"Seharusnya yang kamu benci dari dulu itu, bukan aku. Kenapa kamu percaya dengan ucapan, yang tidak jelas dengan bukti."
>>>>>>>
Tiga tahun lalu.
Richo dan adiknya sedang asyik bermain game di ponselnya, mereka terlihat akur dan akrab.
Freya datang dengan napas yang memburu, keadannya kacau.
"Richo!" teriaknya.
Julian dan Richo sampai terkejut, mereka berdua mengakhiri permainan di handphonenya, kedua cowok itu kebingungan. Pasalnya, Freya tidak pernah menghampiri rumahnya hingga semarah itu.
"Kenapa?" tanya Richo yang masih kebingungan.
Tangan Freya mengepal, jika dia menghajar Richo pasti akan membuat kerusuhan di rumah orang.
"Lo puas, sekarang?" amarah Freya semakin memuncak.
Julian tremor, dia ketakutan melihat sosok Freya yang di rasuki setan.
Richo melirik Julian sejenak, dia menatap Freya melotot, "Jangan teriak di depan adek gue! lo lupa dia sakit!"
Cewek itu mendengus kasar, Richo mengalihkan pembicaraan.
"Gue benci sama lo, Richo Dirganginanjar." telunjuk Freya tepat di depan wajah Richo.
"Kenapa lo tiba-tiba benci gue?"
Freya menatap menusuk, "Lo pembunuh!"
...…..
Freya selalu percaya dengan sahabatnya. Arkan tidak pernah mendustainya, tapi, apa yang Freya lihat di handphone Richo itu bukan setingan.
Untuk kedua kalinya Freya merasa di khianati, dengan orang yang dia percayai. Ini alasan Freya tidak pernah mau mempunyai teman selain Arkan.
Tapi, jika sudah kejadian begitu , apa Freya akan percaya dengan sang sahabat lagi?
Freya paling tidak bisa di bohongi walau dengan embel-embel mengatas namakan dirinya, jika ada orang yang sudah tidak jujur dari awal, maka seterusnya akan berbohong.
Arkan merasa gelisah, pasalnya nomor Freya tidak dapat di hubungi. Arkan semakin tidak karuan, dia sangat cemas. Cowok itu mendengus, pikirannya tertuju pada Richo.
"Freya pasti marah sama gue. Richo!" tangannya mengepal kuat, matanya melotot memerah.
Richo mulai bermain api dengannya. Arkan belum kalah, dia masih banyak kekuatan untuk menghajar Richo perlahan dengan caranya sendiri.
Pukul dua siang, Arkan menuju rumah Richo. Dia berjalan santai mengetuk pintu rumah yang sedikit terbuka, cowok itu mengintip, kepalanya mencondong.
"Gimana masakan gue?"
Suara itu milik Richo, sepertinya dia sedang ada di rumah.
"Mayan."
Arkan berdiri tegap, dia mengernyit,
"Freya." Gumamnya.
"Iyalah, pacar lo harus pinter masak selain…jago gelud."
Arkan menghela napas kasar.
Freya tidak bisa di hubungi karena dia bersama Richo?
***
Sebelah bibir Galen terangkat, matanya menatap iris sayup di depannya.
"Lo yang sabar aja, ya. Gue yakin, Freya ga akan lama ngambek sama lo."
Arkan baru saja cerita, dia sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Milano dan Guntur, kedua cowok itu selalu menjadi pendengar yang baik untuknya.
Trian datang menepuk bahu kanan Arkan, dia duduk di sebelahnya, "Freya salah paham, gue ngerti apa maksud tujuan lo." dia mendengar sedikit curahan Arkan, tetapi memahami apa yang di bicarakan.
"Thanks, lo semua udah mau denger curhatan gue." Arkan tersenyum tipis, setidaknya, hati dia sedikit lega tentang masalahnya dengan Freya.
Freya melihat dari ambang pintu kelasnya, dia masih belum percaya dengan chat kemarin lusa yang di tunjukkan oleh Richo.
Apa Freya terlalu menjadi pemarah?
Arkan belum bicara langsung padanya. Freya menunggu untuk penjelasan cowok itu. Karena Freya ingin Arkan yang menceritakan semua yang sudah terjadi di belakangnya.
Nayla melihat Freya yang masih mengintip teman-temannya yang berada di kelas, cewek itu melangkah mendekat.
"Freya."
