Chereads / Simfoni Asmara Sepasang Bintang Jatuh / Chapter 42 - Tujuh Hari (2)

Chapter 42 - Tujuh Hari (2)

Andi bermimpi malam itu. Dalam mimpinya, dia dan Yenny menonton upacara anugerah penghargaan festival film TV dengan gembira. Di acara tersebut, Yenny memenangkan penghargaan aktris terbaik tahun tersebut. Para penggemar bersorak dan tersenyum, tapi Yenny, yang berada di sebelahnya, menangis dengan haru dan menyeka air matanya. Ketika Andi ingin menyeka air mata istrinya yang tampaknya tak ada habisnya, Andi dibangunkan oleh Yenny.

Yenny tampak khawatir. "Mimpi buruk?"

Andi mengangguk. Dia menyentuh punggungnya; basah.

Dari waktu ke waktu, Yenny memandang langit malam yang tampak kelam di luar jendela. Menempatkan kepala lelaki kecil itu di dadanya yang montok, diambilnya kain tipis untuk menyeka keringat suaminya itu tanpa merasa risih. "Sekarang aku akan memelukmu, dan kamu akan memelukku nanti."

Merasakan kulit Yenny di wajahnya, Andi mengangguk pelan.

Setelah beberapa saat, Andi, yang dipeluk oleh Yenny, membelai tangannya yang terasa agak dingin. Mendengarkan gemuruh guntur di luar rumah, hatinya merasa gelisah.

Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi semalaman.

Karena topografinya, daerah rumah mereka termasuk salah satu dari sedikit tempat di Kota Sinan yang tidak mengalami banjir. Tapi tempat itu juga menerima ratusan ribu pengungsi dari daerah lain dalam satu hari tersebut. Hotel-hotel besar dan bahkan hotel-hotel kecil penuh dengan pengunjung, tapi tiba-tiba, listrik dipadamkan.

Semua yang disediakan di supermarket sudah lama habis terjual. Di sepenjuru kota metropolitan itu, yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah kemacetan di beberapa jalan utama. Beberapa kota tetangga yang biasanya menyediakan komoditas untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk perkotaan kini mengalami banjir dalam berbagai tingkat. Bahkan pipa-pipa untuk mengalirkan air sudah dibawa ke tempat di dekat danau dan sungai di daerah-daerah di dalam kota. Ini secara langsung mempengaruhi kehidupan jutaan orang di lingkungan perkotaan. Misalnya, kegiatan di kamar mandi perlu dikontrol semaksimal mungkin. Untuk menghemat air, air minum harus direbus, atau minum saja semua jenis air kemasan yang ada! Mereka harus menggunakan wadah sebanyak mungkin untuk mengisi air, dan bersiap untuk kemungkinan adanya penghentian aliran air dan sebagainya. Hal-hal seperti ini sudah disiarkan di radio.

Andi tidak terpikirkan apapun ketika datang ke ruang dan waktu ini dalam kehidupan ini, tapi dia sudah mengalami hal-hal yang tidak menguntungkan dalam waktu kurang dari dua tahun. Setelah air kemasan yang semula dibeli dibagikan ke tiga rumah lainnya, hanya tersisa dua galon untuk mereka sendiri.

Andi sangat iri pada orang-orang yang menyudahi rantai kehidupan begitu mereka menyeberang. Semua nasib buruk seolah diterima sendiri olehnya.

Soal berita tentang pasokan listrik yang akan diedarkan secepatnya oleh pusat bantuan darurat bencana, hal itu hanya bisa disimak. Tidak ada gunanya merasa cemas.

Dua rumah di lantai atas awalnya ingin pergi ke luar kota, tetapi baru saja mereka keluar dari wilayah kecamatan itu, namun mereka sudah bertemu daerah genangan air. Dan mereka pun terpaksa terhenti seperti banyak "kapal selam darat" lainnya, dan kemudian kembali dengan merasa malu. Belakangan, Andi mengetahui bahwa kedua keluarga ini nyaris menemui ajal. Kurang dari seratus meter di dekat mobil mereka yang akan mogok, sebagian badan jalan amblas dan membentuk lubang besar. Ada lusinan mobil yang menumpuk di dalamnya. Untungnya, tidak ada korban jiwa. Diperkirakan semua pemilik mobil berinisiatif meninggalkan mobil mereka setelah mengetahui bahwa mobilnya mogok.

