Selamat malam Radit. Aku mengulangi kata-kata itu dalam pikiran ku. Radit adalah Kakak laki-lakiku. Juga seperti sahabat bagi ku. Aku takjub betapa dekatnya kita sejak dia membesarkan ku seorang diri. Itu adalah persahabatan yang tidak pernah orang miliki selain aku. Maksudku, dia seperti bintang dalam hidupku. Dia juga seperti seorang wanita yang lembut saat perhatiannya begitu besar pada ku. Atau seperti teman yang juga sering berantem dan aku kadang memanggilnya bodoh. Masalahnya kadang-kadang aku tidak bisa tidak menganggapnya sebagai saudara ku, dan itu membuatku takut. Dia tidak pernah bisa menjadi milikku dan aku tahu itu, tapi bukan berarti aku tidak bisa bermimpi. Ada seribu alasan mengapa itu tidak akan berhasil. Hubungan ini tidak ada di sejarah manapun untuk salah satu dari kita dan tentu saja fakta dia selalu jujur.
"Lu konyol." Bisikku pada diriku sendiri ketika aku mendapati diriku menatapnya meringkuk di sofa.
Setelah melepaskan sepatunya, aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal sebelum menuju kamar mandi tempat aku membersihkan badan hari ini dan membuang pikiran tidak senonohku tentang Abangku. Aku merasa segar sehabis mandi dan membawa diriku ke kamar tidur, menjatuhkan diri di tempat tidur ganda dan menyalakan TV, menonton tayangan ulang Film Horror sampai aku tertidur.
SATU BULAN KEMUDIAN…..
"Sial, maaf." Gumamku kepada Radit sebelum bergegas keluar dari kamar setelah menemukan bola dalam balutan rambut cokelatnya. Aku memiliki kunci dan kode akses saat membuka lemari khususnya, tetapi sebenarnya aku harus belajar, tentang bagaimana berjalan tanpa pemberitahuan. Ini adalah keempat kalinya dalam dua minggu aku berjalan mendekatinya meniduri pacarnya Angel. Awalnya membuat dadaku sakit tapi sekarang membuatku marah. Di pernikahan Bob dan Sasy, dia ingin mengubah hidupnya. Temukan stabilitas dan sebuah tujuan. Tetapi sejak kami kembali, dia menghabiskan sebagian besar malamnya dengan sia-sia dan hari-harinya meringkuk telanjang di samping pacarnya.
Kenapa kamu peduli? Aku bertanya pada diri sendiri pertanyaan yang sama setiap hari namun aku masih belum menemukan jawaban. Ini adalah Radit saudara laki-lakiku kandung. Dia tidak berubah sama sekali, jadi mengapa tiba-tiba hal itu penting? Mungkin aku yang akan berubah. Mungkin aku lelah melihatnya menyia-nyiakan hidupnya. Mungkin aku tidak ingin melihatnya menjadi orang tua yang kesepian. Maksud ku suatu hari pasti akan datang ketika penampilan dan ketenarannya memudar dan fakta bahwa dia punya uang tidak akan cukup menjadi insentif bagi siapa pun untuk bertahan.
Atau mungkin karena aku jatuh….
Tidak. Tidak. Tidak mungkin pikiranku bisa seperti itu.
"Maaf, Rain." Kata Radit, menarik ritsletingnya saat dia menuruni tangga spiral di belakang ku.
"Tidak perlu menyelesaikan pekerjaan gua." Aku meraih jaket dari bagian belakang bangku yang kutinggalkan ketika pulang dari bengkel semalam, aku mengaitkannya ke jariku dan melemparkannya ke bahu, berbalik untuk pergi.
"Lu marah pada gua. Kenapa Lu marah pada gua?"
"Gua tidak marah. Gua hanya ingin cepat sampai ke bengkel, harus berangkat kerja lebih awal dan itu sebabnya gua datang ke kamar lu, untuk memberi tahu bahwa gua tidak bisa nginap di sini malam ini."
"Uh, tidak masalah. Kita akan pergi keluar besok."
Aku sangat merasakan sakit mendengar kata-katanya. Sejak kami pulang dari pesta pernikahan Bob dan Sasy, Radit menjual rumah peninggalan orang tua kami karena keadaan keuangan menipis. Dan dari hasil penjualan rumah itu kami bisa membeli dua rumah kecil sederhana yang satu untuk Radit dan satunya lagi untuk ku. Dia juga membelikan aku sebuah mobil bekas. Mobil sedan biasa tapi cukup lumayan untukku bisa melangkah kemana-mana.
Awalnya aku menolak untuk tinggal terpisah, tapi ini juga untuk kebaikan kita agar bisa mandiri dan dia bisa bebas bersama pacarnya.
Radit berada beberapa inci dariku, dadanya yang kencang dan terbuka membuatku ngiler dan menampar diriku dengan mimpi di siang bolong. Mata birunya menusuk ke mataku saat dia menatapku seperti dia berpikir 'Apa masalah Lu?' Yah, aku tidak tahu apa masalahku, hanya saja aku ingin mencakar mataku sendiri karena semua yang aku bisa lihat setiap kali aku berkedip adalah pantat Radit terayun-ayun di atas gadis yang ku benci itu.
