Rasanya belum lama ini kita semua berada di jalanan bersama, membuat musik, terbuang percuma, dan tidur dengan wanita yang berbeda setiap malam. Namun sekarang di sinilah mereka, jatuh cinta. Tenang, saatnya untuk memulai babak baru dalam hidup ini. Sedangkan aku, aku masih mencoba untuk menghidupkan kembali tahun-tahun lama yang sama dengan tahun ini, hanya sekarang arah-arahnya mulai kabur.
"Hei," Dinda, istrinya Donny berkata sambil menyentuh bahu ku. Aku sedang duduk di sudut menyaksikan semua orang menari dan merayakan hari berbahagia Bob dan Sasy. "Bisakah lu memegang Rossa saat gua pergi ke kamar mandi sebentar saja? Gua tidak dapat menemukan Donny ke mana pun di setiap sudut ruangan ini karena terlalu rame ."
Sangat menyenangkan bertemu dengan Dinda dan Donny. Kami tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama karena band berpisah dengan mereka yang tinggal di berbagai pelosok negeri.
"Um…"
"Dia berumur dua bulan, Dit. Dia tidak akan menyakitimu." Seru Dinda tersenyum.
"Oh, tentu saja...oke." Kataku mengulurkan tangan dengan ragu untuk mengambil bayinya. Saat menggendong Rossa yang masih bayi, aku memutuskan untuk menganggap diri ku sangat beruntung karena dia tidak meminta ku untuk menjaga Prisila, putri sulung mereka. Prisila bisa berjalan, jadi setidaknya Rossa tidak bisa melarikan diri dariku.
Saat Dinda menghilang, aku terus memeluk Rossa dengan tangan terulur dan aku hanya menatapnya, bertanya-tanya apa yang harus kulakukan dengannya.
"Ummmm, hei gadis kecil." Aku tersenyum canggung saat berbicara dan kemudian aku merasakan tubuh mungilnya bergetar di tanganku. "Oh sial. Tidak, tidak, ssssst. Jangan menangis." Brengsek, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku mulai menyanyikan lagu sedang ingin bercinta yang di nyanyikan oleh The Rock untuknya. Aku rasa dia tidak menyukainya, mengingat aku hampir tidak menyukai paduan suara ketika dia mulai berteriak begitu keras hingga aku pikir wajahnya yang merah cerah akan meledak.
"Lu baik-baik saja?"
"Rain, terima kasih. Tolong gua! Bayi ini tidak akan diam. Gua berpikir kalau gua udah menyakitinya."
Rain langsung duduk di sampingku dan memeluk Rossa. Rain membawa Rossa ke dadanya, menggendongnya seperti dia benar-benar tahu apa yang dia lakukan.
"Ini dia." Bisik Rain, mengayunnya dengan lembut dari sisi ke sisi. Hebatnya, dia berhenti menangis. "Apakah kamu menyusahkan Paman Radit ku, ya, gadis cantik?"
"Baik. Bagaimana lu bisa melakukan itu?"
"Lu menggantungnya di udara. Dia mungkin ketakutan." Kata Rain sambil tersenyum pada Rossa.
Aku benar-benar tak habis pikir melihat kelakuan Rain seperti mengerti banyak dari ku. Rain terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hati ku menjadi bergetar dan terkejut melihat perubahan ini. Apa yang terjadi dengan adikku ini.
"Yah Din... Dinda tidak memberitahu gua bahwa gua perlu memeluknya seperti itu." Protesku, mengambil gelas kosongku dari meja. "Gua mau isi gelas ini dulu. Lu mau?"
"Tidak, terima kasih."
Sambil mengangkat bahu, aku berdiri dan berjalan ke stand makanan yang ada di pesta. Aku berencana untuk tetap di stand ini selama acara ini berlalu.
"Radit?"
Aku mendengar nama ku di panggil, tetapi aku meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah halusinansi dari lamunan yang aku alami.
"Dit?" Bahuku yang diguncang lebih sulit untuk diabaikan. Aku mengupas mata ku untuk terbuka, dan melihat Rain melayang di atas ku. "Ayo, abangku yang ganteng. Waktunya untuk pergi."
