"Vin, Geisha bilang Kau menginginkan wanita itu lagi tapi Kau takut sama dia, benarkah itu? Menggelikan sekali Kau Vin," ucap Gerry.
Vincent terkejut mendengar ucapan Gerry yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang ada. Mengapa Geisha bisa mengatakan hal itu, padahal Ia sama sekali tidak pernah mengatakan apapun tentang Bella kepada Geisha.
"Hah, takut? Ah, Geisha mengada-ada. Ia bilang apalagi tentangku, Ger?" tanggap Vincent.
Ia dan Gerry tengah berada di gym yang sama. Vincent menenggak air mineral equil yang Ia pesan dari bar. Ia mengusapkan handuk kecilnya ke leher kemudian kembali menuju ke tempat angkat barbel.
"Tidak ada," jawab Gerry singkat tanpa memandang ke arah Vincent. "Omong-omong mengapa Kau bertanya seperti itu? Kau takut Geisha menjelek-jelekkanmu?"
"Ah, tidak juga," sahut Vincent. Ia hanya takut jika kebohongannya meniduri Bella terdengar oleh Bella, akan hancur harga dirinya.
"Jangan mendekat, aku mau ganti," Vincent mengeluarkan kemeja dan celana kainnya dari dalam laci. Kamar ganti saat ini sedang penuh sedangkan Vincent tidak butuh berlama-lama karena Ia harus menghadiri jamuan makan malam keluarga. Kolega Ayahnya datang dari Los Angeles malam ini.
"Kau kira aku menyukai sesama jenis?" sahut Gerry sambil bersungut-sungut.
"Aku tidak menuduhmu seperti itu," tanggap Vincent atas kesalahpahaman temannya. Ia merasa Gerry malam ini sedang sangat sensitif.
"Kalau begitu, biarkan aku juga ikut ganti di situ," Gerry memegang daun pintu kamar ganti.
"Tidak bisa, kita harus bergantian," otot Vincent.
"Kalau begitu, aku dulu yang ganti," Gerry meminta Vincent untuk minggir. Tentu saja Vincent yang sedang dilanda ketergesa-gesaan sangat kesal.
"Tidak bisa, aku dulu." Vincent pun menarik daun pintu lebih kuat.
"Vin, bisakah Kau waras sebentar saja, aku sangat terburu-buru," ujar Gerry.
"Memangnya Kau kenapa?"
"Aku akan tidur bersama Geisha malam ini, Kau sendiri kenapa tergesa-gesa?" jawab Gerry membuat mulut Vincent menganga seketika.
"Hah?! A … aku ada jamuan makan malam keluarga," jawab Vincent.
"Halah, acara klasik," ucap Gerry.
"Ibuku akan mengamuk empat puluh hari empat puluh malam jika aku tidak ikut," keluh Vincent.
Akhirnya Vincent mengalah, pantas saja Gerry sangat sensitif, ternyata Ia sedang butuh pelepasan. Vincent menyesal telah memaksanya untuk menemani pergi ke gym sore ini. Tapi dengan begitu Ia jadi tahu bahwa ternyata temannya juga berlangganan wanita panggilan yang sama dengannya.
Tentang Geisha, Vincent sudah tidak heran dengan reputasinya sebagai wanita malam yang mau tidur dengan lelaki mana saja bak piala bergilir. Tetapi Vincent sangat heran kepada Gerry, apakah Ia tidak tahu jika Geisha baru saja melakukan hubungan intim bersama dirinya di kantor? Bukankah Ia sudah bertemu dengan Geisha dan membicarakan banyak hal termasuk membicarakan Bella?
Vincent menghela nafas sembari mempercepat laju mobilnya karena waktu semakin petang. Malam ini akan diadakan acara gala dinner yang entah ke berapa di keluarganya. Biasanya acara seperti itu dibarengi dengan acara pertemuan bisnis atau pertunangan antar anak pengusaha. Tapi Ia tidak peduli malam ini, yang penting Ia datang dan sesekali menjawab pertanyaan atau menyapa balik anak-anak gadis di sana.
Sesampainya di parkiran rumah -lebih tepatnya mansion, Vincent langsung masuk lift yang menuju kamarnya. Ia mandi kilat lalu berpakaian dan berdandan sebagaimana anak-anak keluarga bedarnya yang lain. Kemeja dan jas hitam bertengger rapi di bahunya yang kekar, Vincent mematut diri di cermin sebelum keluar ke ruang tengah di mana seluruh keluarga besar dan kolega ayahnya berkumpul.