Pak Willy dan Bu Riska. Penghuni unit 601. Mereka adalah aktor paruh baya berusia 50 tahun dengan kontrak kelas C. Mereka sudah menjadi pemeran pendukung utama dalam berbagai drama TV di perusahaan, semuanya peran sebagai ayah dan ibu dari pemeran utama pria dan pemeran utama wanita. Awalnya, mereka ingin pergi ke luar kota untuk bertemu anak-anak mereka, tetapi sekarang mereka hanya bisa tetap di rusun.

Lintang dan istrinya, Cecil, penghuni 602. Mereka berusia sekitar tiga puluh tahun. Kontrak mereka juga kelas C.

Dan dengan beginilah, beberapa penghuni di gedung rusun agensi Cherry entah bagaimana berkumpul bersama.

Bohong kalau dikatakan bahwa keluarga-keluarga itu bahagia dan harmonis. Mereka hanya berkumpul demi menghemat energi. Rumah Andi dan istrinya menjadi semacam "kantin" bagi mereka.

Setelah makan siang dan lain sebagainya, Lintang dan istrinya berterima kasih kepada mereka dan kembali ke rumah mereka.

Sebaliknya, Willy dan istrinya dengan senang hati mengobrol di rumah Andi. Ketika mereka berdua sudah saling bercerita, mereka bersikap sangat baik kepada pasangan muda yang terlihat menyenangkan itu. Begitu tahu bahwa pasangan muda itu bahkan memiliki anak, mereka terkejut.

Pak Willy tertawa dan berkata, "Bukankah ini sama dengan saat kita dulu?"

Bu Riska menimpali, "Apa yang sama? Andi jauh lebih menarik daripada kamu."

"Bu Riska baik sekali. Saya tidak lebih baik dari Pak Willy." Itu hanya demi bersikap sopan, jadi Andi tidak berani menganggapnya serius.

"Mas Andi itu luar biasa. Pertama kali dia membintangi sebuah film, film itu mendapat box office lebih dari tiga miliar," kata Tini dengan iri.

"Oooh…." Willy menjadi tertarik. "Film seperti apa itu?"

"Judulnya "Musim Semi di Kota Kecil", yang baru saja rilis bulan lalu."

"Semoga ke depannya sukses juga!" kata Bu Riska sambil tersenyum. "Film-film yang dirilis bulan ini semuanya sial! Di seluruh negeri, semuanya merugi, dan diperkirakan tidak ada lagi yang menonton film di bioskop! Entah kapan hal ini akan pulih."

"Benar." Yenny tersenyum dan berkata, "Makanya kubiilang, suamiku beruntung!"

Zidan tidak suka percakapan dengan banyak orang sekaligus seperti ini, jadi dia hanya terus mengatur gitarnya. Belakangan ini hujan terus turun, dan dia menganggur. Dia tidak bisa pergi ke luar untuk menghabiskan waktu.

"Mas Zidan, bagaimana kalau Mas bernyanyi bersama suamiku!" Yenny mengambil gitarnya dan menjejalkannya ke suaminya.

"Oh. Andi juga suka menyanyi?" Zidan tidak mengatakan dia setuju atau tidak dan hanya bertanya dengan santai, menggunakan kata "suka", yang berarti dia tidak yakin.

"Aku bisa menyanyikan beberapa lagu dengan santai, tapi bukan bagian dari pekerjaan juga," kata Andi.

"Kalau begitu ayo!" Zidan tersenyum. "Pokoknya tidak apa-apa, ayo kita belajar dan berdiskusi bersama!" Ketika menyangkut sesuatu yang disukainya, sikap Zidan seketika berubah.

