Richo berlari terbirit-birit saat dia melihat ada seseorang yang mencurigakan. Napasnya memburu, tubuhnya bersender ke tembok yang menjulang tinggi di tempat persembunyiannya. Richo tidak tahu kenapa ada orang yang menutup seluruh wajahnya, Richo yakini orang itu akan menyelakainya.
Saat dia baru keluar dari toko, entah kenapa orang bertopeng itu mengejarnya, Richo jelas panik begitupun terkejut. Dan lagi orang itu tidak sendiri, melainkan lebih dari satu. Richo tidak pernah takut, tapi dia menghindar karena suatu alasan lain. Apalagi jika bukan karena Freya. Cewek itu pasti sudah menunggu lama di tempat yang sudah di janjikannya.
Richo buru-buru pergi dari tempat persembunyiannya, dia tidak ingin membuat Freya kesal karena terlambat dengan masalahnya di jalan.
Freya memang masih di tempatnya, dia duduk sendiri di bangku taman disana.
"Freya." panggil Richo.
Cewek itu mendongak, menatap datar Richo.
"Sorry, gue telat." lanjut Richo yang duduk di sebelah Freya.
Freya berdiri, dia berimbuh, "Gue ada urusan lain, kayaknya harus pergi sekarang."
Richo ikut berdiri, "Gue capek kesini lo pergi!"
Freya masih sama, "Gapeduli, telat itu kesalahan lo." Freya melongos pergi meninggalkan Richo.
Cowok itu mendesis kesal, "Sial!"
Gara-gara orang bertopeng itu dia jadi di tinggalkan begitu saja oleh Freya, tangan Richo mengepal kuat, rahangnya mengeras. Dia pasti akan mencari siapa dalang dari orang bertopeng tadi, Richo akan segera menemukannya.
^^^
Freya termenung, atensinya teralihkan dengan pajangan foto-foto yang selama ini dia simpan di tempat yang aman. Devan menatap Freya saat adiknya ada di ambang pintu.
"Kak Devan, buatin ini semua? Buat apa?" Freya bertanya heran.
Devan tersenyum lebar, dia sama sekali tidak berniat untuk membuat kejutan kecil untuk Freya.
"Idenya, Arkan, si." gumamnya.
Freya melirik kanan-kiri, dia tidak melihat keberadaan temannya.
"Dia 'nya kemana?"
Devan cengengesan, tangannya menggaruk leher belakang, "Ga ada."
Freya menghela napas, dia melihat dekoran yang lumayan bagus disana. Devan selain tampan juga bisa di andalkan ternyata.
"Kakak tau? Kenapa Arkan nyuruh Kakak buat dekor kamar aku? Lebih tepatnya pajang foto, itu." Telunjuk Freya mengapung, menatap Devan menunggu jawaban.
Devan mengelus dagu berpikir, "Arkan bilang bantu dekor kamar kamu aja, selebihnya ga ada."
"Jadi, tadi dia sempet bantu Kakak?" kepala Devan mengangguk tiga kali.
Kenapa Arkan tiba-tiba mempunyai pikiran untuk mendekor kamar Freya? Padahal kamar itu selalu terlihat rapi, dan juga nyaman.
Untuk pertama kalinya kamar Freya di dekor seperti kamar idaman remaja umumnya, Freya tidak pernah terpikirkan tentang kamarnya yang tidak pernah berubah sedikitpun sejak kecil. Dia hanya mementingkan tentang dirinya yang terus terpuruk oleh dendam di hatinya. Freya tidak berniat juga untuk mengubah kamarnya menjadi lebih—menarik.
Foto-foto saat Freya masih bayi, Freya yang belajar berjalan hingga ada satu foto yang Freya lupakan…dia dan Rino. Figura itu di raih, Freya menatap lamat foto tersebut.
Devan menghampiri Freya, kepalanya miring ke kanan. Cowok itu menatap Freya yang hanya terdiam.
"Kamu masih belum rela?"
Freya melirik, figura itu di simpan terbalik.
"Apa selama ini, aku salah?" Freya menunduk dalam, perasaan yang Freya alami ini memang rumit. Freya membenci teman kecilnya, tapi apa Rino juga tenang di alamnya?
Devan merangkul bahu Freya, tangannya mengelus lembut, "Kamu ga salah, keadaan yang salah. Kakak gamau kamu terpuruk ke jalan yang salah juga."
