Freya menggigit pipi dalamnya, otaknya memikirkan rencana yang belum juga selesai. Dia sedang duduk di dalam kafe menunggu Richo yang kebiasaan datang telat, atau memang Freya saja yang terlalu ontime.
"Freya, lo udah lama duduk?" cowok itu akhirnya datang dengan tergesa.
"Gausah basa-basi. Lo selalu nyuruh gue buat ketemuan, tujuan lain lo apa?" Freya berprasangka.
"Emangnya salah? Cowok ngajak pacarnya jalan?"
Freya terlalu was-was. Setiap dekat dengan Richo dia bimbang, hatinya tidak nyaman. Waktu terlalu cepat untuk merubah, Freya sendiri bingung.
"Apa lo ga kangen? Masa-masa dulu saat kita berteman dekat." Richo mulai mengenang, dia berharap Freya masih mengingatnya.
"Lo hancurin semuanya."
Richo tersenyum pedih. Freya benar-benar sudah membencinya amat dalam, cewek itu tidak menatapnya sama sekali, mata yang selalu berbinar kini berubah jadi tajam. Richo penyebab cewek itu berubah hingga dia sendiri yang menelan pahitnya. Raut wajahnya menjadi datar, tidak ada lagi senyuman manis yang selalu terpancar, tidak ada lagi keceriaan yang di tunjukkan, Freya berubah sangar.
Hati Richo sakit, dia belum terima sahabat dari kecilnya justru menjadi musuh yang tidak pernah terduga.
"Freya. Kalau gue terbukti ga bersalah, apa yang lo bakal lakuin buat gue?" Richo berucap serius, matanya menatap lurus.
Freya melirik, irisnya menatap dalam manik kelam itu. "Gue. Akan. Bertekuk lutut, di hadapan lo. Apapun yang lo mau, gue siap lakuin. Apapun itu." setiap ucapannya penuh penekanan, Freya bersungguh-sungguh, dia tidak mungkin mengingkari.
Richo duduk tegak, dia mengela napas. "Oke." cowok itu menjilat bibirnya sebelum melanjutkan, empat mata itu saling menumbuk dalam. "Lontaran yang pernah gue ucapin dulu, akan terbukti. Karena, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga."
Freya tersenyum miring, meremehkan. "Kalau gitu, buktikan. Gue ga butuh sungut ke sungut, jikalau di hulu airnya keruh, tak dapat tidak di hilirnya keruh juga, kan." pribahasa dengan sindiran itu membuat Richo terkekeh. Dia merasa puas, dia justru tidak merasa takut secuilpun. Itu membuat Richo menjadi lebih ingin membuktikan. Bahwa dia tidaklah bersalah atas peristiwa kejadiannya dulu.
.....
Arkan bersiul di sepanjang lorong, kedua tangannya di masukkan ke saku celana seragamnya, dia terlihat tampan seperti kesehariannya. Arkan berjalan sendiri, dia tidak bersama konco-konconya.
"Hai, Arkan."
Cowok itu berhenti berjalan.
"Nengok dong, aku ada di belakang."
Arkan tidak berpikir kalau itu hantu dari ruangan kosong yang di lewatinya, kan?
"Aku, kembali."
Suara lembut itu Arkan mengenalnya, tapi tubuhnya juga belum berbalik.
"Aku sekarang sekolah disini."
Arkan menelan ludah, dia berkedip. "Jangan pernah deketin gue." kakinya melangkah lebih jauh, dia baru saja meninggalkan orang yang sama sekali tak di liriknya.
Sudah lama Arkan tidak mendengar suara dari mulut itu. Semenjak dia mengenal Freya, otak, hati dan pikirannya selalu tertuju pada sosok 'nya. Arkan mulai terbiasa, dia sampai tidak ingin kehilangan oleh Freya, hingga cowok itu tak keberatan harus berkelahi dengan Richo yang jelas tidak ada hubungannya sedikitpun.
Guntur masih menyimpan rasa takut saat dia tak sengaja menatap manik itu. Jantungnya berdetak kencang seperti ingin keluar, dia mengigit bibirnya sambil menunduk.
"Lo kenapa? Kayak takut gue makan aja."
Guntur tremor. Freya yang sekarang seperti monster untuknya, yang kapan saja siap menerkam.
"Guntur! Lo kenapa sebenarnya? Kayak kerasukan tau ga akhir-akhir ini." timpal Galen yang berada di sebelahnya.
"Gu-gu-gue ga apa-apa kok."
