Hari yang cerah telah menyambut kelima pemuda untuk memulai petualangannya di Jogjakarta. Dewa yang sudah memesan sebuah mobil beserta sang sopir sudah stanby di depan lobby hotel, menunggu Ara dan Dewita turun dari kamar hotel.
Juna sudah duduk manis di sebelah sang sopir mengenakan kemeja berlengan pendek dan sebuah topi berwarna putih bertengger di kepalanya. Dito yang menemani Juna di luar mobil kompakan mengenakan celana pendek dan kaos putih yang ditutupi kemeja berlengan pendek tanpa dikancingkan dengan warna yang berbeda.
"Wa, hari ini kita ke mana aja?"
"Banyak kak Jun. Tapi kita ke Borobudur sama Prambanan dulu aja, mumpung masih belum terlalu panas. Jadi kita bisa puas berkelilingin Borobudur dan Prambanan."
"Ohh, oke deh."
"Sorenya kita jadi ke pantai kan, Wa? Liat sunset?"
"Jadi dong, Dit."
Tak beberapa lama, kedua gadis yang dinanti menunjukkan diri di hadapan Dewa dan Dito, sedangkan Juna masih asik menunduk memperhatikan ponselnya.
"Eh, sorry kita lama."
"Iya gak papa, Ra"
"Yaudah yuk berangkat!"
"Lets go!"
Mobil van berwarna putih mulai melaju meninggalkan lobby hotel dan bergabung dengan segala jenis kendaraan di jalanan ramai Jogjakarta. Juna yang terlihat fokus memandang jalanan depan tapi telinga standby mengarah ke bangku belakang.
Sekali-kali Juna melirik memperhatikan seseorang melalui kaca kecil di dalam mobil. Sebisa mungkin menghindari saling bertatapan dengan seseorang yang selalu dia perhatikan di kaca tersebut. Dewa dan Dito yang duduk saling berhadapan dengan satu kaki dinaikan ke jok mobil, mulai melakukan segala jenis perbincangan, agar Suasana di dalam mobil mampu terus mencair dengan baik.
Borobudur…
Mobil Van mulai memasuki area parkir di kawasan wisata Borobudur. Kelima pemuda bersiap-siap untuk keluar mobil dan memulai petualangannya.
"Mas, saya tunggu di sini saja ya?" ucap sang sopir, yang bernama pak Saidi.
"Bapak gak mau ikut saja?" ajak Dewa.
"Ndak usah mas. Saya sudah sampai hafal area sini," ucapnya sambil tersenyum.
"Baiklah kalau seperti itu, bapak hati-hati ya pak?"
"Iya mas."
Setelah keluar mobil, mereka disambut dengan beberapa penjual yang menawarkan dagangannya. Mayoritas penjual menawarkan barang yang sama, yaitu topi dan kain penutup bagi turis domestic maupun luar negeri yang kiranya menggunakan pakaian yang tidak sopan.
Ara dan Dewita memutuskan untuk membeli sebuah topi dan beberapa botol minuman, karna sepertinya mereka akan membutuhkan barang tersebut di perjalanan. Dito, Dewa dan Juna memutuskan membeli kain. Mereka berpikiran jika mengenakan celana pendek sedikit kurang sopan jika tidak ditutupi.
Saat mengantri untuk membeli tiket, mereka memutuskan untuk membeli paket tiket masuk. Tiket untuk masuk ke Borobudur dan dilanjutkan tiket masuk ke Prambanan, tak lupa mereka mengabadikan moment-moment berada di Borobudur. Foto di depan tulisan Borobudur di depan pohon beringin besar, dan di beberapa sudut yang terlihat menarik bagi mereka.
"Hey, hey. Coba lihat!" pinta Dito.
Spontan semua orang mengarah ke tangan Dito yang menunjuk ke suatu tempat. Tempat yang ditunjuk oleh Dito adalah sebuah bangunan candi megah yang menjulang tinggi seolah menyambut mereka berlima dan mempersilahkan mereka masuk.
"Subhanallah," ucap Ara dan Dewita berbarengan.
"Amazing, Dit."
"Keren kan, kak?"
"Iya Dit."
"Ayo kita lanjutan! Gue gak sabar pengen cepet sampai sana Dit," ucap Dewa.
Mereka semakin bersemangat menuju sebuah kemegahan yang tersaji, walau harus menaiki berpuluh-puluh anak tangga, mereka seolah tidak terlihat lelah. Tinggal satu anak tangga terlewati, mereka akhirnya berada di pelataran luas candi Borubodur.
Ara membalikkan badan melihat ke arah dia datang, dan melihat akan pemandangan yang dia temukan. Rute yang tadi dia lalui bersama dengan teman-temannya terlihat sangat jauh berada di bawahnya, tapi terlihat hijau karna rerumputan yang tumbuh subur.
