Kali ini, aku tidak berniat untuk pergi ke rumah sahabatku yang sudah ku janjikan. Aku hanya ingin menghibur diri di rumah sebelum menyelesaikan tugas yang membuatku malas untuk bergerak keluar rumah.
Ingatkan aku bahwa aku adalah seorang siswi SMA yang sangat pemalas dan suka berdiam diri di rumah.
Aku yakin 99% orang yang membaca isi hatiku ini adalah orang yang sama sepertiku. Malas untuk bergerak dan malas untuk mengerjakan tugas.
Biarpun begitu, aku selalu rajin untuk menulis setiap hal di dalam buku kecilku. Buku kecilku adalah satu-satunya tempat untukku mengutarakan isi hati tanpa merasa was-was pada orang bermulut ember. Mereka tidak akan bisa membaca diaryku, tidak akan pernah.
Tok tok!
Terdengar suara pintu diketuk dari luar, menandakan bahwa adanya tamu yang berkunjung ke kost-ku tanpa ada satupun orang selain diriku disini. Aku memang memutuskan untuk tinggal sendiri setelah kelas 3 SMA dan untungnya Ibuku mendukungku untuk belajar hidup mandiri.
Tentu saja Ayahku tidak menyetujuinya. Katanya sih ia masih khawatir dengan keselamatanku sebelum Ibu membujuk Ayah dengan segala cara.
Apa itu sahabatku si Selvi?
Kalau benar, aku akan memakinya setelah membuka pintu kost-ku.
"Apa benar ini adalah rumah dari anak Saktika?"
Aku mendengar orang itu bertanya pada diriku setelah aku membuka pintu. Terlihat beberapa orang berdiri di depan rumahku dengan setelan jas hitam yang rapi membuat mataku sakit karena silau sangking rapinya.
"I-Iya, itu Ayah saya," jawabku dengan gugup. Aku juga bisa merasa takut ketika dihadapkan dengan suasana mencekam seperti sekarang.
Entah apa yang terjadi setelah aku menjawab, salah satu pria yang bertanya padaku barusan tersenyum mengerikan seperti mengatakan ia sudah menemukan mangsa selanjutnya.
"Bagus sekali. Kalau begitu, kau bisa ikut kami, Nona Manis~"
Tatapanku semakin horor melihatnya. Dugaanku ternyata benar. Kali ini, apa yang ingin direncanakannya?
"Ayahmu tidak bisa melunasi utang. Sebagai gantinya, kau harus membayar dengan tubuhmu~"
Baiklah, aku takut sekarang. Tanganku yang memegang kenop pintu sudah berkeringat dingin lumayan lama. Biarpun begitu, aku tidak bisa membiarkan seseorang seperti mereka melihat ketakutanku.
Rencananya, aku ingin menyerang alat reproduksinya dalam sekali tentang jika aku tidak menyadari ada beberapa orang setelan jas hitam tadi yang ku duga bodyguard milik orang ini.
"Maaf, Tuan. Tapi, bisakah kau menunggu sebentar?"
Aku tidak ingin mendengar balasan darinya lalu ku putuskan untuk menutup pintu kembali sambil menguncinya pelan agar suaranya tidak sampai terdengar ke telinga orang-orang itu.
Apa yang harus ku lakukan sekarang? Hidupku terancam!
Untung saja kejadian ini tidak terjadi di rumah utama, besar, dan mewahku. Eh, mungkin hal seperti ini tidak akan pernah terjadi di rumah utama mengingat betapa banyaknya bodyguard yang berjaga di rumah itu.
Aku yakin orang-orang ini berbohong tentang Ayahku yang tidak mampu melunasi hutang. Ayahku kan tajir dan kaya raya, mana mungkin Ayah tidak mampu melunasi hutang. Kalaupun aku bilang pada mereka bahwa mereka sudah berbohong padaku, hal itu juga tidak bisa menutup kemungkinan mereka akan menculikku.
Arg!!! Apa yang harus ku lakukan?!
Kabur.
Iya, kabur! Kenapa aku tidak terpikirkan hal itu sebelumnya!
