Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 24 - Antara Kisah

Chapter 24 - Antara Kisah

Dunia tak akan selalu berpihak pada kita. Karena jika kita terlalu larut dalam kebahagiaan, maka kita sendiri tak akan tahu di tempat mana dan bagaimana caranya agar bisa menyelami kehidupan yang sebenarnya.

Kehadiran seseorang tak akan selamanya memberikan cinta.

Ada kalanya mereka hadir, sebagai cara untuk mencari tempat singgah yang sementara.

Kita tidak tahu keseriusan orang itu seperti apa. Yang kita tahu, adalah bagaimana cara kita menghadapi mereka yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan dengan baik.

Cinta tidak bisa terelak saat keduanya sudah menjalin kebersamaan sejak lama. Masing-masing memiliki caranya tersendiri untuk menyembunyikan rasa itu dengan dalih tidak mau perasaannya diketahui oleh siapapun.

Karena jika dalam pertemanan sudah ada rasa, maka akan ada dua pilihan yang mau tak mau harus kita terima; bersatu merubah hubungan dan berpisah karena keegoisan.

Ya.

Tidak ada yang bisa kita hadapkan selain menerima takdir.

Sama seperti Balqis saat ini.

Meskipun dirinya telah diakui sebagai salah satu wanita yang famous karena kecantikannya, tapi hati dirinya sama sekali tak terpaut pada pria-pria yang memiliki rupa tampan ataupun uang berlimpah.

Tak terbesit sedikitpun rasa dalam hatinya untuk menaruh cinta pada mereka. Sebab apa? Balqis tahu orang-orang yang mencintai itu hanya karena memandang fisik. Bukan benar-benar berasal dari hati yang terdalam.

Bagi dirinya, cinta adalah sebuah ilusi yang tidak bisa merasakan sejauh ini ketika berhadapan dengan seorang pria.

Rasanya ada banyak benih-benih kisah lampau yang membuat dirinya tidak bisa merasakan dengan indah bagaimana dari kenikmatan cinta itu sendiri.

Kehidupan memberi tekanan batin bagi dirinya hingga tidak bisa merasakan kenikmatan itu. Cinta, cerita dan sesak membuat dirinya merasa tidak bisa menghela nafas dengan lega saat ada banyak orang yang menganggapnya berbeda daripada orang lain.

Dia tidak mau diistimewakan melebihi kapasitas orang-orang yang ia miliki. Dia hanya ingin diperlakukan sama seperti orang-orang memperlakukan teman-teman sekeliling Balqis.

Apakah hal itu..., terlalu sulit untuk dilakukan?

"Dari tadi, aku selalu ngeliat kamu murung terus. Kenapa?" tanya Zaid ketika dia mendapati Balqis sedang duduk di balkon rumah pohon.

Balqis mengusap air mata di ekor matanya. "Aku kasihan sama Mahes, Zaid."

"Kasihan karena apa?" Zaid ikut duduk di depannya. "Apa ada orang yang menyakitinya lagi?"

Gadis itu menggelengkan kepala. "Tidak ada. Aku hanya kasihan melihat dia yang selalu diam tatkala kita bersenda gurau. Contohnya saja tadi. Kamu bisa lihat betapa sedihnya wajah Mahes saat dia tidak bisa bersahut-sahutan dalam berbicara. Mungkin..., sekelibat ada rasa di dalam hatinya untuk ingin mengobrol juga dengan kita. Tapi dirinya sendiri tak mampu melakukan hal itu."

Zaid tersenyum kemudian melemparkan pandangan ke arah pepohonan yang rindang dan indah.

"Dulu sebelum kamu datang ke sini," ujarnya kemudian. "Mahes adalah tipikal pria yang senang menyendiri. Dia jarang ikut kumpul dengan anak-anak lainnya. Bukan karena tak mau. Aku tahu kalau dia ingin sekali ikut bergabung dengan mereka. Tapi Balqis, keterbatasan yang mampu membuat dirinya seperti itu. Dan aku. Aku satu-satunya orang yang selalu menjadi tempat keluh kesah kesedihan dirinya. Mahes tak pernah bercerita pada orang lain apalagi Bu Anita. Dia hanya berani mencurahkan segala isi hatinya kepadaku saja."

Balqis mengerutkan kening. "Dengan apa Mahes bisa bercerita kepadamu?"

"Isyarat." jawab Zaid yang seketika membuat Balqis mengerti. "Sama seperti saat dia mulai berbicara pada kamu kala itu."

