Makan malam disantap oleh Dias, Ajeng dan Alisa. Sedangkan untuk perawat Nita, dia tidak kembali ke rumah hari ini karena harus bekerja shift malam. Dias sedikit kecewa karena tidak bisa melihat Nita.
Di meja makan saat ini, Dias melahap sayuran dan nasi membuat mulutnya penuh. Saat makanannya sudah ditelan, dia mengacungkan jempol ke Ajeng lalu berkata dengan samar, "Mbak Ajeng, ini benar-benar hidangan terbaik yang kamu masak."
Ajeng tersenyum sedikit sambil menatap Dias. Sorot matanya yang seperti seorang ibu penuh perhatian dan lembut, dua lesung pipit muncul di sudut mulutnya. Ajeng yang masih memakai kebaya, terlihat seperti seorang wanita bangsawan seperti dalam gambar buku-buku sejarah Indonesia. Dia terlihat sangat anggun.
Alisa menundukkan kepalanya sambil mengambil sesendok penuh nasi dari pirinya. Matanya masih lekat menatap Dias diam-diam sejak tadi, dalam hatinya berkata, "Anak ini terlihat biasa saja, tapi mengapa dia bisa dengan mudah menghindari serangan punggungku dan bisa mengendalikanku dengan cepat? Dia terlihat seperti orang baik, tapi...pasti ada sesuatu yang aneh."
" Alisa. "
Alisa yang daritadi berpikir sambil menatap lurus ke arah Dias. Kemudian Dias memanggil Alisa sambil menggoyangkan pergelangan tangannya hingga membuatnya tersedar. Alisa segera menarik kembali pandangann, mencoba berpura-pura makan tapi ternyata piringnya sudah kosong.
Suasana tiba-tiba menjadi sedikit memalukan.
Dias mengangkat alisnya lalu berkata sambil tersenyum, "Mengapa kamu menatapku ketika kamu makan? Sudah kubilang, aku tidak suka wanita yang kejam."
"Kamu… ya! Aku melihat wajah Mbak Ajeng. Aku tidak peduli denganmu." Alisa menatap Dias dengan geram, napasnya naik turun karena marah.
Ajeng menatap Dias dengan wajah marah seperti mengisyaratkan Dias untuk tidak melawan Alisa.
Saat itu juga, ponsel Dias berdering menandakan ada telepon masuk. Dias mengeluarkan ponsel Nokia hitam-putih tua. Ketika melihat nomor di atasnya, Dias mengerutkan kening lalu berbalik dan berjalan keluar ruang makan, "Aku akan menerima telepon dulu, aku akan segera kembali."
Alisa melihat telepon yang diletakkan Dias ke telinganya sambil menganalisis dalam hatinya, "Berapa umurnya? Dia masih menggunakan Nokia yang layarnya masih hitam putih? Tampaknya kondisi ekonominya sangat buruk."
Dias berdiri di tengah halaman, dia menerima telepon lalu berkata dengan tidak sabar, "Hei, Aryo. Baik baik baik, panggil aku tuan sekarang. Aku mewarisi sepetak rumah besar dari kakekku, sekarang aku sedang santai. Aku sudah pensiun dengan pekerjaan ini. Nanti aku akan memberitahukan tugas lagi, tapi aku pasti tidak akan mengambilnya."
"Tidak, meskipun kamu membantu, jangan katakan bahwa perintah master tidak dapat dilanggar. Aku tidak akan memakan milikmu, aku punya prinsip. Sejak aku pensiun, aku tidak akan pernah menerimanya, tidak lagi."
"Apa? Tidak masalah! Cantik? Mahasiswa? "
Mata Dias berbinar, nadanya berubah lebih semangat dan dia berkata dengan sungguh-sungguh, "Guru, meskipun aku sekarang sudah pensiun, saya sangat mengingat kebaikan Anda kepada saya, karena Anda adalah kakek teman saya, tentu saja saya rela mengorbankan waktu istirahat saya untuk melakukan kebaikan ini untuk Anda. Hei, siapa yang membuat saya menjadi lembut? Apa? Prinsip? Saya bahkan tidak punya moral apalagi prinsip? Anda bisa langsung memberikan informasi gadis itu."
Setelah berbicara, Dias menutup telepon. Dia menjauhkan telepon dari telinganya lalu menarik antena di bagian atas telepon. Kemudian muncul gambar virtual 3D berwarna berbentuk persegi, berukuran delapan inci diproyeksikan di bagian atas layar telepon. Gambar itu menunjukkan sosok seorang gadis di atasnya. Informasi pribadi untuk Dias.
Ririn, 18 tahun, mahasiswa baru jurusan Ilmu dan Teknologi Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada ...
Setelah membaca informasi tersebut, Dias mengerutkan kening saat melihat tidak ada foto, "Apakah dia gadis jelek tanpa foto? Lupakan aku. Lupakan saja, besok aku akan bergabung dengan kelas, jika Ririn adalah dinosaurus jelek, aku akan segera pergi. Jika dia wanita cantik, aku hanya bisa mengorbankan ego dan menyelesaikan misi." Telepon ditutup.
Dias merasa bimbang. Pada kenyataannya, ketika dia kembali ke Yogyakarta, dia benar-benar takut kalau dia akan menganggur. Lebih baik menjadi bosan karena masuk Universitas Gajah Mada sekarang daripada tinggal di rumah besar ini sepanjang hari. Selain itu, selama ini dia tidak pernah kuliah. Dias merasa ingin mengenal kehidupan kampus, terutama sejak dia mendengar dari rekan-rekan seperjuangannya bahwa ada begitu banyak gadis lugu di perguruan tinggi. Mereka ingin bersaing satu sama lain.