"Tunggu, apa lu… apa lu cemburu?" Bajingan ini benar-benar menertawakanku.
"Apa-apaan ini. Gua harus pergi."
Aku berbelok tajam lalu meninggalkan Radit, berlari ke arah mobilku secepat yang diizinkan kakiku. Aku sedang dalam mood yang buruk. Aku tidak terlalu tahu mengapa, atau setidaknya aku tidak akan mengakui alasannya pada diri ku sendiri, dan suasana hati itu tetap ada dalam diri ku, menyeret ke bawah seperti batu besar yang tergantung di leher ku, selama sisa hari ini.
Keesokan harinya aku berencana untuk membatalkan janji dengan Radit lagi, tapi kemudian aku memaksa diri untuk mengatasi kesal kekanak-kanakan ku dan menuju ke tempatnya seperti yang kita sepakati. Namun, aku tidak berminat untuk berpesta satu malam lagi, atau lebih tepatnya, menonton Radit terbuang percuma dan meraba-raba sebanyak mungkin pacarnya yang membiarkannya sebelum membawa pulang salah satu dari mereka dan meninggalkan aku sendiri. Jadi, aku pergi ke toko saat dalam perjalanan dan mengambil bahan-bahan untuk kami membuat makan malam.
"Lu pergi berbelanja?" Kata Radit, menyatakan hal yang jelas ketika dia membuka pintu. "Dan mengapa Lu tidak menggunakan kunci duplikat rumah ini?"
"Karena setiap kali gua melakukannya, gua biasanya mengganggu sesuatu yang tak bisa di ganggu." Kataku, melangkah melewatinya dan berjalan ke dapur. Aku meletakkan tas belanjaan di samping, tersenyum pada permukaan granit yang masih asli.
"Jadi ada apa dengan belanjaannya?" Tanya Radit, mengabaikan leluconku.
"Gua akan membuat makan malam. Kupikir gua bisa menginap di sini malam ini."
"Tentu. Lagi pula gua lagi sakit kepala."
"Apakah Lu membutuhkan obat sakit kepala?
"Tidak." Kata Radit, menggelengkan kepalanya. "Ini akan berlalu. Jadi, apa yang kita punya?" Dia bertanya, mengintip ke dalam tas dengan rasa ingin tahu.
"Iris daging sapi dan cabe dengan bawang, kentang, sayuran dan saus. Boy menunjukkan pada gua bagaimana cara membuatnya sekali."
"Boy? Boy bisa memasak? "
"Rupanya dia ingin menjadi koki pada suatu waktu." Kataku, meletakkan bahan-bahan di atas meja.
"Koki. Bintang porno. Koki. Bintang porno. tidak, gua tidak melihat kesamaan."
Setelah satu menit terdiam, dia bersandar di meja, lengannya terlipat di depan dadanya, dan menatapku dengan rasa ingin tahu. Radit memperhatikan dengan seksama saat aku mulai memasak makan malam, mengikutiku berkeliling dapur dengan matanya dan membuat campuran suara 'hmm' dan 'huh'. Aku bahkan berhasil membuatnya membantu mengaduk beberapa kali, meskipun, dia tampak meremehkan ku karena dia memang jago memasak.
"Lu ingin jadi apa saat masih kecil? Tidak ada anak yang bermimpi bekerja di bengkel."
Aku melihat ke langit-langit, seperti menyimpan jawaban untukku. "Ketika gua masih sangat kecil, seperti kebanyakan anak-anak, gua ingin menjadi penyanyi. Tapi kemudian gua menyadari kalau tidak bisa bernyanyi dan semuanya ternyata omong kosong."
"Gua tahu." Kata Radit, mengejek. "Gua telah mendengar lu."
"Kemudian gua ingin menjadi dokter hewan. Gua menyukai binatang. Gua belajar sangat keras di sekolah agar gua bisa masuk perguruan tinggi."
"Jadi apa yang terjadi?"
Aku mengangkat bahu. "Yah inilah Kehidupan, kita tidak memiliki biaya dan memutuskan untuk tidak kuliah lalu membuka bengkel. Padahal gua ingin sekali pergi dari satu negara ke negara bagian lain. Bekerja di beberapa kedai kopi, toko perangkat keras, beberapa toko pizza. Tapi yaaah..., ini hanya bisa jadi hayalan. "
"Mengapa?"
"Yah lu tau sendiri kan." Kataku, memaksakan senyum. Aku tidak siap untuk berbagi alasan ku dengan Radit, atau dengan siapa pun. Aku telah melalui begitu banyak perjalanan hidup bersama Radit. Tapi sejak aku pindah dan memiliki rumah sendiri, banyak hal-hal yang telah mengubah hidup ku, mengubah arah masa depan ku, dan satu-satunya cara untuk dapat menghentikan mereka menghancurkan ku sepenuhnya adalah dengan merahasiakannya.
Radit mematahkan lehernya sampai berbunyi dua kali. "Jadi apa tujuan hidup lu sekarang?"