Chapter 2 - Penyewa Rumah

Melihat telapak tangan Alisa mengipasi wajahnya yang terasa panas, Dias menundukkan kepalanya sambil sedikit menggerakkan lehernya. Melihat pertahanan Dias melemah, Alisa mengumpulkan kekuatannya lalu dengan cepat lengannya melingkari belakang leher Dias seperti seolah-olah dia sedang memeluknya.

Saat itu juga, ada seruan yang terdengar dari gerbang halaman, "Dias, Alisa, apakah kalian sudah siap-siap?"

Tapi saat ini, Alisa sedang berbaring di pelukan Dias, sedangkan Dias memeluknya dengan tangan kirinya dan tangan kanannya masih melingkari tubuh Alisa. Sementara Alisa melilit leher Dias. Gerakan keduanya memang tampak seperti memiliki hubungan yang tidak biasa.

Mendengar suara langkah kaki mendekat ke pintu, Alisa mengayunkan tangannya di sekitar leher Dias. Dia mendorong tubuh Dias agar menjauh. Alisa melangkah mundur kemudian menatap Dias, "Pencuri, jaga jarak dariku. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu!"

Dias tersenyum malas, lalu dengan enggan mengangkat tangan kanannya dari tubuh Alisa "Maaf, aku tidak bermaksud begitu. "

Alisa tidak percaya apa yang dia katakan. Dia melihat pria di depannya ini dari atas lalu ke bawah. Alisa memperhatikan Dias dengan alis cemberut, dia kemudian berpikir dalam hati, "Apakah perasaan sedingin es saat dia berbalik tadi, apakah itu hanya imajinasiku?"

Tanpa banyak berpikir, Alisa melihat ke pintu halaman. Di sana berdiri seorang wanita mengenakan kebaya.

Alisa harus mengatakan bahwa wanita ini sangat cantik. Fitur wajahnya diukir dengan indah dengan rambut digelung, kulitnya putih bersemu merah. Alisa tidak dapat menemukan cela apa pun di wajahnya, seperti ada cerita tanpa akhir di matanya yang menambah pesona kuno.

Dengan tubuh yang memakai pakaian kebaya, tubuh wanita itu ramping seperti membentuk jam pasir. Kebayanya tidak terlalu mewah, tapi terlihat sangat anggun ketika dia kenakan.

"Sadaraku Ajeng, akhirnya aku melihatmu. Aku sangat merindukanmu!"

Mata Alisa membelalak terkejut melihat Dias berjalan mendekat lalu memeluk Ajeng dengan erat. Dia juga ingin mencium dahi Ajeng. .

Tepat sebelum disentuh, sebuah telapak tangan lembut menutupi bibir Dias. Ajeng memandang Dias dengan penuh kasih sayang lalu tersenyum sambil berkata, "Kau sudah berusia dua puluh tahun, jadi kenapa kamu memperlakukanku sama seperti ketika kamu masih kecil."

"Hehe, aku tidak melihatmu selama lebih dari sepuluh tahun, jadi aku tidak bisa menahannya untuk sementara waktu." Dias tersenyum dan menggaruk kepalanya, seperti anak kecil yang naif.

Jika orang-orang yang membunuh tanpa berkedip melihat Dias terlihat seperti ini, mereka takut pandangan dunia akan diubah, dan Dias hanya akan menunjukkan ekspresi seperti itu saat menghadapi Ajeng.

Faktanya, Ajeng adalah pelayan keluarga Sastrowardoyo. Dia berusia sembilan tahun lebih tua dari Dias. Ketika Dias masih muda, Ajeng tinggal di sebuah rumah joglo. Dia selalu menjaga dan sangat baik kepada Dias. Meskipun Ajeng mengatakan dia adalah seorang pelayan, tetapi dia dan Dias saling menyayangi, seperti saudara yang sama-sama memiliki perasaan yang dalam.

"Benar saja, Mbak Ajeng masih cantik. Aku telah melihat begitu banyak wanita memakai kebaya selama bertahun-tahun ini, tapi tidak satupun dari mereka yang rasanya lebih cantik darimu." Dias melihat tubuh Ajeng dari atas dan ke bawah sambil memujinya.

"Itu tidak benar." Ajeng menepuk dahi Dias dengan ringan. Ketika Ajeng baru saja hendak mengatakan sesuatu, Alisa, yang berada di sebelahnya, tidak tahan lagi dan menyela, "Tunggu, Mbak Ajeng, bisakah kau memberitahuku? Apa yang terjadi, mengapa seorang pria tiba-tiba muncul di rumah kita?"

Dias menirukan nada suara Alisa lalu berkata, " Ya, Mbak Ajeng, aku ingin tahu mengapa wanita yang tidak aku kenal ini muncul di rumahku. Baru saja ketika aku sedang mandi, dia tiba-tiba masuk kamar mandi dan berkata dia ingin memijatku untuk membuatku lebih besar. Dia mengenakan seragam polisi, tapi dia sebenarnya adalah seorang gangster wanita. "

"Siapa yang gangster wanita, kau menghinaku?" Alisa berteriak dengan gigi dan cakarnya, tetapi dia tidak menyebut Dias sebagai pencuri lagi, karena dia telah melihat bahwa Dias sebenarnya bukanlah pencuri seperti yang dia kira.