"Eh, Nak Vincent. Dari mana saja Kau baru muncul, Nak?"
Tiba-tiba saat acara inti belum dimulai, seorang Ibu duduk di seberang mejanya. Vincent memang memilih duduk di tempat yang masih kosong dan enggan berkumpul dengan Ayah Ibunya. Toh, tidak berkumpul dengan mereka pun, mereka sudah tahu dengan kehadiran Vincent.
"Habis dari gym, Tante," jawab Vincent singkat.
"Wah, kereeen. Cil, panggilkan Kakakmu suruh gabung ngobrol sama Nak Vincent," ucapnya pada anak kecil yang Ia bawa. Tingginya agak sama dengan tinggi meja makan di depan Vincent hingga tadi Ia mengira Ibu tersebut mendekatinya seorang diri. Vincent tidak terlalu memperhatikan, hanya saja Ia tertawa dalam hati mengingat pikirannya barusan yang negative thinking bahwa Ibu itu akan PDKT kepadanya.
"Kak Dona …." Gadis kecil yang dipanggil Cil tersebut berseru memanggil Kakaknya.
Wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun menghampiri si pemilik suara. Wanita itu tinggi semampai dengan tubuh yang sangat ideal, Vincent sudah mengakui itu meski pada pandangan pertama. Ia duduk di samping Ibunya, berhadapan secara tepat dengan Vincent.
"Ini yang namanya Vincent, Don. Vin, kenalkan ini Primadona, anak Tante yang sekarang sudah besar," ucap Ibu tersebut. Vincent tidak ingat Ia adalah bagian dari keluarga besarnya atau kolega ayahnya. Lagi pula itu tidak penting baginya.
Primadona menganggukkan wajah kepada Vincent, lelaki itupun membalasnya dengan sama sopannya. Tak lama kemudian, mereka mengajak Vincent mengobrol -lebih tepatnya Ibu tersebut bertanya sedangkan Vincent menjawab. Vincent hanya mengerutkan dahi melihat Ibu dan anak-anak di depannya menanyakan hal remeh temeh kepada dirinya.
"Kamu lebih suka minum kopi atau teh?"
"Kopi, Tante," jawab Vincent.
"Lebih suka pakai kaos atau kemeja?"
"Mm… tergantung kondisi sih, Tante. Tapi sebenarnya lebih nyaman pakai kaos," jawabnya lagi.
"Oh, ya ya ya. Terus kamu sekarang lagi dekat dengan gadis mana?"
Hah? Oh My God. Vincent tidak berminat memiliki komitmen untuk menjalin hubungan kasih sayang dengan wanita manapun, Ia hanya suka wanita sekali pakai, dan sekarang entah sudah berapa ribu wanita yang Ia tiduri.
"Oh, tidak ada kok, Tante. Saya tidak suka pacaran," jawab Vincent. Ia tidak berbohong, nyatanya Ia tidak punya pacar. Ibu tersebut dan Primadona sama-sama terkejutnya.
"Ya ampun, sayang sekali. Padahal kalau Tante lihat kamu itu tampan sekali lho, Nak. Apa jangan-jangan kamu kalau bepergian selalu pakai masker dan kaca mata hitam?"
Vincent semakin risih dengan pertanyaan menyebalkan yang menyerangnya. Ingin rasanya Ia kabur begitu saja dari meja ini. Untungnya, handphone-nya berdering dan Ia mendapat kesempatan emas untuk beranjak dari kursi.
"Maaf, Tante. Ini kolega saya nelpon," ucap Vincent berbohong. Padahal yang menelepon adalah teman-teman laknatnya.
"Oh, teman bisnis," ujar Ibunya Primadona.
"Vin, ayo keluar," suara Farell langsung memekakkan gendang telinga Vincent.
"Aduh, Kau ini. Aku masih ada acara keluarga," desis Vincent.
"Kabur saja," seru Tommy yang suaranya terdengar dari jauh. Tidak ada Gerry karena Gerry sudah jelas sedang bersama Geisha.
"Oh, tidak bisa kalau sekarang. Aku nyusul tengah malam nanti," sahut Vincent.
"Halah, Vincent!"
"Acaranya belum selesai, Bro," Vincent semakin kesal dengan teman-temannya.
"Makanya kubilang kabur saja," Tommy mengulangi ucapannya.
Ia tidak suka berada di situasi seperti ini, gala dinner adalah acara kutukan baginya sementara bermain dengan teman-temannya di kelab malam adalah lebih kutukan lagi, tapi menyenangkan.
***