"Mbak Ajeng, aku punya beberapa uang di kartuku. Kata sandinya adalah hari ulang tahunmu. Kamu bisa menggunakannya untuk membayar seseorang untuk merapikan halaman."
Ketika kembali ke ruang makan, Dias mengeluarkan kartu debit lalu meletakkannya di depan Ajeng kemudian berbalik hendak keluar. Sambil berjalan keluar dia berkata, "Aku sudah lama tidak kembali ke Jogja, aku keluar untuk jalan-jalan."
Sebelum Ajeng dan Alisa bisa bereaksi, Dias sudah berjalan keluar dari gerbang halaman. Mereka berdua hanya saling menatap, kemudian mata mereka tertuju pada kartu debit itu.
Halaman tempat mereka tinggal sangat luas, seluas beberapa ratus meter persegi. Dengan tiga pintu masuk penuh ukiran yang telah diwariskan selama ratusan tahun. Pintu itu bahkan dianggap sebagai peninggalan budaya. Jika ingin memperbaiki atas dasar menjaga tampilan aslinya, setidaknya membutuhkan biaya lebih dari 500 juta rupiah, tidak sedikit.
Mata Alisa berputar lalu dia menganalisis dalam hatinya, "Dias masih menggunakan ponsel Nokia hitam-putih. Kondisi keuangannya jelas sangat kekurangan. Dia mengatakan bahwa kartu ini memiliki 'sedikit' uang, tetapi aku pikir paling banyak hanya beberapa ratus ribu. Dia benar-benar menggunakan ulang tahun Ajeng sebagai kata sandinya, itu agak aneh."
Sambil berpikir, Alisa mengambil topi polisi yang ditempatkan di meja. Dia bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan keluar, "Mbak Ajeng, aku punya tugas malam ini. Aku pergi dulu."
Ketika Alisa meninggalkan ruang makan, Ajeng diam-diam meletakkan kartu bank itu sambil tersenyum pahit. Dia juga berpikir sama seperti Alisa bahwa kartu itu tidak punya banyak uang. Ajeng tidak berencana untuk menggunakannya sama sekali. Ajeng akan menyimpannya dulu.
…
Di dalam sebuah bar, suara musik meledak-ledak seolah-olah setiap tabuhan genderang menabrak saraf orang. Aroma alkohol yang kuat tercium di udara, banyak pria dan wanita yang menggoyangkan tubuhnya dengan gila, bahkan mereka yang duduk tenang pun akan memiliki sesuatu di hati mereka. Ada sedikit denyutan.
Dias akrab dengan bar. Karena setelah melakukan tugas di masa lalu, dia akan selalu mengajak anggota timnya untuk bersantai di bar, minum banyak alkohol, dan kemudian pergi bersama wanita yang mereka sukai.
Tentu saja, hari ini dia tidak di sini untuk mencari wanita muda yang seksi, dia hanya ingin minum.
Di depan bartender yang bingung, Dias meminta sebotol rum. Dias lalu menuangkannya langsung ke gelas tanpa mencampurnya dengan apapun, dan meminumnya seperti bir.
Tingkat alkohol rum setara dengan minuman keras. Bartender itu belum pernah melihat orang yang bisa minum minuman keras seperti meminum bir.
"Rasanya tidak terlalu enak."
Dias mengguncang gelas anggur di tangannya. Dia merindukan rum yang dirampoknya saat bertarung dengan kelompok tentara bayaran serigala darah di Afrika, tetapi anggurnya tertinggal di pangkalan. Dia ingin meminum itu tapi tidak bisa.
Saat ini, di bawah cahaya redup, seorang gadis muda memasuki area penglihatan Dias yang kemudian menarik perhatiannya.
Baju yang dipakai gadis itu sangat spesial, seperti baju bergaya Gothic di film "Scientist Todd". Rambutnya mengembang, dia memakai riasan smoky yang tebal, alas bedak putih, eyeliner tebal, dan cerah. Lipstik merah gelap di bibirnya, jaket kulit pinggang tinggi, celana kulit pinggang rendah yang dapat memperlihatkan pinggangnya yang cantik dan kaki jenjangnya. Dia terlihat berkepribadian liar dan seksi.
Namun, ketika Dias melihat lebih dekat, terlihat jelas bahwa gadis itu tidak terlalu tua dan memiliki fitur wajah yang sangat halus, tetapi kecantikan aslinya ditutupi oleh riasan tebal.
"Sayang sekali, bagaimana bisa ada gadis cantik alami tanpa riasan di zaman ini?"
Dias mengatupkan mulutnya dan hendak menarik pandangannya dari gadis itu, tapi tiba-tiba gadis bergaya gothic itu bergegas ke arahnya. Dalam sekejap, gadis itu memeluk Dias dan Dias juga balas memeluknya erat.
Seketika itu juga, aroma tubuh gadis itu menusuk masuk di ujung hidung Dias. Ada sentuhan lembut datang menjalar di dadanya. Dias merasakan tubuh lembut di pelukannya, hormon Dias naik dengan cepat, lalu tangannya tanpa sadar memeluk pinggang ramping gadis gothic itu.