Arkan menatap Freya, cewek itu sedang menatap Guntur tajam. "Pantes aja."
Freya menoleh ke sampingnya, Arkan menyahut. "Lo jangan liatin Guntur gitu kali, Ya. Dia sampe ketakutan gitu."
Freya terkekeh, dia menjawab. "Emang tatapan gue buat semua orang ketakutan..banget?"
Milano dan Trian tertawa. "Humor banget ini, Freya nakutin pas lagi marah aja padahal." imbuh Trian.
Milano setuju, "Tau dah, Tur. Lo lagian udah biasa juga di tatap Freya, kan? ngapain sampe segitunya."
Mereka semua belum tahu. Karena Guntur enggan untuk bercerita, padahal Freya tidak pernah melarang dia untuk itu.
"Lo tenang aja, Guntur. Gue ga akan natap lo lagi, ya..kalo lo merasa takut sama gue." lontar Freya yang semakin membuat Guntur bergidik.
"Sorry, Freya. Gue ga bermaksud buat nyinggung perasaan lo." sanggah Guntur tak ingin Freya salah paham lagi.
Freya menyungging tipis, "Ga apa-apa, kok."
"Temen gue baik." simpul Arkan tersenyum, dua orang itu saling menatap. "tapi, sekalinya ada yang diam-diam sembunyi...dia bisa nelan orang itu bulat-bulat." Freya tersenyum, keduanya saling menumbuk manis.
Teman-temannya bergidik ngeri. Apa Freya benar seperti itu?
Arkan membuka mulutnya lagi melanjutkan ucapannya. "Apalagi dengan kata..berkhianat. Freya tak kenal ampun. Richo adalah orang yang beruntung menurut gue. Karena Freya menghargai keluarga dia untuk Papa 'nya." jelas Arkan, dia menatap satu-persatu temannya sambil mencondong. "Kalau engga. Richo sekarang udah ga ada di manapun berada."
Enam mata melotot saling melirik seram, mereka bergidik ngeri. Freya semengerikan itu ternyata, yang jelas itu lebih dari monster yang ada di film-film yang mereka tonton jika kejadian.
Guntur yang masih was-was semakin takut. Bagaimana jika Freya juga bisa memusnahkannya seperti yang Arkan bilang barusan? Apa dia akan sanggup? Bukan hal dia, tapi keluarganya. Guntur itu anak yang baik, dia tidak pernah sekalipun membuat keluarganya kecewa, Guntur tidak pernah membantah apapun yang keluarganya minta. Dia itu anak teladan, Guntur anak kebanggaan. Apa setelah dia terancam keadaannya akan baik-baik saja? Freya selalu mengawasinya. Cewek itu tidak pernah sekalipun oleng dengan pendiriannya, dia cewek yang berbahaya bagi keselamatan temannya.
Entah sejak kapan Freya seperti cewek psycho, itu pandangan Guntur sekarang terhadap Freya.
>>>>>
Nayla mengikuti Freya saat cewek itu mengendarai motornya ke arah sekolahan SMA SATU NUSA yang Nayla yakini itu adalah sekolahan yang pernah berniat untuk di bubarkan. Cewek itu mengerutkan dahi, benaknya bertanya-tanya kenapa motor Freya mengarah kesana.
Sebenarnya, Nayla juga ingin tahu tentang Freya. Padahal masalah dia sendiri belum terselesaikan. Semua teman di kelasnya juga enggan untuk mendekat, apalagi menyapa. Lagipula Nayla juga terbiasa, teman sekelasnya memang dari awal tidak pernah melihat keberadaannya.
Nayla melihat Freya bersama dengan gerombolan anak cowok yang baru saja keluar dari pintu gerbang. Salah satunya mengelus rambut Freya penuh sayang. Nayla semakin bingung, sejak kapan Freya diam di sentuh laki-laki?
"Richo, gue mau sekali lagi tempur sama lo." tegas Feya menepis tangan Richo.
"Kenapa? Perjanjiannya itu, kamu jadi pacar aku sampai kelulusan."
Freya berkedip. "Gue mau..lo sama gue tempur di hadapan, shihan."
Richo membelalakan matanya. Apa Freya sedang bercanda?
"Lo apaansi! Ini masalah kita, kenapa lo mau lakuin itu?" Richo tak bisa percaya. Freya nekat sekali, dia tidak memikirkan jika guru karate 'nya akan kecewa.
"KARENA GUE UDAH MUAK!"