Pak Wijaya duduk di kursi anyaman dekat jendela, tidak bergerak seperti patung. Dia sempat melihat naskah Dirga yang berjudul "Kebanggan Sang Petarung" yang ditulis oleh Dirga untuk sementara waktu. Sekarang saat lampu sudah redup, dia mengesampingkan naskah itu. Dia bersandar di kursi anyaman, menutup mata dan beristirahat.
Plot di naskah itu tidak ribet. Ceritanya diangkat dari kisah cinta seorang lelaki membosankan dan gadis liar. Ada juga kisah tentang pahlawan dan kesatria yang mengabdi pada negara dan rakyat. Isi cerita ini sangat mirip dengan "Legenda Para Pahlawan" yang baru saja diselesaikan oleh Pak Wijaya. Namun, settingnya sama dengan novel "Pasangan Sang Pahlawan".
Jika bukan karena ada nama Dirga di naskah itu, Pak Wijaya akan menganggapnya sebagai karya orang lain yang dipadukan bersama hingga membuat cerita baru.
Ilham melihat sekeliling ke pintu masuk ruang kerja untuk waktu yang lama. Pak Wijaya terbatuk dan memintanya untuk masuk dan berbicara. Pak Wijaya bertanya dengan kalimat pertamanya, "Apakah kamu yakin naskah ini benar-benar ditulis oleh anak itu?"
Ilham sangat yakin akan hal ini, karena dia telah melihat Dirga menulis itu semua dengan matanya sendiri. Saat mengetahui bahwa Dirga mengadaptasi cerita ke dalam naskah serial TV saat menulis novel, Pak Wijaya masih tidak terlalu mempercayainya. Itu berubah setelah dia mendengar tentang rencana Dirga dari Ilham. Pak Wijaya hanya bisa menggelengkan kepalanya, "Dari mana dia bisa mendapatkan ide seperti itu? Sepertinya dia bukan orang biasa. Aku jadi penasaran dengannya."
"Apakah menurutmu metode ini buruk?" Ilham bingung.
"Itu bagus, hanya saja ini akan menjadi sedikit rumit dan tidak ada artinya." Pak Wijaya melirik naskah yang ada. "Televisi lebih berpengaruh daripada surat kabar. Selama serial TV dimulai, sulit baginya untuk membuat novel yang dirilis secara bersamaan untuk mendapatkan hasil penjualan yang tinggi. Novel itu pasti akan tenggelam oleh film yang dirilis di TV."
Ilham bertanya dengan suara rendah, "Lalu bagaimana dengan naskah ini? Apakah itu tidak akan berguna sekarang?"
Pak Wijaya memiliki pendapatnya sendiri, dan hanya berkata, "Besok aku akan merekomendasikan kepada seseorang untuk mencobanya. Kamu tidak perlu khawatir tentang ini."
____
Memanfaatkan tren rating yang dipicu oleh "Penembak Jitu", Pak Wijaya memang berniat membuat beberapa film tentang seni bela diri lagi. Ide ini juga mendapat dukungan kuat dari Pak Yuvan, rekan kerjanya. Awalnya, Pak Wijaya berencana untuk menemukan salah satu karya seorang penulis terkenal, Jehian, yang tersisa untuk diadaptasi dan dijadikan serial TV atau film. Namun, naskah Dirga memberi Pak Wijaya ide-ide baru.
Karya Dirga itu tampak megah dan berbeda, memberi kesan yang cukup menarik. Karya itu juga mengandung esensi dari cerita "Legenda Para Pahlawan" dan "Pasangan Sang Pahlawan". Satu-satunya kekurangan dari tulisan Dirga adalah ceritanya yang terlalu pendek. Menurut Pak Wijaya, dia hanya bisa syuting delapan episode dan tidak bisa menghasilkan banyak uang.
Setelah membaca naskahnya, Pak Wijaya memutuskan untuk membuatnya menjadi serial TV. Dia tidak memberi tahu Ilham tentang ini. Pertama, dia tidak ingin Dirga terlalu bangga akan hal itu, dan kedua, dia ingin menjaga harga naskahnya agar tetap rendah.
Dirga berani menjual kepada Jembatan Imaji sebesar 100 juta untuk satu naskah film. Handoko memintanya untuk mengirimkan cek yang telah diisi ulang kepadanya keesokan harinya. Meskipun masalah ini tidak dipublikasikan, beritanya telah keluar. Sebelum Pak Wijaya mengambil keputusan, berita itu sampai ke telinga Pak Yuvan.
