Chapter 41 - Tujuh Hari

Keduanya tetap berada di rumah. Andi sendiri tidak apa-apa, tidak ada masalah serius, namun rumah keluarga Yenny sudah tergenang air. Rumahnya di Belo berada di daerah ramai, yang sebenarnya adalah bagian kota tua. Sistem saluran airnya tidak sama seperti daerah yang lebih baru. Dan setiap kali hujan deras, pasti TV sudah menyiarkan air menggenangi jalan-jalan daerah Belo.

Kakak Yenny, Sinta, bercanda di telepon, "Andi sial sekali. Padahal, dia sudah berhasil diliput oleh majalah dan mengikuti momentum."

"Bisa-bisanya, bercanda di saat seperti ini. Tapi sepertinya keadaan di sana tidak serius." Andi ingin menenangkan istrinya. Dia tidak ingin Yenny bosan juga. "Tidak apa-apa! Di sini hanya jadi lebih banyak tikus, dan polisi panik di mana-mana."

Sambil memandang Yenny dengan malu, Andi menggaruk kepalanya, lupa bahwa istrinya hidup dalam keluarga yang berada. Berbeda sekali dengan dirinya.

Karena cuaca hari itu, keduanya tidak bisa bersantai.

Bukan hanya mereka berdua, namun juga beberapa keluarga lain di gedung itu, yang semuanya sudah berhasil kembali.

Karena air tanah masih mengalir dan tidak ada pemadaman listrik, Yenny, yang sudah mengingatkan suaminya semenjak kemarin, mulai mengkhawatirkan stok roti mereka!

Di sisi lain, Andi sedang duduk di sofa, menonton berita di TV dengan sangat fokus: keempat sungai utama di kota Sinan sudah penuh. Sisi-sisi jalan di daerah Linde sudah dibarisi karung-karung dan barang-barang untuk menghalau air. Meskipun keadaannya berbeda di daerah rumah mereka, mereka tetap merasa cemas.

Tepat pada saat itu, terdengar suara ketukan di pintu mereka. "Siapa itu?"

Yenny meletakkan rotinya dan membukakan pintu.

"Permisi, saya boleh minta gas? Hanya untuk memasak mie, itu saja!" Seorang lelaki dan seorang perempuan berdiri di depan pintu mereka; Zidan dan Tini, penghuni unit 501, yang juga merupakan pasangan muda. Mereka tinggal di gedung yang sama, dan Andi dan istrinya sudah pernah bertemu mereka beberapa kali. Tapi karena sibuk, mereka hanya bertemu di gerbang, atau di lorong, dan hanya saling sapa dan kenal wajah. Hari itu adalah pertama kalinya mereka bicara serius.

Zidan, seorang pria berusia tiga puluh dua tahun, adalah seorang penyanyi dan penulis lagu. Setelah merilis album pertamanya tiga tahun yang lalu, album tersebut terjual lima belas juta salinan dan langsung menduduki posisi ketiga dalam tangga lagu tahunan. Setelah tanda tangan kontrak kelas B dengan perusahaannya, dia menikah di tahun berikutnya. Saat itu, dia juga merilis album, namun penjualannya biasa saja, hanya satu juta salinan atau bahkan kurang dari itu. Kemampuan yang ditonjolkannya juga sudah stabil. Sekarang, dia fokus pada menulis lagu latar atau lagu tema untuk serial TV yang dinaungi perusahaannya. Istrinya, Tini, juga merupakan seorang artis yang dikontrak. Dia muncul di berbagai serial TV yang dinaungi berbagai perusahaan, terkadang bersama beberapa artis lainnya. Tapi adegannya tidak banyak, dan dia hanya muncul selama dua atau tiga episode; tapi ini masih lebih baik daripada tidak ada pekerjaan sama sekali. Keduanya membeli rumah tahun lalu, namun diberitakan di sebuah tabloid hiburan bahwa mereka tidak menyukai rumah itu dan kembali ke rusun.

Pasangan itu tidak banyak makan. Mereka seringkali memesan makanan untuk diantar, dan lebih sering makan di luar. Meski begitu, banyak rumah makan dan restoran tutup hari itu. Mereka bermaksud untuk memasak, namun mereka baru tersadar bahwa mereka kehabisan gas. Oh, mereka sudah menelepon agen gas, tapi mereka bilang untuk sementara ini, mereka tidak bisa mengirimkan gas, karena beberapa ruas jalan ditutup.

Mereka tidak berani mengganggu keluarga-keluarga lain yang tinggal di lantai atas. Kemudian, mereka teringat, ada pasangan muda di lantai bawah, jadi mereka datang untuk bertanya.

Bagaimana caranya meminjam tabung gas? Mudah saja melepaskannya dari selangnya, tapi sulit untuk memasangnya kembali! Yenny membiarkan mereka memasak di sana. Tapi mereka tidak ingin mempermalukan diri, jadi pada akhirnya, Andi menawarkan untuk membawakan tabung gasnya dan mengikuti mereka.

