"Aku terserah sajalah," ucapku pasrah. Bila disandingkan dengan mereka berdua memang dirikulah yang paling introvert.
"Aku setuju kalau langsung ke rumahmu setelah acara ini selesai. Daripada kembali ke asrama yang pastinya akan sangat membosankan," ucap Jessy dengan bibir sedikit manyun.
"Okay, Deal! Aku sangat tidak sabar menantikan acara malam ini."
Tiba-tiba ringtone ponselku berdering. Menampakkan nama Ibu Sri. Beliau adalah tetangga samping rumahku yang aku pasrahi untuk menjaga Ibuku sementara saat aku masih di kampus. Beliau memang jarang sekali menelfonku. Ku alihkan pikiran burukku kemudian ku angkat telfonnya.
"Assalamualaikum, Bu Sri." sapaku terlebih dulu.
......
"Maya baik kok. Ibu gimana kabarnya? Sehatkah?" Tanyaku tidak sabaran.
........
"Astaga! Kenapa sampai seperti itu, Bu?" Terkejutku mendengar kabar dari sana mengenai kesehatan Ibuku.
........
"Baik, Bu Sri. Setelah acara ini selesai, Maya akan segera memesan penerbangan ke Indonesia. Maya pulang segera." Ucapku mantap. Aku tak ingin menunda kepulanganku demi keadaan Ibuku yang memprihatinkan.
......
"Iya, Bu Sri. Assalamualaikum" kataku sambil menutup telefonku.
Kurasakan cairan bening mengalir dari mataku. Mengalir lembut ke pipiku. Merasa telah menetes, kuseka air mataku. Kemudian kulihat Jessy dan Cyntia yang sedari tadi mengamatiku.
"Are you okay, May?" Tanya Jessy sambil merangkulku.
"Ada apa dengan ibumu, May?" Tanya Cyntia sambil melihat mataku lekat-lekat. Jujur, aku tak ingin membuat mereka ikut bersedih dengan ceritaku sekarang.
Kuputuskan untuk bungkam dan tak menjawab pertanyaan mereka.
"May, answer my question now!! What's wrong with your mom?" Tanya Jessy dengan paksa.
"Maya, kamu tahu kan kalau aku ini sahabatmu? Kita sudah bersahabat selama tiga setengah tahun. Aku bahkan sudah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri. Bahkan Bibi dan Ibuku saja selalu menanyai kabarmu," ucap Cyntia dengan nada yang halus dan terkesan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaanku.
"Ibuku.... Ibuku sakit parah selama ini. Aku tak pernah sedikitpun diberitahu tentang penyakitnya," aku bahkan tak bisa berbicara dengan baik karena terlalu sesak hatiku.
"Astaga!! Terus.... Bagaimana dengan keadaan ibumu sekarang? Is she okay?" Tanya Jessy. Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca.
"Kata Bu Sri, tetanggaku kalau sekarang Ibuku sedang sekarat." Sudah tak kuat lagi kutahan air mataku. Kubiarkan mereka mengalir deras di pipiku. Kubiarkan riasanku luntur dan banyak pasang mata yang melihatku menangis sesenggukkan.
"Lalu, apa rencamu sekarang? Aku akan membantumu sebisaku, May. Kau bisa mengandalkanku kali ini." Ucapan Cyntia lantas membuatku semakin terharu. Ternyata banyak teman dan sahabatku yang perhatian denganku.
"Setelah acara ini selesai, aku akan segera pulang. Secepatnya. Jadi, maaf jika kali ini aku tidak bisa ikut dengan kalian. Maaf sekali lagi dan terima kasih atas perhatian kalian," ucapku sambil menahan tangisku.
"Kalau begitu aku ikut pulang sekalian. Aku akan pulang bersamamu, May. Sebentar, aku akan meminta tolong pamanku untuk memesankan tiket penerbangan ke Indonesia hari ini juga," ucapan Cyntia sontak membuatku terkejut.
"Jangan, Cyn. Jika kau ikut pulang bersamaku, lalu bagaimana dengan pestamu? Jangan karena diriku lantas kau membatalkan acaramu itu. Kumohon, Cyn." Kataku dengan memelas kepada Cyntia.
"Persetan dengan pesta atau apapun itu, May. Aku hanya ingin pulang bersamamu. Lagipula aku juga ingin mengenal ibumu. Hehehehe. Kau santai saja," kata Cyntia dengan senyum konyolnya.
"Baiklah. Terserah kau saja, Cyntia. Maaf jika aku selalu merepotkanmu."
