Seperti pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga. Itu yang tengah dirasakan Dewa. Bagaimana tidak, ia yang sudah membuat banyak kesalahan dengan Ara. Seperti menyalakan api yang belum sempat ia padamkan. Tapi Alana, malah menambahkan bahan bakar.
Bukankah, akan terasa semakin besar dan menakutkan serta menyakitkan bagi Ara?
Dewa tak berkata apa-apa. Mulutnya seperti terkunci, dan tak bisa mengeluarkan suara. Dewa mencengkeram rambutnya yang sudah mulai memanjang, dengan sangat frustasi. Dito, hanya menepuk-nepuk halus pundak Dewa, berusaha menenangkan, dan memberinya dukungan.
"Sekarang, ayo kita buat Ara bahagia! Sekalipun, dia gak bersama diri lu," ajak Dito.
"Menurut lu, apa gue bisa?" tanya Dewa.
"Bakalan susah, karena gue tahu, lu sangat mencintai Ara."
"Tapi Dit, rasa cinta gue, serasa berubah menjadi rasa bersalah. Salah karena udah nyakitin dia, sampai ke dasar-dasar hatinya."