Keduanya merasa malu, tapi Andi tidak memikirkannya. Tetangga itu sama seperti keluarga jauh. Artis yang bisa memasak sendiri itu jarang.

Ternyata, tidak ada orang yang tinggal di lantai dua dan tiga di gedung tersebut, kecuali pasangan muda tersebut yang tinggal di lantai dua. Penghuni-penghuni lain tinggal di lantai lima dan enam. Tapi mengingat adanya lift, hal itu juga bisa dimaklumi.

Mereka hanya ingin meminjam gas siang itu dan mengembalikannya di sore hari. Tidak banyak, 'kan?

Zidan dan Tini sudah merasa malu. Yenny memanfaatkannya untuk berkata, "Apa kalian mau memasak di sini saja? Repot kalau memindah-mindahkan tabung gas."

Tini mengikuti Yenny ke dapur.

Zidan melihat tumpukan roti di atas meja di rumah Andi, dan tanpa berbasa-basi, dia langsung menanyakannya.

"Kenapa beli banyak sekali?"

"Itu dibeli kemarin. Kami takut tidak akan ada air atau gas, tapi ternyata tidak terjadi apa-apa."

Lalu mereka kembali diam.

Meskipun Zidan tidak mengatakan apa-apa pada Andi, dia tahu bahwa Andi adalah seseorang yang terkenal di perusahaannya. Tapi "tahu"dan "sering mengobrol" adalah dua hal yang berbeda. Masih ada "kenal" dan "berhubungan" di antaranya.

Dan Andi juga merupakan seseorang yang terkenal di antara artis-artis kontrak kelas C dari Cherry. Tanpa dirinya, isi perusahaan sebenarnya hanya orang-orang yang bekerja di TV. Lalu tiba-tiba muncullah seorang bintang film, yang tentu akan menarik perhatian. Meski sebelumnya ada Juniar, yang juga merupakan seorang aktor, dia terlalu dingin untuk diajak bicara. Tentu saja orang-orang lebih memilih seseorang yang bisa mereka ajak bicara.

Pekerja TV dan film ada di dua bidang yang berbeda, dan karena perusahaan tidak terlalu mengembangkan di bidang perfilman, aktor-aktor mereka tidak terlalu didukung. Segalanya bergantung pada kemampuan pribadi manager masing-masing, tapi perusahaan akan tetap membantu.

Perusahaan Film dan Televisi Cherry memfokuskan pada drama-drama seri di TV dan program-program lain di TV. Dulu, mereka lebih fokus pada program-program di TV 1, tapi sekarang mereka juga mengirimkan orang-orang mereka ke stasiun TV 2 dan Sinan TV. Stasiun-stasiun TV besar berkembang terlalu cepat, dan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain yang menangani program-program TV terjadi dengan sendirinya. Cherry sudah punya landasan di dunia film dan televisi, dan kerja sama dan jaringan mereka sudah banyak. Hal-hal menyangkut pelatihan seperti kelas-kelas, produksi drama, pengasuhan artis-artis dalam naungan mereka, semua itu termasuk dalam perjanjian kerja sama.

Kalau soal mengobrol, perempuan memang lebih hebat daripada laki-laki. Sembari memasak, Yenny dan Tini mengobrol dan tertawa-tawa.

Setelah memasak, Tini membawa mienya dan mengikuti Zidan kembali ke lantai atas.

Yenny memandang dengan penasaran. "Jadi? Kau mengobrol apa saja dengan Mas Zidan?"

Andi mengangkat bahu. "Tidak mengobrol apa-apa."

Hari itu hujan deras, dan agen gas tidak mau mengantarkan gas. Zidan dan istrinya ingin makan di luar, tapi supermarket bahkan tidak menyediakan banyak makanan. Beberapa bahkan tutup karena banjir. Di tempat-tempat yang tidak tergenang air, stok sudah habis diborong warga. Terutama makanan-makanan instan, yang bisa langsung dipanaskan di microwave; semuanya sudah habis. Zidan dan istrinya membeli banyak bahan makanan yang setidaknya hanya perlu direbus. Dan mereka juga punya penanak nasi, jadi mereka tidak perlu memikirkan soal nasi, dan mereka juga bisa memasak mie.

Kemudian, dengan tiba-tiba, listrik dipadamkan.

Tini dan Yenny baru saja membicarakan soal kerja sama dengan Andi.

Mungkin karena kedua wanita itu sedang mengobrol, para laki-laki di ruang tamu tidak bicara sama sekali.

Yang mengejutkan adalah, radio masih menyala. Mereka memasang dua buah baterai pada radio tersebut, dan terdengarlah suara sang penyiar, "Air yang menggenang di beberapa bagian kota mendesak perusahaan listrik daerah untuk melakukan pemadaman di beberapa bagian kota…."

"Kau masih menyimpan benda seperti itu?" Andi tampak tercengang. Dia sama sekali tidak terpikirkan akan hal ini.

