"Kau benar, mereka disini." Kiki berujar setelah mengintip dari sela lubang pintu. Tentu saja Kiki melakukan itu sambil memelukku tanpa ia sadari.
Sepertinya Kiki memang ahli dalam bidang ini. Aku tidak tau lagi bagaimana warna wajahku disaat aku tengah menikmati pelukan hangat Kiki.
Rezeki yang tanpa sadar datang sendiri seperti sekarang inilah yang tidak boleh disia-siakan. Harus dinikmati dengan sepenuh hati.
"Bagaimana bisa mereka ada disini? Kau membuat masalah--"
"NGGAK LAH! GINI GINI AKU MURID TELADAN YA!"
Perempatan imajiner muncul di dahiku. Aku tidak terima jika harus dituduh karena sudah membuat masalah yang tidak ku perbuat.
Kiki dengan sigap menutup mulutku dengan salah satu tangannya yang bebas. "Iya, aku tau. Tapi pelankan suaramu."
Wajahku memerah. Iya, memerah. Aku bisa merasakannya. Wajahku seketika memanas perlahan saat Kiki membisikkanku untuk jangan berteriak.
Tidak adil. Aku benar-benar tidak suka situasi ini.
"B-Bagaimana sekarang?" Tanyaku menyingkirkan tangannya yang menutup mulutku. Aku harap Kiki tidak merasakan tanganku yang gemetar.
"Untuk sekarang, kita tunggu mereka lewat dulu--"
"Kalau ketahuan gimana?!" Aku bertanya dengan volume sekecilnya, namun masih dapat didengar oleh satu-satunya orang--maksudku burung yang ada di depanku.
"Tenang aja, nggak akan ketahuan kalau kita berbisik."
"O-Oke."
Kiki mulai mendekat, memastikan dari lubang pintu bahwa tak ada orang berjas hitam yang lewat lagi.
Saat Kiki baru saja mengintip, tiba-tiba saja aku terkejut ketika Kiki mendadak menjauhkan pandangannya dari lubang. Dengan cepat Kiki menunduk.
"A-Ada apa?"
"Mereka melihat."
Mataku membulat mendengarnya. Aku tidak percaya aku dengan mudahnya ketahuan. "Terus gimana--"
"Pelankan suaramu."
Napasku tercekat. Aku masih susah mengatur detak jantung dan napasku secara bersamaan. Aku takut ketahuan.
Siapapun di luar sana, ku mohon tolong aku!
Jangan ketahuan, kumohon jangan ketahuan!
"Siapa itu?" Tanya salah satu orang yang ku yakini merekalah yang mencariku.
"Bukankah itu suara gadis yang dicari?"
"Dari kamar itu asal suaranya."
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar beberapa orang itu berbicara tentang suaraku. Aku bahkan belum mengeluarkan suaraku.
Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?
Mereka pasti kesini kan?
Kalau mereka mendobrak pintu ini, apa yang harus ku lakukan?
Berpikir!
Ku mohon berpikirlah, Rumi!
"Mereka sudah pergi ... sepertinya."
Aku mendongakkan kepalaku, menatap salah satu peliharaanku dengan rasa harap.
"Kau yakin?"
"Kita nggak akan tau kalau kita nggak keluar sekarang."
"A-Aku takut. Kamu aja yang keluar." Ku kibaskan salah satu tanganku dengan gaya mengusir.
Sepertinya, Kiki kesal ketika aku mengusirnya. Aku bisa melihat pertigaan imajiner muncul di kepalanya dengan alis bergetar.
Kiki melangkah keluar secara perlahan pada akhirnya. Bisa ku lihat instruksi tangannya yang melambai, menandakan bahwa tak ada satu pun orang di lorong itu.
Helaan napas ku keluarkan. Perasaan lega mulai menghampiriku.
Tak ragu aku keluar mengendap-endap, takut jika suara langkahku terdengar oleh mereka.
"Kita harus keluar sekarang."
Aku mengangguk menyetujui pernyataan Kiki lalu berlari menuruni tangga. Untung saja ruangan yang mereka hampiri sangat jauh dari tangga dan ruang inapku sebelumnya. Jadi suara lari kami tidak mungkin terdengar dari orang-orang seram itu.
Kiki menyeretku ke lobby untuk melakukan chek out terlebih dulu sebelum menjauh dan mulai menggendongku dari penginapan murah namun masih terlihat mewah itu.
Aku yang tinggal di daerah ini saja tidak tau kalau penginapan itu benar-benar ada di daerah ini. Aku semakin jatuh cinta saja pada Kiki.
Haruskah ku belikan makanan burung saja untuknya?
Jangan, Rumi. Dia memang burung, tapi dalam wujud manusianya itu, bukannya itu terlalu menghina?
Ngomong-ngomong walau aku dan Kiki sudah keluar dari penginapan, aku masih tidak tau pasti maksud Kiki bertanya pada orang yang ada di lobby dan mengajakku keluar lewat pintu belakang.
"Untung aja aku meminta mereka menunjukkan pintu keluar lainnya."
Oke, aku memang bodoh. Aku masih tidak paham maksud Kiki menyeretku keluar melalui pintu belakang.
Sudahlah. Berkat Kiki, aku juga bisa selamat dari kejaran orang tak dikenal. Aku harus berterima kasih padanya dan tidak menanyakan hal yang menurutku sepele.
###
"Kita istirahat dulu disini."
Perlahan Kiki menurunkanku dari gendongannya. Dilihat-lihat, memang hutanlah yang paling aman untukku saat ini. Kalau aku pergi ke kota dan mencari bantuan, aku tidak akan tau orang berjas itu akan melakukan apa pada mereka yang melihatku.
