"Menurut lo pada siapa kira-kira?" Richo melirik teman-temannya, dia bercerita tentang seseorang yang telah masuk ke dalam kamarnya.
Saat Richo pulang dari tempat janjiannya dengan Freya, cowok itu masuk kedalam kamarnya. Jendela kamar yang sudah terbuka lebar sampai ada jejak sepatu di lantai balkon membuat Richo melotot marah. Siapa yang sudah berani memasuki
kamarnya dengan menelusup? Apa orang itu tidak tahu dengan siapa dia berhadapan? Jika orang luar, akan di pastikan itu maling. Tapi semua barang berharga Richo tidak ada satupun yang hilang atau berubah posisi.
Lalu? Apa tujuan orang tersebut?
Jav menyahut, "Jangan-jangan ada orang yang ngintai lo." Tebaknya.
Richo menghela napas.
Jari Vano menjentik sambil menunjuk asal, "Arkan?"
Richo menyipitkan matanya, tebakan Vano ada benarnya. Tapi, untuk apa Arkan menelusup masuk kamar Richo?
"Tapi, kenapa lo ga curiga sama..Freya?"
Richo menatap tajam, matanya memicing, "Jangan nuduh dia tanpa bukti! lagian Freya ngapain nyuruh orang buat masuk kamar gue juga?" suaranya terdengar marah, Richo tidak suka ada orang yang menuduh Freya sembarangan.
"Lo terlalu bucin sama dia!" Jav memekik, dia melongos pergi dari perkumpulan teman-temannya.
Richo jelas melotot, memangnya kenapa kalau dia bucin? Tidak ada salahnya, kan? lagipula Richo cinta Freya.
Vano menggeleng dua kali, dia berkata, "Javie kayaknya mode bacok."
Richo mendengus, irisnya melirik Marvin yang hanya diam.
Richo justru mencurigai cowok yang sedang duduk anteng di dekat Tio. Marvin. Dari awal Marvin masuk dalam sekolahannya hingga dia yang ingin berteman walau di perlakukan tidak senonoh oleh Richo dan temannya, cowok itu sedikit mencurigakan. Richo tidak sepenuhnya mempercayai semua teman-temannya memang, tapi adanya Marvin membuat hati Richo selalu gelisah. Mengingat Marvin melindungi Freya saat tawuran itu Richo berpikir kalau Marvin akan merebut Freya darinya, atau Marvin akan melakukan hal lain yang tidak dapat Richo tahu. Richo kagumi Marvin anak baik, ternyata dia juga bisa mengalahkan murid juara dua di sekolahannya. Karena murid yang selalu juara satu itu, Richo sendiri. Marvin terkenal ramah di lingkungan sekolah, sopan dan tidak banyak tingkah seperti Richo dan kawannya. Tidak heran juga Marvin banyak yang menyukai, dari kalangannya hingga adik-adik kelas. Masalah juara memang tidak di ragukan lagi, karena semua murid-murid dan guru pasti bisa menebaknya. Tapi bagi Richo itu tidaklah penting, karena siapa saja pasti akan mendapatkan nilai yang bagus jika orang itu berusaha keras. Richo hanya takut Freya semakin menjauh darinya. Tidak bisa lagi menghabiskan waktu walau cewek itu berkata ketus, judes, tanpa ekspresi di wajahnya. Seratus delapan puluh derajat sifat dan prilaku Freya berubah dengan drastis.
***
Nayla tersenyum lebar, akhirnya Freya mau menjadi sahabatnya juga setelah beberapa hari dia berada di geng itu. Ada sedihnya juga, karena setelah itu dia di dapati banyak nyinyiran atau celotehan tak sedap dari semua murid disana. Padahal siswi di kelasnya juga tidak melihat keberadannya juga. Nayla menjadi serba salah, dia tidak pernah bermaksud untuk memanfaatkan Freya atau siapapun. Tujuannya di awal memang ingin mempunyai teman, ingin mempunyai orang dekat. Apa salahnya?
"Udahlah, Nay. Lo gausah pikirin omongan orang lain, omongan orang tua aja lo ga di ingetin. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri" Milano bertutur sebal, Nayla terlalu memasukan hati.