"Hei! Kapan kau merepotkanku, May? Kau bahkan tak pernah meminta bantuan bahkan meminjam uangku. Kau selalu berusaha sendiri. Kau juga selalu bekerja part time selama kuliah." Yah memang benar adanya. Aku selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku selama kuliah.
"Hemmm... Ngomong-ngomong sebenarnya aku ingin sekali ke Indonesia. Tapi sepertinya untuk sekarang ini terlalu mendadak. Jadinya, aku belum bisa ke Indonesia bersama kalian. Aku minta maaf, Maya." kata Jessy dengan wajah merasa bersalahnya.
"It's okay, Jes. Aku paham kok. Dan aku juga sudah sangat senang dengan perhatianmu saat ini. Sungguh tidak apa-apa, Jessy." kataku sambil membelai rambutnya.
"Hai para gadis. Hei Maya... Kau kenapa?" Aku mendengar suara pria yang menanyaiku sekarang. Kuusap air mataku dengan kasar. Kemudian kulihat siapa pria yang menanyaiku itu. Sepertinya aku mengenal suara itu.
Dan ternyata aku memang mengenalnya.
"Aku tidak apa-apa, Ryo" Kataku kepada pria itu.
Dialah Ryota Ellard. Pria campuran Jepang - Liverpool, atau lebih tepatnya dia adalah mantan pacarku setahun yang lalu. Aku yang memutuskannya karena ingin fokus kuliah. Klise memang alasanku, tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku.
"Aku tahu kau bohong, Maya." ucapnya sambil meneliti wajahku. Kuputuskan untuk tidak memperdulikannya dan pergi untuk mengikuti acara wisuda yang akan segera mulai.
****************
At Batu, Malang
"Assalamualaikum. Ibu, Maya pulang." sapaku sambil memasuki rumah joglo khas rumah jawa. Aku masuk dan diikuti oleh Cyntia di belakangku. Kutengok sekilas Cyntia yang tersenyum manis ke arahku seakan menggambarkan betapa senangnya ia akan mengenal keluargaku satu-satunya.
"Waalaikum salam. Sini, May. Ibumu sedang menunggumu di kamar. Eh kau mengajak teman to?" Rupanya Bu Sri yang menyambut kami.
"Iya, Bu Sri. Dia Cyntia, sahabatku sekampus. Kampung halamannya di Blitar. Dekat banget kan. Oh iya, aku mau langsung masuk saja ya. Cynthia, kau masuk nanti saja ya. Aku mau ngobrol dulu dengan Ibu." Ujarku.
"Assalamualaikum, Ibu." sapaku sambil mencium tangan kanannya.
"Ma... Maya.... Ka...u pul...ang... Naaaa...k?" Demi Tuhan!! Saat ini aku hanya ingin menangis, meraung-meraung. Kenapa Ibuku sampai seperti ini? Apakah sesakit itu? Kulihat tubuhnya semakin kurus dan kering. Pipinya pun semakin cekung.
"Iya, Ibu. Maya sudah pulang. Habis acara wisuda, Maya langsung pulang. Oh iya, Maya bawa teman lho. Dia anaknya cantik dan baik." kataku sambil mengamati tubuh Ibuku yang semakin memprihatinkan.
"Ma...ya... Maafka...n... Ibu, Nak." ucap Ibuku dengan nafas tersengal-sengal.
Dan semakin kuamati, wajah Ibuku semakin pucat. Tak kudengar lagi nafas Ibuku. Kuulurkan telunjukku tepat di depan hidungnya. Tak kurasakan apapun di sana. Kemudian, kusentuh pipinya dan aku sangat terkejut. Pipi Ibuku sudah dingin, begitu pula dengan tubuh Ibuku yang lainnya.
Aku semakin menangis, berteriak dan meraung-meraung. Aku bahkan tak sempat menceritakan bagaimana kehidupanku selama kuliah di Inggris. Aku juga belum sempat menceritakan tentang Jessy, Cyntia, Ryota bahkan para dosenku.
Tak lama kemudian Cyntia dan Bu Sri berlari menyusulku ke kamar. Dan mereka juga sama terkejutnya.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." ucap Bu Sri sambil mengelus punggungku.
"Aku tak menyangka, May. Kau yang sabar ya" ujar Cyntia seraya memelukku erat.
Aku sudah tak kuat lagi menangis. Pandanganku gelap dan seketika tubuhku lemas. Kututup mataku dan aku tak mendengar apapun setelahnya.
Apakah aku akan menyusul Ibuku?