"Tapi apa kamu paham dengan apa yang dia ucapkan?"

"Tentu saja." Zaid terkekeh. "Tapi terkadang aku juga sedikit bingung kalau dia mengatakan suatu hal yang menurutku asing. Karena tak mau membuatku berpikir panjang, Mahes selalu mengambil papan tulisnya dan menuliskan kata itu."

Balqis ikut lega saat Zaid mengatakan hal itu. Hatinya mulai tenang karena rasa khawatirnya saat ini terhadap Mahes sudah mulai berkurang.

Ternyata masih ada banyak orang yang menyayangi Mahes dengan tulus. Salah satunya, Balqis dan Mahes sangat beruntung karena bisa dipertemukan dengan yayasan Bunda Kasih ini.

"Kamu kenapa, Qis?" tanya Zaid sejurusnya. "Kayak ada suatu hal yang buat kamu bahagia."

"Sebenarnya aku ada satu informasi buat kamu. Tapi aku belum berani cerita semuanya sama Mahes."

"Oh ya?" Zaid memperjelas. "Apa itu?"

"Beberapa hari yang lalu, aku nanya sama ayah  tentang anak yang bisu gitu. Terus di situ aku tanya apa orang yang bisu bisa sembuh?"

"Terus, jawaban ayah kamu apa?" tanya Zaid antusias.

Balqis mengecek keadaan dalam rumah pohon untuk memastikan keberadaan Mahes.

"Mahes tadi turun dulu ke bawah dipanggil Bu Anita." ujar Zaid seperti sudah mengerti.

"Oh..." Balqis manggut-manggut kemudian kembali mendatangi Zaid.

"Kenapa?"

"Jawaban ayah sama sekali engga aku duga."

"Oh ya? Memangnya apa?" Zaid semakin penasaran.

"Ternyata, Mahes bisa sembuh."

Wajah pria itu seketika berubah. Dia ternganga tak percaya saat mendengar apa yang dikatakan Balqis.

"Qis, kamu jangan bohong sama aku."

"Aku enggak bohong sama kamu, Zaid. Aku bilang bener. Ayah aku udah nanyain ke salah satu temannya yang dokter dan ternyata Mahes bisa sembuh."

"Ya Allah. Aku engga nyangka banget." Mata Zaid berkaca-kaca. "Tapi, caranya gimana?"

Balqis tersenyum. "Ada."

"Tapi kenapa kamu nggak cerita aja sama-sama Mahesa?"

"Aduh jangan dulu deh, Zaid. Kebetulan kan sebentar lagi dia ulang tahun, jadi aku bakal ngomong semuanya ke dia pas ulang tahun. Gimana?"

Zaid mengangguk cepat. "Aku setuju."

Bagi Zaid, baru kali ini dia mendapatkan sebuah kabar yang begitu membahagiakan.

Dia tahu Mahes itu bukan siapa-siapanya. Bukan saudara ataupun kakak. Mereka hanya sebatas teman saja.

Tapi yang paling membuat pertemanan mereka semakin erat, adalah sikap keduanya yang selalu bisa memahami karakter masing-masing dan melengkapi kekurangan dari pertemanan itu.

Tidak ada kebahagiaan yang bisa Zaid utarakan lagi selain benar-benar merasakan bagaimana bahagianya nanti seorang Mahes mendapat kabar seperti ini.

Dia terdiam sambil terus membayangkan bagaimana bahagianya wajah seorang Mahes saat bisa bicara. Semua itu sungguh kebahagiaan yang tidak bisa diutarakan lewat apa pun.

"Kok kamu nangis?" tanya Balqis kemudian.

Zaid tersenyum. "Aku nggak bisa ngebayangin gimana senangnya Mahes saat dengar kabar ini. Aku juga nggak bisa ngebayangin gimana senangnya Bu Anita dan anak-anak panti di sini saat tahu kalau nanti Mahes bisa bicara. Aku nggak bisa ngebayangin itu semua, Qis. Makasih banyak. Kamu udah banyak nolong kita di sini."

"Tak masalah Zaid. Justru aku yang sangat berterima kasih banyak kepada kalian semua karena udah nerima aku di sini. Kalian semua seperti keluarga kedua bagi aku. Aku bangga bisa bertemu langsung dengan orang-orang yang kuat dan hebat seperti kalian."

Zaid tersenyum. "Semoga pertemanan kita sampai surga, ya."

Balqis mengangguk mantap. "Aamiin."

...