Melihat keberanian Alisa, Ajeng khawatir jika Alisa bisa menyakiti Dias. Dia buru-buru membujuk, "Alisa, kalian semua salah paham. Izinkan aku memperkenalkannya kepadamu. Ini Dias, cucu tertua Pak Sastrowardoyo. Setelah Pak Sastrowardoyo meninggal dunia, dia mewariskan rumah ini kepadanya. Jadi saat ini, Dias akan menjadi tuan tanahmu."

Apa? tuan tanah!

Wajah Alisa pucat. Dia hanya mengira bahwa Dias adalah kerabat jauh Ajeng atau semacamnya, tapi dia tidak menyangka bahwa pria ini akan menjadi pemilik rumah luas ini dan juga tuan tanahnya sendiri.

Ajeng memperkenalkan Alisa kepada Dias, "DIas, ini petugas polisi Alisi. Dia sekarang tinggal di rumah sebelah timur dan merupakan penyewa rumah di sini"

Dias sudah lama mengira bahwa wanita ini adalah penyewa, tetapi dia bingung mengapa rumah ini akan disewakan. Kakeknya tidak akan kekurangan uang hingga menyewakan rumahnya.

"Karena kamu adalah tuan tanah, aku akan memaafkanmu hari ini dan akan berbicara lebih sopan."

Mengetahui bahwa Dias adalah tuan tanah, Alisa secara sadar merasa sedikit bersalah. Saat mengingat kejadian tadi di mana dia membuka pintu kamar mandi untuk melihat tubuh telanjang Dias, pipinya memerah karena malu saat ini juga. Alisa merasa ingin segera mencari tempat sembunyi, lalu dia berbalik dan menuju kamarnya.

Melihat punggung Alisa yang berjalan cepat, Dias hanya tersenyum tidak bisa menahannya. Dia berpikir akan rugi jika dia mengusir penyewa yang begitu cantik.

"Kamu masih berani tersenyum? Petugas Alisa itu bergelar sabuk hitam taekwondo. Jika kamu memprovokasinya lagi kamu pasti akan dipukul habis-habisan olehnya. Tapi jangan lihat tampilannya yang galak, dia sebenarnya punya hati yang sangat lembut." Kata Ajeng singkat.

Dalam situasi seperti ini, Ajeng tiba-tiba memunculkan sifat kepeduliannya, "Dias, kemana saja kamu selama sepuluh tahun terakhir ini? Bagaimana kabarmu?"

"Tidak kemana-mana, hanya saja seluruh dunia telah berputar." Kata Dias ringan.

Sejujurnya, dia tidak ingin mengatakan bahwa dia membunuh banyak orang saat berjalan-jalan keliling dunia.

Saat mereka berdua berjalan menuju aula, Dias melihat halaman yang luas ini agak tidak tertata seakan terabaikan lalu bertanya, "Mbak Ajeng, kakekku tidak kekurangan uang. Bagaimana rumah ini bisa disewakan kepada orang lain?"

Ajeng berhenti sambil mengerutkan kening, kemudia berkata, "Rumah besar ini tidak disewakan oleh Pak Sastro. Rumah ini baru disewa setelah Pak Sastro meninggal dunia setahun yang lalu. Aku membuat rencana yang baik dengan menganjurkan rumah ini agar disewakan."

Melihat sorot mata yang menyiratkan rasa tanggung jawab dan kesedihan, Dias merasa tersentuh dan tidak bertanya lagi. Dias tersenyum lalu berkata, "Tidak apa-apa, lebih baik menyewakan. Karena ada banyak kamar yang kosong. Pasti akan disewa oleh orang-orang berbakat yang populer." Ajeng memandang Dias sambil tersenyum. Semua yang Ajeng rencanakan untuk dikatakan tersembunyi di dalam hatinya. Kini mereka berdua akhirnya berkumpul, jadi mengapa repot-repot membicarakan keluarga Sastrowardoyo untuk merusak suasana.

Malam ini, Ajeng memasak lebih dari selusin hidangan. Semuanya semuanya adalah makanan kesukaan Dias.

Melihat meja yang penuh dengan hidangan, Ajeng tersenyum puas kemudian berkata kepada Dias yang duduk di sebelahnya, "Dulu, semua orang di rumah ini akan makan bersama. Hari ini, kamu juga harus begitu. Kamu bisa meminta Alisa dan Nita untuk datang makan malam bersama."

Alisa, Nita?

Dias bingung lalu menatap Ajeng sambil berkata, "Alisa saya tahu, tapi siapa Nita ?" Ajeng meletakkan piring dan sendok di tempatnya, kemudian berkedip ke arah Dias sambil berkata, "Nama lengkap Nita adalah Anita Prameswari. Dia adalah seorang perawat. Dia cantik dan memiliki temperamen yang lembut. Jangan lewatkan kesempatan ini."

Ternyata tidak hanya ada penyewa polisi, tapi juga seorang perawat. Apakah Dias akan mendapatkan rezeki nomplok?

Dias tidak lagi merasa bersalah saat menghadapi Ajeng, kemudian seulas seringai jahat muncul di sudut mulutnya. Dengan nada yang tenang, Dias berkata, "Oke, Mbak Ajeng. Aku akan memanggil mereka."