Chereads / Dendam Lama di Kehidupan Kedua / Chapter 23 - Cerita Itu Tidak Akan Pernah Terjadi

Chapter 23 - Cerita Itu Tidak Akan Pernah Terjadi

Dengan tingkat riasan seperti ini, orang-orang yang menjadi cantik mempesona melalui operasi plastik di masa depan bukanlah tandingannya. Tak heran jika mereka bisa memikat segerombolan pria.

"Kenapa, apa kalian semua terpesona? Ck ck ck, lihat wajah ini, sosok ini, kulit ini, pernahkah kau melihat wanita yang luar biasa? Melihat gadis yang begitu cantik, tidakkah menurutmu sama sekali ... … Ingin… bermain bersama?" Wanita itu mengangkat bibir merahnya yang merona, suaranya yang serak sangat menggoda. Para gangster disitu tiba-tiba menjadi gila ketika mereka mendengarnya.

Jelita Wiratama memperhatikan bahwa ketika seorang wanita "memujinya", matanya menunjukkan kecemburuan.

"Tak... Tak... Tak..." suara sepatu hak tinggi menapak tanah terdengar pada telinga Jelita Wiratama. Jelita Wiratama berusaha menggerakkan tangan dan kakinya. Ketika wanita itu berjalan ke arahnya, Jelita Wiratama berusaha mengangkat tangannya dan hendak menjatuhkannya.

Jelita Wiratama kemudian menendangnya ke satu-satunya tempat tidur kotor di sudut gudang.

"Ah!" Teriakan itu diikuti dengan suara benda berat yang mendarat. Wanita itu yang tadinya berdiri baik-baik saja sekarang terlihat jatuh tak berdaya, terbaring di tempat tidur.

"Nina Halim, teman sekelasku tersayang, apakah menurutmu aku tidak akan mengenalimu setelah kamu merubah wajahmu itu?" Jelita Wiratama merasakan hembusan angin di bawah kakinya, melangkah ke tempat tidur, kakinya menghantam wajah wanita itu. "Wajahmu seperti babi, bahkan jika itu benar-benar menjadi babi, aku tetap akan bisa mengenalinya."

"Je... Jelita!" Wanita itu, Nina Halim, mengeluarkan suara lembut yang semula dimiliki gadis itu, tapi dengan nada yang kejam. "Kamu berani memukulku?"

"Apa yang kalian lakukan! Jangan hanya diam saja dan menonton! Cepat pegang dia dan pukul dengan keras!"

Melihat beberapa gangster yang biasanya melakukan kejahatan, mereka tidak berani melangkah maju seolah-olah mereka melihat hantu. Nina Halim gelisah dan bingung, kemudian berteriak "Berapa banyak uang yang kamu inginkan, aku akan memberikan uang sebanyak yang kamu minta! Bunuh wanita itu!!!"

Jelita Wiratama menendang tulang rusuk Nina Halim dengan kakinya.

Pada saat ini, seorang gangster terlihat ketakutan dan tergagap dengan apa yang Jelita Wiratama lakukan terhadap Nina Halim, "Hei kamu, sialan kamu, tutup mulutmu, wanita kotor, kamu, kamu? Kamu mau membunuh kami?"

Apa yang terjadi?

Tiba-tiba ada kepanikan di hati Nina Halim, dia menatap bajingan yang berbicara itu.

BOOM!

Semua kebanggaan di hati Nina Halim hancur dalam sekejap.

Nina Halim melihat pistol yang sangat indah di tangan Jelita Wiratama, yang bahkan lebih indah dari yang dia lihat di TV.

"Hati-hati, jangan bergerak, aku ini pemula, mungkin tanganku tidak akan stabil, lalu ..." Begitu suara itu terdengar, dia mengangkat tangannya ke samping.

Dengan bunyi "boom!" terdapat lubang muncul di lantai beton tidak jauh dari situ.

Ini sangat mematikan!

Noda air muncul di lantai beton tempat para gangster berdiri pada saat yang sama, dan bau asam tiba-tiba tercium di hidung mereka.

Jelita Wiratama tersenyum acuh tak acuh, mengangkat tangannya, lalu bajingan yang paling dekat dengannya tiba-tiba berlutut, menangis dan berteriak "Tolong, tolong, jangan, jangan bunuh aku, jangan bunuh aku!"

"Bagaimana mungkin aku membunuh satu orang? Aku adalah orang yang sangat baik, bagaimana mungkin aku bisa membunuh seseorang dengan santai. Jangan khawatir, aku akan memberi tahumu hari ini, apakah ... hidup lebih baik daripada kematian!"

Bagi sebagian orang, kematian terkadang merupakan kebahagiaan terbesar.

Dia akan membiarkan semua orang yang hadir mengalami kehidupan yang lebih buruk dari kematian di kehidupan sebelumnya.

"Nina Halim, apakah kamu siap?"