"Ayo Sayang, bernyanyi saja!"

Melihat wajah istrinya, Andi berkata, "Kalau begitu aku akan menyanyikan satu lagu." Kemudian, dia mengatur gitarnya.

Zidan mengira Andi akan memetik gitar dengan beberapa kunci, tapi kemudian, dia melihat Andi menabuh gitar akustik itu. Cara unik pengamen jalanan ini membuat Zidan merasa sangat familiar. Andi bernyanyi:

"Bulan dilukis untuk langit malam yang sepi,

Maka lukislah daku di bawah bulan, dan bernyanyilah."

Cara bernyanyinya seperti penyanyi jalanan. Setelah Andi menyelesaikan bait pertama dari "Kita Lahir untuk Hidup Bersama," wajah Zidan sudah cerah. Tanpa sadar, dengan tangannya, dia ikut mengetukkan iramanya.

Tidak hanya Zidan, Willy dan Riska juga ikut mendengarkan dengan penuh semangat.

Ketika Andi sudah selesai menyanyikan seluruh lagunya, semua orang di ruangan itu bertepuk tangan dan memujinya.

"Lagunya bagus, tapi suaramu tidak cocok menyanyikan lagu semacam ini." Zidan menyentuh dagunya sambil berpikir.

Tini menarik-narik pakaian Zidan, tetapi Zidan mengabaikannya dan melanjutkan, "Lalu, tadi kau dengan sengaja merendahkan suara ketika bernyanyi. Ini tidak baik. Gaya bernyanyi tradisional bukan berarti menyanyi dengan suara rendah; itu hanya untuk pamer. Nyanyian yang bagus itu lebih dari sekadar pandai menyanyikan lagu-lagu tradisional. Lagunya harus puitis dan bercerita. Kalau kau ingin beralih profesi ke penyanyi asli, aku bisa memperkenalkanmu dengan agen perusahaan rekamanku."

Pasangan itu tiba-tiba tampak malu.

"Kenapa?" Bu Riska yang pertama peka terhadap situasinya.

"Tidak apa-apa. Hanya saja, lagu ini sudah saya jual!"

"Dijual? Sayang sekali," kata Zidan dengan menyesal.

"Terjual dua ratus juta. Mas Zidan, apa menurutmu harganya bagus?" tanya Yenny dengan gugup. Dulu, mereka masih belum tahu harga pasarnya. Setelah beberapa bulan bekerja di TV dan beberapa bulan di acara musik, juga mendengar soal pendapatan dari berbagai penyanyi yang terkenal, Yenny sudah lama tercerahkan. Setelah semua itu, dia merasa suaminya menjual lagu dengan harga yang kelewat murah.

Zidan mengerutkan dahi dan berkata, "Sulit mengatakan apakah harga lagu itu bagus atau tidak. Sebelum diluncurkan di pasaran, semuanya hanyalah prediksi. Meskipun lagu ini bagus, lagu ini tidak terlalu megah. Sedangkan, sasarannya adalah pasar musik populer. Mereka menyukai musik yang unik dan baru. Orang yang sudah terbiasa dengan semua jenis musik pop, terutama yang berpengalaman, sudah bisa ikut bernyanyi saat mereka baru pertama kali mendengarkannya. Lagu ini benar-benar sudah dijual?"

"Sungguh!" Pasangan muda itu mengangguk, dan Yenny menambahkan, "Kami membeli salah satu CD yang diproduksi orang itu!" Sembari mengatakannya, dia beranjak dan menghampiri rak CD, kemudian mengeluarkan sebuah CD sederhana.

"Jeffrey. Nama ini agak familiar!" Zidan mengerutkan dahinya.

"Bukankah ini penyanyi baru dari HK's?" Tini tiba-tiba teringat. "Kamu melihatnya di awal bekerja. Di HK's!"

"Eh? HK's? Label musik terbesar di Kota Sinan? Bukannya Mas Zidan artis kontrak dari perusahaan kita? Kenapa bekerja di HK's?" Andi tampak bingung.