Menatap jauh, Ara menemukan sekitaran wilayah Borobudur yang mampu dia lihat dari atas pelataran candi ini.
"Jika malam hari, pasti akan terlihat kerlap-kerlip cahaya indah di sana." Gumam Ara, sambil tersenyum takjub.
"Kamu suka?" ucap seseorang, tiba-tiba menanggapi.
"Hem," reflek Ara mencari sumber suara.
"Iya Jun. Gue suka," ucap Ara.
"Siap untuk ke atas?" ajak Juna.
"Lhoh, yang lain mana?"
"Tuh," ucap Juna, sambil menunjuk ke gerombolan yang tak lain adalah Dito,Dewa dan Dewita yang sudah menaiki candi terlebih dahulu.
"Iih, mereka kok ninggalin kita Jun?"
"Kamu terlalu asik memandangi keindahan yang barusan Ra, jadi kamu gak sadar kalau mereka sudah mengajak kamu untuk berjalan."
"Ohh. Keindahan yang tadi memang sayang untuk dilewatkan, Jun."
"Sama. Kamu juga seperti itu."
"Aku? Maksud kamu Jun?"
"Oh, gak ada maksud apa-apa Ra. Yaudah yuk jalan!"
"Oke Jun"
Tangga per tangga dilalui, tinggi tangga yang tidak sesuai dengan standar pembangunan di dunia arsitektur saat ini, membuat kaki sedikit kewalahan. Mungkin tangga ini sebagai pengingat, bahwa untuk mencapai atas atau kesuksesan, perlu sebuah usaha extra dan berliku.
"Kamu, masih kuat Ra?"
"Bismillah Jun, tapi kita berhenti dulu sejenak ya?"
"Iya, Ra."
Bunyi dering ponsel…
"Iya Dit."
"Iya, kakak bareng Ara kok."
"Bentar lagi kita sampai."
"Yaudah, tunggu kita di sana ya!"
"Oke Dit," ucap Juna.
"Kenapa Jun?"
"Dito nanyain kamu, nomer kamu gak bisa dihubungin katanya."
"Oh, aku sengaja matiin ponsel Jun. Biar hemat baterainya," ucap Ara sambil nyengir.
"Oh, mereka udah sampai di atas Ra."
"Beneran?"
"Iya."
"Kalau gitu, kita jalan lagi yuk Jun!"
"Oke."
Tinggal dua anak tangga, akhirnya Juna dan Ara hampir sampai di candi teratas. Dewa yang sudah melihat keberadaan mereka berdua, bersiap menyambut tangan Ara.
"Sini, gue bantuin Ra!"
"Thanks Wa."
Entah mengapa, Juna seperti melihat suatu hal yang ganjil dari tatapan Dewa ke Ara. Tapi berusaha mengesampingkan pikiran-pikiran yang ganjil tersebut dan fokus memperhatikan langkah kakinya menaiki anak tangga.
"Ra, sini!"
"Iya Dit."
Dito dan Dewita sudah berdiri berdampingan memandangi pemandangan luas di sekitaran Borobudur. Ara melangkahkan kaki menuju Dewita.
"Akhirnya lu sampe juga, Ra."
"Iya dong, Wit"
"Sorry gue ninggalin elu. Kirain gue, lu ada di belakang kita Ra."
"It's oke gak papa, Wit. Tadi ada Juna kok."
"Kalian bisa langsung akrab gitu ya? Padahal baru pertama kali ketemu."
"Siapa bilang baru pertama kali?"
"Emang bukan ya?"
"Bukan Wit. Kita ini temen sekelas sewaktu masa SMA dulu, Wit."
"Seriusan?"
"Iya."
"Harusnya elu udah kenal Dito dong Ra?"
"Seharusnya Wit, tapi dulu gue gak pernah main ke rumah Juna. Tahu sih rumahnya, cuman gue gak pernah mau ke sana."
"Kenapa?"
"Gak papa sih, gak nyaman aja dulu."
"Gak nyamannya kenapa?"
"Pemikiran gue saat itu, gak nyaman karna minder dia anaknya orang kaya Wit."
"Kenapa mikirnya gitu sih Ra?"
"Itu pemikiran gue yang dulu Wit. Walaupun sekarang masih sedikit insecure juga sih."
"Jadilah nyaman disamping kita Ra! Karna kita aja selalu ngerasa nyaman disamping elu."
"Iya Wit, gue usahakan. Kita foto-foto yuk!"
"Ayok, kita penuhi semua memory card di kamera digital ini." Ucap Dewita semangat.
Mereka berlima asik mengabadikan moment terindah di atas candi Borobudur, terkadang meminta tolong ke pengunjung lain untuk mengambil gambar kelima pemuda tersebut agar terlihat satu frame dibeberapa foto.
Semua tertawa bahagia dan menikmati kebersamaan yang untuk pertama kalinya mereka rasakan.