Panggilan Nayla membuat Freya menoleh, begitu teman Freya yang belum tahu keberadaannya saat ini.
"Kok, lo masih di luar. Ga masuk?" tanya Nayla.
Freya tidak menjawab, dia memilih pergi.
Milano berjalan mendekat ke depan pintu kelasnya, bertanya pada sepupunya itu, "Nay, kenapa?"
"Tadi gue liat, Freya. Dia kayak sedih gitu, kalian ga buat dia sedih, kan?" tuduh Nayla.
Milano segera melarat, "Hush, enak aja. Kita ga pernah buat bos kapten sedih kalee!"
Nayla menantang, "Kalo bukan kalian, terus siapa, hah?"
Milano mengedik, "Mana ay tau, Nayy."
Mendengar nama Freya di sebutkan, Arkan merasa sakit lagi. Mengingat saat Freya menyuapi Richo di rumah cowok itu kemarin.
"Ar, lo ga apa-apa?" tanya Guntur khawatir.
Arkan mengangguk lemas tanpa membalas ucapan.
Guntur dan Trian mengusap punggung Arkan, mereka saling menguatkan.
Freya merenung, dia sedang duduk di bangku taman sekolah, sendirian seperti saat dia kehilangan sosok Mama 'nya dulu, Freya menghela napas dalam, membuangnya kasar. Perasaannya seakan terombang-ambing, dia bingung harus marah atau tidak, karena Freya sendiri belum mengetahui dengan jelas alasan dari mulut Arkan.
"Jangan melamun di area sini." seseorang mengejutkan Freya.
Lelaki berambut cokelat duduk di samping Freya, dia melirik, "Nanti kerasukan kuntilanak tau rasa." Sedikit mengejek, cowok itu tersenyum miring.
Freya mulai tidak nyaman, dia berdiri buat cowok itu mendongak.
"Mau kemana? padahal gue mau temenin lo."
Freya melirik lewat ekor matanya, dia membalas ketus, "Ga ada yang nyuruh." Cewek itu pergi menahan kesal.
Cowok itu tertawa kecil sambil menatap kepergian Freya.
"Lo emang selalu buat jantung gue mau lompat, sikap lo itu…buat gue rindu terus."
Freya di halang oleh Guntur, cewek itu mengernyit heran.
"Bentar bos, kita mau bicara penting." Trian menyahut.
Freya menurut, dia menunggu temannya untuk bicara.
"Ya, kita udah buat rencana. Arkan minta pendapat lo, gimana kalo kita…serang dia."
````````````
Galen mengikat kepalanya dengan slayer, Milano mengusap hidungnya dengan jempol, Trian memukul balok kayu ke talapak tangannya, Guntur bertolak pinggang seakan menantang, sedangkan Arkan menatap lurus. Cowok-cowok itu menanti musuhnya yang sedang di perjalanan.
"Ar, gimana kalo Freya makin marah?" Milano masih kuatir, Freya sangat menentang saat Trian menyimpulkan.
"Jangan mikirin dia! gue udah muak sama si, Richo." Arkan bahkan tidak peduli lagi, Freya sudah terlanjur marah padanya.
Tidak ada yang membantah, semuanya diam jika Arkan sudah bertindak.
"Hai, nunggu gue lama?" cowok tinggi berkulit bersih itu berjalan mendekat, wajahnya masih menampilkan bekas luka.
Trian tertawa terbahak-bahak, "Lo emang sengaja ngulurin waktu, ya. Biar bisa minta do'a dulu sebelum perang di mulai?"
Richo tersenyum manis, "Gue kalah..emang karena untuk menang, bukan karena..pecundang." iris 'nya menatap Arkan penuh makna.
Arkan menelan ludah kasar, tangannya sudah gatal ingin meninju wajah cowok penjilat itu.
"Richo! mana pasukan lo?" Galen menatap Richo marah.
Cowok itu memang murah senyum, dia menjawab, "Udah ga sabar, ya, mau main hajar-hajaran lagi? Kangen gigitan gue di tangan lo?"
"Keparat!"
Richo tertawa kencang, tangannya sampai memegang perutnya yang terasa sakit.
Arkan berjalan maju cepat untuk meninju Richo hingga cowok itu terdorong ke belakang.
Richo menepis darah yang berhasil keluar dari sudut bibirnya, dia mendesis lalu berdiri tegap. "SERANGGGGG!!!!!!!!"