"Apa lagi yang bisa kusimpan? Aku sudah biasa membawa ini!" Zidan melambaikan tangannya. "Sewaktu masih menjadi musisi jalanan, aku takut hidup sendiri. Pokoknya, aku selalu berpegang pada radioku ini! Setiap kali aku mendengarkan radio, aku bisa merasa ada. Jadi aku tidak kesepian!"

"..." Andi tidak tahu bagaimana harus menanggapi kata-kata yang sarat akan kisah hidup itu.

"Ah, ya sudah. Tidak usah dibicarakan. Tapi, Andi, usiamu masih dua puluhan, 'kan? Kenapa kamu sudah menikah? Menikah terlalu cepat dalam pekerjaan seperti ini bisa mempengaruhi masa depanmu!"

"Tidak mungkin. Kurasa aku tidak mungkin bisa berada di posisiku sekarang kalau tidak menikah dengan istri secantik itu," kata Andi dengan jujur. "Dia hamil waktu itu, jadi dia pasti kasihan kalau tidak menikah."

"Eh?! Kalian punya anak?" Zidan terkejut. "Yenny tidak terlihat seperti sudah pernah melahirkan anak!"

"Anakku tinggal di rumah orang tuaku, dan usianya satu tahun bulan depan! Rasanya aku ingin bulan depan segera tiba." Andi memilih untuk mengabaikan komentar soal tubuh istrinya.

Zidan terdiam, mengira bahwa Andi masih agak labil. Komentarnya tadi agak berlebihan. Zidan bergumam, "Uh, kami belum siap punya anak."

"Kenapa belum?" tanya Andi penasaran.

Zidan melirik istrinya dengan meyakinkan. "Dia masih ingin bekerja lebih lama. Kalau sudah punya anak, dia tidak akan diberikan kesempatan yang sama seperti sekarang." Setelah ZIdan mengatakannya, Andi sadar bahwa dia tampak tidak terlalu peduli. Apa dia pernah memikirkan karir istrinya?

Setelah mengobrol sebentar, kedua wanita di dapur membawakan makanan ke meja.

Setelah makan, Zidan dan istrinya kembali ke rumah. Tapi mereka meninggalkan radio itu, dan berkata bahwa mereka masih punya radio lain di rumah, jadi Andi dan Yenny dipersilahkan untuk menggunakannya.

Andi memegang radio itu dan bergunmam, "Orang itu benar-benar tidak mau berhutang budi, ya?"

"Memangnya kenapa?" tanya Yenny sambil menyeka tangannya usai mencuci piring.

"Tidak." Andi meraih tangan istrinya, memperhatikannya dengan jeli selama beberapa saat. Tangan itu tampak agak pucat. "Kamu lihat apa?" tanya Yenny dengan merasa aneh ketika tangannya ditarik.

"Mulai sekarang, tidak usah cuci piring lagi. Aku saja," kata Andi, membuat Yenny merasa terhibur.

"Ada yang salah denganku, ya? Kalau memang ada yang salah, ke depannya pasti sulit kalau kau mau makan di rumah, lho!"

"Aku sungguhan!" kata Andi dengan semangat.

"Ya, ya. Suamiku memang yang terbaik! Sini, peluk aku!"

Andi memeluk Yenny dan bertanya dengan hati-hati, "Sayang, kamu pernah memikirkan soal masa depan kita?"

"Masa depan? Sejauh apa?" Yenny memeluk Andi dengan semakin erat.

"Di masa depan, kamu mau terus bekerja di TV dan film?"

"Sebenarnya aku ingin tidur, tapi air ini tidak mau berhenti turun dari langit, sebentar saja. Astaga, keberuntunganku tidak sebagus kamu sekarang. Pasar sedang ramai, tapi aktris yang berpenampilan cantik sudah banyak. Maksudku bahkan pemeran wanita nomor 2, 3, dan 4 juga. Dan sekarang, kita juga bisa hanya tampil sesekali. Ada banyak sekali orang yang ingin berakting." Yenny tampak pasrah. "Meski dalam perjanjian, peran agensi sangat banyak, pada kenyataannya yang ditunjukkan padaku hanya sedikit. Dengan dua program yang sedang kukerjakan sekarang, aku melewatkan banyak wawancara program!"

"Maaf, ya," kata Andi pelan sambil menundukkan kepalanya.

"Dasar." Yenny mendongak dan tersenyum. "Kita berbeda dari Mbak Tini dan yang lainnya. Kita ini sudah berkeluarga dan punya anak, jadi kita tidak boleh terlalu egois! Ini namanya bersikap tanggung jawab. Inilah yang diajarkan kakak-kakakku. Lagipula, meski orang tuaku tidak melarangku menjadi aktris, kalau kau melihatku memainkan peran yang berlebihan, bisa saja kamu tiba-tiba meninggalkan aku! Nanti tidak mudah menjelaskannya pada orang tuaku[!"

Dengan seorang istri yang begitu cantik dan memesona, hal itu wajar. Heh. Jadi, Andi harus bekerja keras.

Mereka menyalakan radio dan mendengarkannya, sembari menyaksikan hujan yang seperti dituang di luar jendela. Selama beberapa saat, pasangan muda itu tetap diam.