Cewek itu cemberut, dia menjawab, "Gue ga akan gini kalo cuma seorang dua orang, No! lo ga rasain seantreo sekolah ngomongin gue yang engga-engga." Milano mengerti juga, si. Tapi Nayla seharunya tidak uring-uringan karena memikirkan masalah hal itu.
"Lo minta Freya buat jelasin ke semua orang kalo gitu."
Nayla terdiam. Kalau menyuruh Freya untuk membersihkan namanya, itu sama saja dia memanfaatkan orang lain. Nayla bukan orang seperti itu, dia sama sekali tidak ingin menyusahkan orang. Apalagi sekarang Freya adalah temannya.
"Ga! Gue harus berusaha sendiri, Freya ga ada hubungannya tentang ini." Gertak Nayla, Milano menghela napas. Nayla itu—keras kepala.
Freya pernah menolong Milano saat cowok itu kesusahan di introgasi oleh Pak Danu, guru yang terkenal judes. Milano dulu bukan apa-apa setelah dia bergabung dengan Freya. Milano terciduk membawa dua botol minuman keras, entahlah dia sengaja bawa dari rumah atau membelinya saat di sekolah. Yang jelas Milano dulu adalah cowok penakut, dia sering sekali di suruh-suruh oleh murid yang terkenal garang. Cowok itu tidak bisa menjawab semua pertanyaan Pak Danu. Saat itu mereka berada di lorong yang begitu sepi, Freya yang di keluarkan dari kelas karena tidak mengerjakan tugas berjalan ke arah sana, dia melihat Milano yang sudah tremor.
Pak Danu teriak memekik, "Jawab! Untuk apa kamu membawa minuman ke sekolah?" Milano semakin ketakutan, dia hampir saja kencing di celana jika Freya tidak menjawabnya dengan lantang dan jelas, "Memangnya kenapa, Pak? Dia 'kan Cuma bawa, ga di minum."
Pak Danu menoleh, Freya menaikan satu alisnya.
"Kenapa kamu berkeliaran? Sana masuk kelas!" titah Pak Danu yang tak ingin di campuri.
Freya maju satu langkah, "Saya di keluarkan karena tidak mengejarkan tugas! Bapak lepasin dia, soalnya dia di suruh Pak Wira buat bawa ke rumahnya." Pak Wira yang rumahnya di samping sekolah, Freya lihat beliau juga sering menyuruh cowok ini. Jadi, Freya hanya menebak.
Pak Danu memicingkan matanya, "Jangan berbohong kamu! Saya tahu murid sini ada banyak yang mabuk setelah usai pelajaran!" murkanya.
Milano menunduk dalam, Freya menatapnya, "Lo itu kuman! pergi dari sini! Dan jangan pernah mau di suruh-suruh orang!" gertakan Freya membuat Milano buru-buru untuk pergi, sehingga dia lolos dari Pak Danu yang pasti akan menghukumnya habis-habisan.
Freya adalah perempuan yang bersejarah dalam hidup Milano, jika bukan karena Freya yang meloloskannya dari Bapak guru itu mungkin dia akan mati berdiri atau akan di tertawakan karena kencing di celana seragamnya.
Freya jutek. Freya berwajah tanpa ekspresi. Freya itu troublemaker sekolah. Freya selalu membolos, jika bukan tugas yang tidak pernah di kerjakan pasti di suruh ke depan dengan alasan tak mendengar. Freya pernah bolos sekolah satu minggu tanpa ada surat izin yang jelas. Dia satu-satunya yang berani melawan enam preman saat acara graduation kakak kelasnya tahun lalu, preman dengan keadaan mabuk itu hampir saja mengahancurkan acara resmi di sekolahnya. Dulu di jauhi sekarang di temani. Freya tidak pernah bermimpi mempunyai teman lagi, tapi itu hanya di hati. Sekarang, dia justru banyak yang menyukai. Freya sangat tegas—walau terkadang membuat murid-murid jengkel juga. Freya di segani, di takuti. Bukan karena Freya sadis, tapi siapapun yang berurusan dengan Freya akan dibuat kapok.
Freya sering menolong bukan berarti dia kasihan atau niat menolong. Itu karena Freya hanya membela yang menurutnya benar, lagipula Freya tidak menyukai guru-gurunya disana. Pelajarannya selalu itu-itu saja, membuatnya bosan dan tak selera untuk berlama-lama di dalam kelasnya.