Mereka pasti menerorku! Aku yakin itu setelah mereka berani mendatangi kost-ku namun tidak berani untuk datang menghadap rumah utama.
Baiklah, aku akan meladeni kalian. Aku tidak punya banyak waktu untuk bersiap. Untuk itu, aku hanya akan membawa jaket tebal berwarna hitamku kemanapun aku pergi. Beberapa uang dan rekening yang ku tabung sudah ku masukan ke kantung lebih awal, aku jadi tidak perlu khawatir tentang barang-barang yang akan ku tinggalkan disini selagi masih ada uang dan gadget.
Benar juga. Aku tidak boleh melupakan diary ku. Benda itu adalah harta karunku satu-satunya yang harus ku jaga dengan baik kerahasiaannya.
Sekarang, aku sudah siap. Waktunya untuk kabur. Kabur lewat pintu belakang tentunya.
Aku sudah memakai sepatu berwarna putih kesukaanku lalu mulai mengendap keluar melewati jendela. Pintu belakang memang memiliki suara yang nyaring ketika ditutup, untuk itu aku harus keluar memalui jendela agar suaranya tidak terdengar.
Berhasil! Aku berhasil menjauh sejauh 50 meter dari rumah! Kali ini harus berhasil--
"Tuan! Pintunya terkunci! Pasti dia kabur!"
Sial! Kenapa harus secepat ini?!
Tak ada cara lain. Aku harus berlari secepat mungkin. Aku tidak ingin tertangkap dan dijadikan sate oleh para lelaki dewasa itu. Sudah pasti 'sate' yang ku maksud disini bukanlah makanan khas Indonesia dengan beberapa daging ayam yang dipotong kecil sebelum ditusuk.
Aku berlari menjauh dari rumah, menuju pepohonan lebat yang ku yakini aku sedang menuju ke hutan.
Jarak kost dan hutan tidak terpakai itu memang lumayan dekat beberapa meter. Aku jadi bisa merasa lega untuk bersembunyi di hutan ini.
Mungkin sudah cukup. Aku bersandar saja di bawah pohon untuk mengambil napas. Napasku masih terengah-engah, aku harus bisa mengumpulkan energiku ketika orang-orang berjas itu berhasil menemukanku.
Mataku yang tidak bisa ku gunakan untuk beristirahat pun sekarang sudah memejamkan mata karena dirasa ngantuk.
Ingin rasanya aku mengumpat mataku, tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk melakukan hal itu.
Bruk!
Terkejut, aku membuka mataku secara tiba-tiba. Telingaku menangkap adanya suara hantaman keras. Bisa ku pastikan bahwa suara itu adalah orang yang terjatuh.
Ya, orang terjatuh. Aku melihat orang itu setelah aku menelusuri tepat di depan mataku. Dia seorang pria, dan dia sedang meringis kesakitan sambil memegang bahu kirinya. Tentu saja aku kasihan padanya. Untuk apa ia memanjat pohon, namun akhirnya terjatuh juga?
"Kamu--"
"Jangan pedulikan aku."
Aku bahkan belum sempat bertanya padanya tapi dia sudah memotong perkataanku duluan. Kesal sih, tapi aku sebisa mungkin tidak menunjukkan rasa kesalku padanya.
"Kamu ngapain manjat pohon sampai jatuh segala sih?" Tanyaku penasaran dengan mengerutkan kedua alisku.
Laki-laki itu terdiam, lalu mulai membungkuk seperti meminta maaf padaku. Alisku semakin berkerut karena tidak mengerti dengan apa yang sudah ia lakukan padaku. Bukannya menjawab, ia justru melakukan hal yang tidak ku mengerti.
"Namamu Saktika Tiara Rumi kan? Maaf, aku sudah menjadi stalkermu selama dua tahun terakhir."
Tunggu. Ini, apa maksudnya? Kau mengenalku? Gi-Gimana bisa?
Ah, aku tau. Dia kan stalker, sudah pasti dia tau nama panjang-- HAH?! Dia stalker? Beneran?!
.
To be continue ....