Aku sudah tidak bisa mempercayai semua manusia yang ada di bumi ini, kecuali polisi dan Kiki tentu saja. Untuk polisi, mungkin setengahnya. Mengingat beberapa polisi di negara ini bisa disuap kapanpun jika itu menguntungkan.
Berpikir untuk berlindung pada keluarga saja sudah tidak bisa. Aku takut omongan mereka tentang Ayah memang fakta.
Lucu sekali. Aku, manusia yang paling mudah percaya pada siapapun ini sudah tidak bisa percaya semudah itu. Kiki dan Selvi termasuk kedua orang yang masih ku percaya sampai saat ini. Kalau bisa, aku ingin bergantung pada mereka saja.
Sayangnya, aku tidak bisa bergantung pada Selvi sekarang. Rumah Selvi juga lumayan jauh dari lokasiku berdiri jika ku lihat dari GPS. Aku harus mencari daerah yang tidak bisa dilacak dan ditemukan oleh orang-orang tadi.
"Kepala Nona kenapa? Nona pusing?" Tanya Kiki yang membuatku langsung tersadar bahwa aku sedang memegang kepalaku sambil berjongkok.
Gejalaku mulai bereaksi lagi, tak sadarkan diri disaat aku berusaha keras berpikir.
"Nggak. Mungkin karena efek pengalaman pertama, makanya aku frustasi harus menyelesaikan masalah ini seperti apa."
"Kenapa Nona nggak bayar lunas aja biar cepat beres?"
Alisku berkedut tanda tak suka dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Kau kan tau aku anak orang kaya! Ga mungkin Ayah nggak mampu bayar utang mereka kalau utang yang harus Ayah bayar banyak banget melebihi harta Ayah! Uang simpananku juga mungkin ga akan cukup untuk lunasin utang Ayah karena Ayah selalu ngasih uang jajan di bawah gaji Ayah tiap bulan!"
Aku menghela napas, meredakan amarahku yang sempat meledak-ledak di depan Kiki.
Ku lihat ekspresi datar Kiki. Iya, datar. Benar-benar datar seperti papan tripleks. Ekspresinya seakan mengatakan 'jangan sombong kamu'.
Aku tidak sombong! Itulah kenyataannya!
"Besok, Nona ada rencana--"
"Tunggu dulu." Aku memotong pembicaraan Kiki yang sepertinya akan bersifat pertanyaan jika diteruskan.
"Aku boleh nanya?" Tunjukku pada diriku sendiri.
"Boleh, silahkan Nona."
Baiklah, aku kesal. Ku sempatkan mengedutkan salah satu alisku terlebih dulu sebelum lanjut untuk menanyakan pertanyaan yang membuatku kesal.
"Dari yang ku perhatikan, kenapa KAMU SELALU MANGGIL AKU NONA?!"
"Emang nggak boleh?"
"ITU KAN PANGGILAN PARA PELAYAN DENGAN MAJIKANNYA!"
"Kan kamu memang majikanku."
"..., memang bener sih."
Kepalaku pusing. Aku merasa semakin kesal walau memang benar apa yang dia katakan.
Aku saja menyuruh para pelayanku untuk menganggapku teman dan memanggilku Rumi saja. Kenapa kau, yang orang-- atau peliharaan asing, malah memanggilku dengan panggilan 'Nona'?!
Panggilan itu adalah jenis panggilan paling terlarang dalam hidupku! Jangan pernah sekalipun ada yang memanggilku dengan panggilan itu! Terutama orang asing yang satu ini!
"Panggil aku Rumi."
"Nggak mau."
"Rumi aja."
"Nggak."
"Saktika Tiara Rumi. Panggil aku dari salah satu nama itu--"
"Ku tolak."
"Ayolah, panggil apapun asal jangan itu--"
"Mau ku panggil 'Putri'?"
"NO!"
Ketenanganku ....
Aku yakin setelah ini akan ada bencana yang menimpa jalan hidupku. Aku tidak bisa menerimanya.
Oh Tuhan, mengapa kau mengujiku seberat ini?
"Sekarang, giliranku yang bertanya."
Aku menoleh pasrah dengan rasa frustasi yang masih bercampur aduk dalam diriku.
"Besok, Nona ada rencana melanjutkan sekolah?"
Cih, panggilan itu--
Telingaku masih belum terbiasa mendengarnya, bahkan rasanya sangat panas sampai ke gendang telinga.
Bisa saja aku mengutukmu setelah ini kalau aku amnesia dan tidak mengingat jasa apa yang sudah kau lakukan padaku.
"Sebenarnya ada. Tapi karena Ayah pernah meminta percepatan pembuatan ijazah dengan alasan aku mampu mengerjakan soal UN, mungkin aku bisa berlibur."
Lihatlah tatapan datar Kiki setelah aku menjawab pertanyaan darinya. Dia seakan mengatakan 'iya tau yang pinter' tanpa diucapkan lagi.
"Bagus kalau gitu."
Aku tidak tau kenapa Kiki menanyakan itu. Dia juga tidak menjelaskan, mungkin aku juga tidak ada hak untuk bertanya.
Sebelum aku mau bertanya karena rasa penasaran, Kiki menggendongku lagi dengan style ala pengantin baru. Tentu saja aku terkejut karena Kiki mengangkatku secara tiba-tiba.
"T-Tunggu, kita mau kemana?"
Kiki tersenyum, lebih tepatnya senyum menyeringai sebelum ia menjawab pertanyaanku.
"Pegangan yang erat. Aku mau bawa Nona ke udara~"
"..., hah?"
.
To be continue ....