Pada saat itu jelas sekali bahwa matahari yang terbenam bersinar di cakrawala saat sebelumnya, dan saat berikutnya matahari tertutup oleh awan gelap, menutupi langit yang cerah dalam kegelapan.

Hujan deras jatuh ke tanah dari langit, dalam waktu kurang dari setengah jam, jalanan lebar itu penuh dengan genangan air sampai selutut. Para pejalan kaki dan beberapa kendaraan sedikit kesusahan, mereka semua bergegas pulang dengan panik. Polisi lalu lintas dengan cepat membuat keputusan, seluruh brigade keluar untuk memngatur lalu lintas dan kendaraan di jalan-jalan utama.

Berbeda dari hiruk pikuk jalanan, gudang pabrik yang terletak di pinggiran Probolinggo senyap.

Langit di atas gudang itu hitam, seperti awan hitam.

Jika ada pejalan kaki yang lewat, mereka akan ketakutan, karena lapisan "awan gelap" itu ternyata adalah burung gagak pekat yang berterbangan di atas langit.

"Nina, ​​janji."

Suara jernih gadis muda itu bergema dari gudang kosong, bergema berulang kali, terdengar sampai ke hati Nina Halim yang tergeletak di tanah.

"Aku akan memberitahumu sebuah cerita. Pernah ada seorang gadis yang sangat konyol dan lugu bernama Rania, dia memiliki seorang teman dekat bernama Laras. Teman Rania, yaitu Laras memiliki latar belakang keluarga yang baik, tapi dia sama sekali tidak menyukainya. Suatu hari, Laras diundang ke rumah Rania, dan kala itu Laras tidak sengaja melihat sebuah kotak kayu yang usang dan kasar. Sekilas dia menyukainya. Melihat kotak tersebut ditempatkan ditempat yang khusus, Laras merasa itu pasti sesuatu yang sangat penting dalam keluarga Rania. Jadi, secara tersirat Laras menyatakan bahwa dia menyukai kotak itu, tapi dia tidak ingin orang salah paham tentangnya akan hal itu. Dia bertanya kepada Rania, bolehkah dia meminjamkan kotak ini kepadanya untuk jangka waktu tertentu. Karena kotak itu memiliki aturan yang khusus, yaitu jika bukan Keluarga Rania maka orang tidak akan bisa membukanya, jadi Rania dengan mudah meminjamkan kotak itu kepada Laras."

Jelita Wiratama membuka matanya dengan lebar, dagunya sedikit terangkat, lalu dia berkata kata demi kata, "Kemudian, keluarga Rania meninggal satu demi satu, dan hidupnya dimulai sejak saat itu, hidupnya diganggu oleh kesialan. Sejak saat itu, keluarganya hancur, studinya terganggu, dan dia meninggalkan rumah. Dia berjuang untuk bertahan hidup sampai ... akhirnya, dia meninggal. "

"Boom, boom, boom." Jelita Wiratama berlutut dan mengetuk papan kayu dengan Guntur yang ada di telapak tangannya, matanya terlihat dingin.

"Hiss ..." Dia berdiri tiba-tiba lalu mundur beberapa langkah, menakut-nakuti para gangster di belakangnya yang berebut untuk berpencar di kedua sisi.

"Nina Halim, apakah kamu ingin tahu akhir dari cerita ini?"

Nina Halim yang sudah dikejutkan oleh tindakannya, sekarang melihatnya menceritakan kisah yang begitu mendalam. Jelita Wiratama bahkan tidak tahu bagaimana mengakhirinya. Nina Halim takut dia tidak tahu bagaimana harus merespon Jelita Wiratama.

Matanya berkedip, semua jenis pikiran berputar di kepalanya, dan ketika dia berbicara lagi, matanya penuh dengan air mata.

"Je, Jelita, aku salah tentang apa yang terjadi hari ini! Seharusnya aku tidak mendengarkan perkataan orang lain. Aku salah paham padamu. Maafkan aku. Jelita, bisakah kamu memaafkanku?"

Jelita Wiratama menatapnya dengan serius sambil tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Ketika Nina Halim memikirkan apa yang dikatakan Kakek Salim, selama tiga generasi keluarga Wiratama mati, kotak kayu tersebut secara otomatis dapat diselesaikan. Pada saat itu, semua keberuntungan Jelita Wiratama di masa depan akan dialihkan kepadanya.

Selain itu, berurusan dengan keluarga Wiratama tidak perlu membuatnya repot, dia hanya perlu menggunakan hubungannya dengan Jelita Wiratama untuk sedikit membantu.

Memikirkan hal ini, air mata membanjiri matanya seolah-olah gerbang telah terbuka.

"Jelita, Jelita, biarkan aku pergi! Jangan khawatir, kotak itu, tunggu saja, aku akan mengembalikannya kepadamu setelah aku keluar dari sini. Hal-hal selanjutnya yang terjadi dalam cerita itu tidak akan pernah terjadi. Jelita, itu hanya sebuah cerita!"