Sore itu, Pak Yuvan sedang duduk diam di sofa di depan jendela yang menjulang dari lantai ke langit-langit. Dia menyaksikan pemandangan matahari terbenam yang secara bertahap menghilang di antara ombak berkilauan di pelabuhan. Ada sisi melankolis di dalam hatinya saat menikmati pemandangan itu. Meski dia selalu menunjukkan bahwa dia masih sehat di depan dunia luar dan media, seiring bertambahnya usia, dia merasa tidak mampu melakukan beberapa hal seperti sedia kala.
Sekarang strategi pengecekan dua kali dari Soe Bersaudara dan Jembatan Imaji untuk memperbaiki kualitas filmnya tampaknya berhasil, tetapi sebenarnya strategi itu penuh dengan krisis. Selama beberapa dekade, film buatan Soe Bersaudara telah diproduksi dengan metode sekali pemeriksaan, yaitu hanya pada saat proses pengeditan di studio. Itu membuat standarnya tidak merata. Di sisi lain, hasil dari pengaplikasian strategi pengecekan dua kali itu membuat produksi film di kedua perusahaan itu menjadi lebih baik. Film Indonesia yang sensasional, "Dua Pencuri Bodoh", buatan Jembatan Imaji dapat mencetak rekor box office sebesar 41 juta, dan Soe Bersaudara sendiri menyumbang hampir 40% dari pendapatan itu karena telah menayangkan film itu di platform online.
Awalnya, Soe Bersaudara ingin menekan lawan, tapi dia tidak menyangka Jembatan Imaji akan memanfaatkannya. Soe Bersaudara mendapat untung kecil dan menjadi sedikit rugi. Selama ini, suasana hati Pak Yuvan tidak kunjung menjadi lebih baik. Pak Yuvan berdiri dengan gemetar sampai lampu di luar jendela menyala. Farah, yang selama ini berdiri di belakangnya, buru-buru melangkah maju untuk membantunya. Dia dengan lembut membujuknya, "Tidak baik untuk terus duduk seperti ini sepanjang waktu. Hati-hati, nanti masuk angin."
Pak Yuvan memberi tanda bahwa dia baik-baik saja. "Farah, bagaimana kabar perusahaan?"
"Pak Wijaya memang memiliki naskah yang ditulis oleh Dirga, tapi itu adalah naskah untuk serial TV, bukan naskah film."
"Itu saja?" Pak Yuvan merasa kecewa, lalu bertanya: "Apakah menurutmu pria bernama Dirga itu akan menulis naskah untuk Soe Bersaudara?"
"Jembatan Imaji memberikan harga yang begitu tinggi. Apakah kita harus membayar lebih mahal untuk membeli naskah darinya?" Farah tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Di masa kejayaan Soe Bersaudara, dialah yang sangat merasa bahwa film dipengaruhi oleh televisi. Pak Yuvan direkomendasikan untuk menawar sebuah stasiun televisi, tapi dia tidak melakukannya.
Soe Bersaudara sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan dalam dua tahun terakhir, tapi stasiun TV yang dimaksud justru semakin kuat dan kuat. Farah selalu membujuk Pak Yuvan untuk meninggalkan film dan berspesialisasi di serial TV saja. Tentu, dia tidak ingin masalah ini menjadi lebih berat nantinya. "Pak Handoko aman karena jaminan pendapatan dari film sebelumnya. Apakah tidak terlalu berisiko bagi kita untuk melakukan ini?"
Pak Yuvan berpikir sejenak dan merasa Farah masuk akal, jadi dia harus melepaskan ide itu. Farah tahu bahwa ketenaran Soe Bersaudara Yifu telah hilang karena Soe Bersaudara telah tertinggal jauh oleh Jembatan Imaji. Oleh sebab itu, dia membujuk, "Sebenarnya, kita dapat mencoba bekerja sama dengan Dirga sekali di serial TV. Pak Handoko membayar harga tertinggi untuk naskah filmnya, dan kita bisa membayarnya lebih rendah untuk membeli naskah untuk serial TV. Atau kita juga bisa beli dengan harga tertinggi."
"Lalu menurutmu berapa harga yang tepat?" Pak Yuvan sangat tertarik dengan ide ini.
"Sepuluh juta untuk satu episode?" Farah cukup yakin, tetapi untuk menentukan angka ini, dia telah melakukan banyak pemikiran di belakangnya. Farah akhirnya datang dengan standar harga berdasarkan episode. Dirga hanya perlu menulis naskah untuk serial TV dengan delapan episode, sehingga harga total naskah tidak melebihi naskah yang pernah dibeli Soe Bersaudara dari Jehian. Jika begitu, aspek lainnya bisa diurus dengan baik.
Pak Yuvan mengangguk, dan segalanya beres.