Setelah mendengar pernyataan Levi kemarin, Vero sejak kemarin hanya terdiam di kamar, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Vero hanya bolak-balik ke sana dan kemari, duduk lalu kemudian merebahkan tubuhnya di kasur miliknya.
Namun Vero terdiam saat melihat wajah kedua orang tuanya yang terpajang di bingkai foto yang ada di meja kamarnya.
Vero menatap bingkai foto itu, kemudian mengambil bingkai foto tersebut. Vero memperhatikan kedua wajah yang ada di bingkai foto itu.
Vero dapat mengingat kembali kenangan-kenangan manis yang telah ia lewati bersama kedua orang tuanya dulu, sampai saat ia meminta untuk liburan kepada kedua orang tuanya untuk hadiah ulang tahunnya.
Flashback on…
"Ayah … bunda … Vero ingin pergi berlibur sebagai hadiah ulang tahun Vero yang tinggal sebentar lagi," ucap Vero kecil.
Ayah dan Bunda Vero pun, langsung tersenyum mendengar permintaan putra kecil kesayangan mereka itu.
"Ingin pergi berlibur ke mana, Vero?" tanya bundanya, dengan berlutut menyamakan tinggi Vero.
Vero nampak sumringah karena ditanyai ingin pergi berlibur kemana oleh bundanya.
"Apakah aku benar-benar akan pergi berlibur, bunda?" tanya Vero yang begitu antusias, sekaligus masih belum percaya dengan jawaban bundanya.
"Iya, Vero … bunda dan ayah akan mengajakmu pergi berlibur, karena kamu sudah besar, jadi ayah dan bunda akan mengajakmu pergi ke berlibur," ucap bundanya.
Vero pun tersenyum sangat lebar setelah mendengar ucapan bundanya.
"Terima kasih, bunda … aku sangat menyayangi ayah dan bunda," ucap Vero yang masih sangat polos, sambil memeluk bundanya, yang kemudian disusul dengan pelukan ayahnya.
"Jadi … mau berlibur kemana?" tanya Ayah Vero.
"Tidak tahu … apa aku boleh melihat peta dunia untuk menentukannya?" tanya Vero yang begitu polosnya, namun terlihat sangat cerdas.
Ayah dan Bunda Vero langsung melepaskan pelukan mereka, kemudian tersenyum kepada Vero, karena Vero benar-benar sangat menggemaskan.
"Tentu saja, kalau begitu kita akan pergi ke ruang kerja ayah, untuk melihat bola dunia," ucap Bunda Vero.
"Yeay! Ayo ke sana sekarang," teriak Vero dengan begitu antusias.
Kemudian Vero beserta kedua orang tuanya, pergi ke ruang kerja ayahnya, ruangan itu penuh dengan buku-buku dan berkas-berkas penting milik Ayah Vero.
Tidak heran jika Vero kecil jarang diperbolehkan masuk ke ruangan itu, jika tidak ada yang mengawasi.
"Ini dia, bola dunia yang kita cari," ucap Ayah Vero, sembari menurunkan bola dunia itu, ke meja yang lebih pendek, agar Vero bisa lebih mudah untuk melihatnya.
Vero menatap bola dunia dengan penuh antusias, ia memutar-mutar peta yang berbentuk bola itu, yang dimana terdapat benua, Negara dan pulau-pulau terpencil yang bisa Vero lihat di sana.
"Apakah sudah menentukan, ingin kemana, Vero?" tanya bundanya.
Vero menganggukkan kepala dengan antusias, sebagai jawaban untuk pertanyaan bundanya.
"Jadi ingin pergi ke mana?" tanya bundanya penasaran.
Kemudian Vero menunjuk salah satu bagian dari provinsi yang ada di negaranya. Ia tersenyum kepada orang tuanya.
Ayah dan bundanya mengerutkan keningnya, bingung.
"Ayah dan bunda mengira, jika kamu ingin pergi ke luar negeri, sayang … apakah kamu tidak salah menunjuk tempat?" tanya bundanya.
Vero melihat kembali titik peta yang ia tunjuk, namun ia tidak menemukan kesalahan dalam menentukan tempat berlibur.
"Tidak, bunda … aku memang ingin berlibur ke sini," jawab Vero, sambil kembali menunjuk titik peta tempat yang ingin kunjungi.
Ayah dan bundanya kemudian saling beradu pandang, sambil tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu … saat ulang tahunmu kita sudah berada di sana," ucap ayahnya.
Vero pun tersenyum mendengar ucapan ayahnya, kemudian ia memeluk erat kedua orang tuanya.
Flashback off…
"Ayah … bunda … aku rindu," ucap Vero lirih, sembari menatap foto kedua orang tuanya yang ia pegang begitu erat.
"Vero tidak sekuat seperti ayah dan bunda kira, Vero menjadi anak yang penuh dengan ketakutan, takut kehilangan apa yang Vero sukai dan sayangi," ucap Vero, seolah sedang berbicara dengan kedua orang tuanya, meskipun hanya melalui foto.
"Aku takut kehilangan orang-orang yang aku sayangi, setelah kehilangan ayah dan bunda," ucap Vero, yang tanpa sadar menjatuhkan air matanya di bingkai foto yang ia pegang.