"Ugh." Gerutuku sambil menyipitkan mata. Aku memandang sekeliling ruangan untuk melihat, dan aku terbaring di tumpukan kusut di tepi lantai dansa. Selain beberapa wanita tua yang bergumam, kami adalah satu-satunya yang tersisa. "Jam berapa?"
"Jam satu pagi. Lu tidur sekitar satu jam yang lalu, tepat setelah lu tidur dan orang-orang akan menutup acara ini."
"Oh sial." Orang-orang dan aku seharusnya menyanyikan lagu terakhir. "Apakah Sasy marah?"
"Tidak. Gua rasa dia tidak memperhatikan yang lainnya di atas panggung. Terlalu sibuk menatap Bob. Lu bersiaplah untuk bangun?"
Ruangan itu berputar di sekitarku. "Tidak."
"Banguuuun. Ayolah."
Rain menurunkan lengannya ke arahku dan aku meraih pergelangan tangannya, menggunakan kekuatannya untuk membantuku mengangkat diriku.
"Ugghh ... Rain, gua rasa lu mau melempar gua."
"Isshh yang benar aja lu." Gumamnya sambil menarik lenganku. "Tahan sampai kita mencapai kamar mandi."
Dia menarik ku melalui pintu ganda dan membawa ku sepanjang koridor ke kamar mandi. Aku mulai mencuci wajah dengan satu tangan di punggungku, Rain mendorong ku ke depan menuju wastafel tempat aku mencuci muka yang tampak kusam dan berantakan.
"Gua tidak berpikir akan berhasil kembali ke rumah. Bisakah Lu mencoba dan memboking kamar untuk malam ini?" Tanyaku, dengan mata yang sangat berat dengan tangan di atas lutut.
"Sudah gua boking. Lantai Sebelas."
"Bukan yang teratas?"
"Alex dan Zack yang memboking seluruh lantai atas."
"Bajingan."
"Gua khawatir Lu tidak dalam posisi untuk banyak menuntut malam ini. Selain itu, Lu akan tertidur dalam beberapa detik setelah berbaring. Lu bahkan tidak akan memperhatikan kamar itu. Ayo sini."
Aku mendongak untuk melihat Rain mengulurkan handuk kertas basah untukku. Aku menegakkan tubuh dan mengambil darinya, lalu menepuk-nepuk wajah dan leherku.
"Gua sudah terlalu tua untuk omong kosong ini."
"Berhentilah mengasihani diri sendiri. Lu udah siap untuk berjalan ke kamar?"
"Kamar gua? Di mana kita tinggal?"
"Mereka hanya punya sisa dua kamar. Jadi gua udah boking salah satunya."
"Oh sial ..." Aku berbalik tajam, aku mulai merasakan sakit di kepalaku karena kurang tidur. Setelah aku berusaha untuk lebih kuat dan menahan sakit di kepalaku, Rain memberi ku handuk bersih dan aku menyeka wajah sampai kering. Kami harus pergi sekarang atau aku akan berada di sini untuk malam ini.
Sepertinya butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke kamar kami. Ujung koridor tampak semakin menjauh dengan setiap langkah yang aku ambil. Kepalaku terasa seperti terperangkap dalam gerakan buruk, menegang di setiap gerakan. Rain benar, aku tidak akan peduli dengan jenis kamar yang aku akan tempati. Ketika aku berjalan melewati pintu kamar, satu-satunya hal yang dapat aku lihat adalah sofa merah mewah di bawah jendela. Aku berpikir kalau akumendengar Rain menggumamkan sesuatu di sepanjang sudut kamar. "Kamar tidur lewat sana." Tapi aku sudah meringkuk seperti posisi janin dalam perut di atas sofa.
Aku tak dapat lagi memikirkan apapun selain membaringkan tubuhku ke atas sofa, meskipun Rain telah mengingatkan jalan menuju kasur yang empuk.
"Kenapa lu tidur di sofa, kasur nya di situ." Seru Rain yang terdengar samar-samar.
"Gua ngantuk sekali, kepala gua pusing seperti gua telah meminum obat tidur. Berat sekali mata gua ini." Kataku pelan menikmati sofa yang empuk. "Selamat malam, adikku yang tampan." Kataku dan tertidur sebelum Rain bisa menjawab .