"Freya harus maafin, Richo?
Dan relain Rino?"
Devan menghela napas berat, kepalanya mengangguk pelan.
Bagaimanapun juga memang Richo belum tentu bersalah, Freya harus mencari bukti lagi yang lebih kuat. Tapi, kenapa saat Freya melihat wajah Richo rasanya muak sekali, ingin rasanya Freya mencabik wajah itu. Freya benar-benar benci, Richo itu bermuka dua. Kenangan dulu sedikit-demi sedikit memudar begitu saja, Freya melupakan saat Richo yang selalu menyayangi dan melindunginya. Awalnya Freya berpikir, Richo adalah laki-laki yang Freya kenali dengan segala talentanya. Laki-laki pertama yang membuatnya nyaman dan merasa aman, Richo teman baiknya. Freya sampai berjanji akan terus di sampingnya, namun takdir berkata sebalikya. Manusia memang penuh kata janji, tapi banyak yang tidak ter-tepati.
***
"Bebek kemarin lo apain, Tur?" Trian beragumen dengan Guntur, sudah menjadi kebiasaan mereka berdua mengacuhkan keberadaan teman-temannya yang sedang makan siang dengan khidmat.
Guntur sok berpikir, "Kayaknya di makan mak gue." jawabnya.
Trian tertawa, "Halah ga percaya gue, palingan lo kasih ke gebetan lo 'kan?" semua temannya lagi-lagi hanya diam tak menggubris , lawakan kali ini terdengar garing.
Trian dan Guntur padahal sudah berusaha untuk membuat temannya merasa terhibur, tapi nihil. Gelakan tawa yang selalu membuat murid lain risih menghilang begitu saja. Lagipula pasti siswa-siswi di kantin akan merasa kesepian juga, karena kebiasaan itu sudah menjadi terbiasa. Rasanya sunyi dan sepi jika geng Freya tidak berbuat rusuh di kantin.
"Kalian semua kenapa, si?" Nayla yang sudah berada di geng itu bertanya bingung. Cewek itu juga sering sekali merasa tak nyaman saat geng itu terpingkal sebelum dia berniat ingin berteman.
Freya masih memakan burger kesukaanya, sedangkan Arkan hanya mengaduk jusnya dengan sedotan.
Milano dan Galen saling melirik dengan sendok yang berada di depan mulutnya.
"Hooh. Kenapa coba? Gue udah lawak bareng Guntur daritadi malah garing." Sahut Trian yang kesal.
Guntur hanya mengangguk sambil melanjutkan makan siangnya yang tertunda karena candaannya tadi.
Freya meminum jus jeruk favorite 'nya.
Arkan mulai bersuara, dia berucap, "Gue lagi bingung aja."
Semuanya menatap Arkan seksama, sepertinya Arkan ada masalah.
"Lo ada masalah?" tanya Freya.
Arkan melirik satu-persatu temannya, "Tadi malam kamar gue kecolongan."
"WHAT!" pekik Trian, Guntur, Milano bersamaan.
Freya masih menatap, menunggu kelanjutan ucapan Arkan.
"Maksudnya kamar lo ada yang bobol maling?" tanya Milano.
Arkan menggeleng, "Barang-barang aman, si."
Mereka saling merilik tak paham.
"Gue udah coba cari apa yang di ambil, tapi nihil semua barang-barang gue ada di tempatnya." sarkas Arkan.
Teman-temannya bertambah bingung sekaligus berpikir siapa yang sudah masuk kedalam kamar Arkan.
Galen mengingat ucapan Milano malam tadi, "Apa, ini ada hubungannya sama ucapan tadi malem, No?"
Atensi tertuju pada Milano, semuanya meminta jawaban jelas.
"Iya mungkin. Gue kira Cuma perasaan gue aja. Jangan-jangan, orang itu ada hubungannya sama orang yang gue maksud." Jelas Milano.
"Siapa?" serempak semuanya.
Milano menatap serius lalu bahunya ke atas lesu tanda tak tahu juga.
Semuanya menatap malas, mereka pikir Milano tahu orang yang di curigainya.
Cowok itu menggaruk leher belakangnya yang tiba-tiba gatal.
"Tapi, apa lo curiga sama seseorang gitu?" tanya Guntur yang penasaran juga.
Milano berpikir keras, lidahnya bermain di dalam mulutnya, "Gue curiganya, ya,
si, Richo."