"Ayah ... bunda … aku ingin kuat seperti kalian, aku ingin merasakan kebahagiaan seperti dahulu, saat ayah dan bunda masih bersamaku," ucap Vero, yang air matanya semakin deras.
Kemudian Vero memeluk bingkai foto itu dengan erat.
"Andai ayah dan bunda masih bersamaku, aku ingin menceritakan semuanya kepada kalian, aku ingin kalian mendengarkan semua cerita dan keluh kesahku," ucap Vero dengan suara yang sumbang, karena menangis.
Namun, tiba-tiba ponsel Vero berdering, dan muncul nama Paman Jelek di layar ponselnya, Vero yang melihat itu pun, langsung mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya.
Ia memastikan wajahnya agar tidak terlihat seperti habis menangis, karena ia tidak mau pamannya memikirkan dirinya.
Vero segera menjawab panggilan video itu, dan kini sudah ada wajah pamannya di layar ponselnya, seperti biasa, Vero memasang wajah datar, tanpa senyuman di wajahnya.
"Hai, Vero … apa kabarmu?" sapa Rudolf dengan ekspresi yang begitu antusias.
Sedangkan Vero, berusaha mengembangkan senyuman di wajahnya, meskipun terlihat begitu terpaksa.
"Baik, paman … bagaimana denganmu?" jawab Vero, kemudian balik bertanya kabar pamannya itu.
"Aku tidak terlalu baik, karena begitu merindukan keponakanku," jawab Rudolf dengan terkekeh.
Vero hanya menampilkan senyum terpaksa di wajahnya, sehingga membuat Rudolf memperhatikan wajah Vero, yang terlihat seperti habis menangis.
"Apakah kamu habis menangis, Vero?" tanya Rudolf, dengan wajah serius.
Vero mengubah ekspresinya menjadi wajah datar lagi, tanpa senyuman di wajahnya.
"Tidak, paman … mana mungkin aku menangis," jawab Vero, berbohong kepada Rudolf.
"Apakah kamu menangis karena merindukan paman?" tanya Rudolf, dengan nada bercanda.
Namun, Vero tidak menjawab pertanyaan pamannya itu, ia hanya memasang wajah datarnya yang begitu akrab di wajah Vero.
Kemudian Rudolf yang melihat Vero sedang berada di kamarnya, sendirian tanpa ditemani oleh Kirana pun, langsung menanyakan keberadaan Kirana kepada Vero.
"Apakah Kirana tidak menemanimu di rumah, Vero?" tanya Rudolf, penasaran.
Vero terlihat kaget saat mendengar pertanyaan pamannya itu.
Vero terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang harus ia sampaikan kepada pamannya itu, mengenai Kirana, karena tidak mungkin Vero mengatakan jika dirinya sedang memiliki masalah dengan Kirana.
"Hei, Vero … kenapa kamu diam saja? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rudolf memastikan keadaan Vero.
Vero langsung tersadar dari lamunannya.
"Ah, iya paman … Kirana hari ini sedang tidak bisa kemari, jadi aku hanya di kamar saja, lagi pula, sejak kemarin Kirana sudah menemaniku, jadi … biarkan dia menikmati waktunya sendiri hari ini," ucap Vero, kembali berbohong kepada pamannya.
Rudolf menganggukkan kepalanya, mempercayai ucapan Vero, yang sama sekali tidak mencurigakan.
"Kalau begitu bagus, jangan sampai kamu membuat Kirana marah, karena ia sudah berbaik hati mau menemanimu dan menjagamu, dia anak yang baik, Vero…." ucap pamannya, menasihati Vero.
Vero yang mendengar itu pun, teringat dengan Kirana yang memanglah sangat baik kepadanya sejak ia pertama kali bertemu dengannya.
"Baiklah, paman … aku akan lakukan itu," jawab Vero, meskipun sebenarnya ia sedang bermarahan dengan Kirana.
"Paman tahu jika kamu anak baik, jadi paman percaya jika kamu akan baik-baik saja meskipun paman meninggalkanmu untuk sementara waktu," ucap Rudolf.
"Apakah paman masih lama di sana?" tanya Vero.
"Satu minggu lagi paman akan pulang, jadi … jangan khawatir, sebentar lagi kamu bisa melihat pamanmu yang sangat tampan ini," jawab Rudolf dengan rasa percaya dirinya.
Vero hanya menggelengkan kepalanya, mendengar jawaban pamannya yang sangat berlebihan itu.
"Baiklah kalau begitu, paman akan pergi bekerja, jadi … kamu harus baik-baik di sana, jangan membuat masalah," ucap Rudolf yang akan mengakhiri panggilan video tersebut.
Vero menganggukkan kepalanya, mendengar nasihat pamannya.
"Baiklah," jawab Vero singkat.
"Kalau begitu, paman tutup teleponnya," ucap Rudolf, lalu mematikan sambungan telepon itu.
Kemudian Vero menghela napasnya, ia sudah berbohong kepada pamannya tentang keadaannya, namun Vero tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak begitu, pamannya akan menjadi terganggu memikirkan masalahnya.
Sehingga lebih baik jika Vero berbohong kepada pamannya.