Chereads / You're My Serenade / Chapter 8 - Embarassing Day

Chapter 8 - Embarassing Day

- hari yang memalukan -

Alana menunggu di depan gerbang sesuai dengan yang kemarin mereka diskusikan. Gavin sudah menghubunginya 10 menit yang lalu.

Katanya, ia akan menjemput Alana di depan gerbang sehabis mengambil motornya di parkiran.

Sejujurnya, Gavin bukan tipe orang yang berkendara sendiri kemana-mana. Ia lebih suka bepergian naik bus dibandingkan mengendarai motor. Makanya, sangat jarang melihat Gavin membawa kendaraan ke kampusnya.

Namun untuk hari ini, ia rasa lebih baik menggunakan transportasi pribadi.

ALANA'S POV

Gavin datang sambil mengendarai motornya. Dia mengisyaratkanku untuk segera naik. Aku terdiam sebentar, tidak menyangka bahwa kita akan bepergian dengan motor.

Ku pikir, kita akan menggunakan transportasi umum. Bus contohnya. Soalnya, aku ga pernah liat Gavin bawa kendaraan ke kampus sebelumnya.

Sialnya, hari ini aku menggunakan terusan (dress casual) selutut. Ugh, tidak mungkin kan aku naik motor seperti ini. Untung aja aku bawa cardigan, bisa buat nutupin jadinya hehe.

Baru saja aku ingin mengambil cardiganku, Gavin sudah terlebih dahulu menyodorkan jaketnya.

"Pake itu aja" ucapnya singkat.

"Eh? Tapi aku udah bawa ca--" belum juga aku selesai bicara, ia sudah memotongnya duluan.

"Udah pake aja" potong Gavin.

Yaa... aku tak ingin berlama-lama di luar, cuaca hari ini cukup panas. Jadi dengan cepat ku ikatkan jaketnya ke pinggangku, menutupi bagian bawah yang tak tertutupi rok. Kemudian, naik ke motornya.

Oh iya! Jika kalian bertanya-tanya bagaimana tampilan Gavin hari ini, dia memakai kaos putih polos dengan celana jeans seperti biasanya. Namun yang membuat penampilannya sedikit spesial adalah, ia mengeluarkan aura yang berbeda ketika mengenakan helm dan mengendarai motornya. Sedikit, lebih tampan dan...keren mungkin?

Ah, stop Alana! Bukan ini tujuanmu hari ini.

POV END

Gavin dan Alana melangkahkan kakinya masuk ke cafe. Sekarang sudah tengah hari, di luar sedang panas-panasnya. Untung saja jarak antara cafe dan kampus mereka tak begitu jauh.

Mereka memilih tempat duduk di pojok dekat jendela. Tempatnya lebih nyaman karena tak banyak orang yang duduk di sekitarnya. Setelah itu, mereka memesan makanan.

Sungguh, tak ada obrolan diantara mereka. Alana merasa sedikit canggung, jadi ia memutuskan untuk memecah keheningannya terlebih dahulu.

"Kamu tahu tempat ini dari mana?" tanya Alana

"..., teman" ucap Gavin singkat

Sejujurnya, ia tidak mengetahui cafe ini dari temannya. Hampir semalaman ia sibuk mencari tempat yang nyaman dan tidak berisik. Namun, tidak mungkin kan Gavin mengakuinya? Alana mungkin akan terbahak-bahak mendengar pengakuannya.

"Oh... kamu sering kesini ya?" tanya Alana lagi

Ia masih belum menyerah mengajak Gavin berbicara. Padahal ia tahu bahwa Gavin hanya akan menjawabnya dengan sepatah kata.

"Tidak" jawab Gavin

Ya, tentu saja. Ia bahkan baru mengetahu keberadaan cafe ini tadi malam. Lalu, bagaimana bisa Gavin sering kesini?

Sebenarnya, Gavin bukan malas menanggapi Alana. Hanya saja, ia tak tahu bagaimana cara berinteraksi yang benar. Dalam hati ia berharap semoga makanannya cepat datang, agar Alana tak perlu menanyakan berbagai hal kepadanya lagi.

Beruntung saja, setelah itu makanan mereka benar-benar datang. Gavin dapat menyelamatkan dirinya dari kekikukan..

Sepanjang makan, mereka tak banyak bicara. Jadi, tak ada obrolan apapun lagi.

Setelah itu, dimulailah sesi diskusi mereka. Awalnya terasa canggung, namun perlahan-lahan suasana mulai mencair. Waktu pun jadi berlalu dengan sangat cepat.ㅤ

~

"Jadi, coba kamu cari aspek-aspek apa saja yang terdapat pada karya --" terang Gavin kepada Alana.

Namun, ucapannya harus terpotong karena saat ia menengok Alana, jarak wajah mereka menjadi sangat dekat.

Tak ada satupun dari mereka yang berani bicara pada saat itu. Mereka hanya saling menatap satu sama lain. Hingga kemudian suara pelayan menyadarkan mereka.

"Maaf kak, piringnya sudah boleh saya ambil?"

"Ehm, ia ambil aja mbak." ucap Gavin dengan penuh kecanggungan.

Di lain sisi, muka Alana menjadi semerah tomat. Ia baru saja mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

Dari dekat, ia menyadari setiap detail wajah Gavin. Hidung mancungnya yang nyaris sempurna, alis tebal beraturannya, bahkan tulang rahangnya yang benar-benar proporsional.

Tanpa ia sadari, Gavin juga sedang menahan malu terhadap hal yang baru saja terjadi. Entah kenapa, jantungnya berdetak sangat kencang tadi.

Melihat muka Alana dari dekat membuat Gavin semakin menyadari betapa manis wajahnya.

Bahkan hingga sekarang, tak ada yang berani membuka obrolan. Mereka hanya berkutat dalam pikiran masing-masing.

Andai saja tadi tidak ada pelayan yang membuyarkan lamunan mereka, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Masing-masing dari mereka merasakan keanehan saat hati mereka bahkan tak mampu berhenti bergejolak hingga saat ini.

Perasaan asing yang tak bisa dipahami oleh mereka...

Seakan sadar bahwa mereka tak bisa terus seperti ini, Gavin memecah keheningan.

"Ehm, hari ini cukup sampai sini. Ayo pulang" ucap Gavin kaku sembari bangkit berdiri.

"Eh? Ah, iya... ayo" jawab Alana kikuk. Ia masih belum sepenuhnya sadar akan apa yang telah terjadi.

Baru saja mereka melangkah keluar dari cafe, sebuah suara teriakan menghentikan mereka.

"Kak... Kak!! Tasnya ketinggalan" ucap pelayan itu dengan keras kepada Alana dari jauh.

Pelayan itu menghampirinya dengan napas tersengal-sengal, untung saja mereka belum benar-benar pergi.

Sadar bahwa Alana memang lupa membawa tasnya, mukanya semakin memerah. Ia malu, sangat malu. Bisa-bisanya ia lupa membawanya.

Tak bisa dipungkiri, sudut bibir Gavin terangkat naik melihat kecerobohan Alana.

Menutupi rasa malunya, Alana langsung mengambil tas itu dan mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengembalikannya. Kemudian, ia meninggalkan Gavin yang masih menahan tawanya mati-matian.

Dalam hati, Alana benar-benar merutuki kecerobohan dirinya. Semua karena mereka yang tadi tak sengaja bertatap-tatapan. Sungguh, ini benar-benar hari yang memalukan.

Gavin menenangkan dirinya setelah kejadian tadi. Ia tahu Alana pasti sedang menahan malunya. Ia tak ingin menjadi orang jahat yang tertawa saat ada kejadian memalukan.

Setelah menyadarkan dirinya, Gavin pergi menghampiri Alana yang sudah terlebih dahulu berdiri di depan motornya.

Mereka melaju pulang. Gavin mengantar Alana ke asramanya terlebih dahulu.

"Uhm... makasih" ucap Alana dengan kecanggungan yang tersisa.

Ya, mereka sudah berada di depan asrama Alana. Berkat waktu yang sunyi sepanjang perjalanan, Alana berhasil mengatasi sebagian besar rasa malunya.

"Sama-sama. Sampai jumpa lagi" ucap Gavin.

Ini pertama kalinya Gavin berkata seperti itu. Artinya, ia sedikit menantikan pertemuan mereka yang selanjutnya bukan?

"Iya" ucap Alana kemudian berjalan menuju asramanya.

"Alana!" teriak Gavin kepada Alana yang sudah menjauh.

Deg... jantung Alana berdetak kencang saat Gavin memanggil namanya. Seakan tak ingin membuat Gavin menunggu, ia berbalik menuju Gavin.

"Iya?" tanya Alana.

Gavin tak menjawab, hanya meliriknya.

Alana yang bingung kemudian menanyakan kembali maksud Gavin memanggilnya.

"Eh, itu... kamu belum mengembalikan jaket saya" ucap Gavin sembari melirik jaketnya yang masih menggantung di pinggang Alana.

Ternyata, sedari tadi Gavin melirik jaketnya yang belum dikembalikan. Makanya tak heran ia memanggil Alana kembali sebelum sepenuhnya masuk ke asrama.

BLUSH... pipi Alana kembali memerah.

Lagi, dan lagi...

Bisa-bisanya ia lupa mengembalikan jaket Gavin.

Astaga, ia benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana pada Gavin nantinya. Rasanya Alana benar-benar kehilangan muka.

Sesegera mungkin Alana memberikan jaket itu pada Gavin dan berbalik tanpa berkata apa-apa.

Namun, Gavin kembali memanggilnya.

"Aduh, aku ketinggalan apa lagi nih? Malu banget! Hari ini memalukan banget. Aduh Alana! Kenapa sih kamu ceroboh banget?" gerutu Alana dalam hati.

Alana menghembuskan napas, menenangkan dirinya, sebelum kemudian berbalik dan menatap Gavin dari agak jauh. Ia tak sanggup mendekat. Dirinya yang sekarang sedang dipenuhi rasa malu.

"..."

"Terima kasih juga" ucap Gavin sembari tersenyum tipis pada akhirnya.

Menurut Gavin, ini bukanlah pengalaman yang buruk. Bahkan mungkin, menghabiskan waktu bersama Alana membuat hari-harinya lebih berwarna.

Setelah mendengar ucapan Gavin, Alana tersenyum lebar. Rasanya ia baru saja mendapat jackpot setelah sekian kali merugi.

"Sama-sama! Aku menantikan pertemuan kita yang selanjutnya ya!" jawab Alana dengan penuh semangat.

Semua rasa malu dan canggung diantara mereka seantara sirna. Menyisakan benih-benih bunga yang tertinggal dalam hati mereka.

Setelah itu, Alana benar-benar berjalan masuk ke dalam gedung asramanya.

Tanpa ia sadari, Gavin bergumam dari jauh,

"Saya juga menantikannya"

~

Begitulah hari dimana mereka mulai saling menanti satu sama lain...