Chereads / You're My Serenade / Chapter 10 - Night At The Ferris Wheel

Chapter 10 - Night At The Ferris Wheel

- malam di bianglala -

Setelah roller coaster, mereka memutuskan untuk naik wahana yang ringan sembari menunggu malam tiba.

Alana kapok dengan wahana ekstrem. Namun, bisa-bisanya ia masih berdalih dengan berkata,

"A-aku ga takut! Cuma ga bagus buat jantung aku aja! Ntar kalo misalkan aku kena serangan jantung tiba-tiba gimana? Kamu mau tanggung?"

Sementara Gavin? Ia hanya bisa tersenyum dalam hati melihat tingkah konyol Alana.

"Inget ya! Aku ga takut! Alana mana mungkin takut sih. Bagi aku mah itu wahana cuma kayak sejentik jari. Cuma aku gamau aja tiba-tiba kena serangan jantung. Terus aku juga kasian sama kamu, bisa jadi sebenernya kamu ketakutan banget. Cuma emang dari dasarnya aja muka kamu datar! Makanya ga ketauan. Ya pokoknya gitu deh! Inget ya sekali lagi! Aku. Ga. Takut. Sama. Sekali! " ucap Alana panjang lebar.

Padahal, Gavin sama sekali tak bicara apa-apa. Ia hanya diam dan membiarkan Alana sibuk mencari alasan.

Baginya, Alana terlihat seperti kucing kecil yang lucu. Sangat lugu dan atraktif.

~

Jam sudah menunjukkan pukul 7. Matahari sudah tenggelam dengan sempurna, digantikan dengan langit malam yang telah dinanti-nanti.

Untung saja mereka sempat membeli cemilan tadi. Jadi saat malam tiba, perut mereka tak terlalu lapar.

Setelah itu, mereka memutuskan untuk mengambil antrian bianglala, kincir raksasa yang memiliki banyak ruang untuk ditempati.

Sebenarnya, tidak afdol jika mereka melewatkan kesempatan ini untuk naik bianglala. Karena, taman bermain yang mereka kunjungi merupakan taman bermain dengan bianglala terbesar dan tertinggi di daerahnya.

Makanya, Gavin menurut saja saat Alana ingin menaikinya.

Awalnya, saat melihat antrian bianglala yang benar-benar panjang, Gavin menjadi tak yakin ingin menaikinya. Namun, melihat wajah sumringah Alana yang menatap bianglala, Gavin tidak tega hingga kemudian memutuskan untuk tetap menaikinya.

Lagipula, tidak mungkin kan mereka mengantri hingga berjam-jam?

Namun karena saking ramainya, mereka sampai harus menunggu 1 jam dalam antrian hanya untuk menaiki bianglala.

Padahal semua pengunjung diwajibkan sudah keluar jam setengah 9 malam, tapi bahkan saat jam 8 pun mereka masih ada disana.

Alhasil, mereka jadi pengunjung terakhir yang menaikinya. Orang-orang yang mengantri di belakang mereka perlahan mulai keluar dari barisan sejak tadi. Mungkin mereka tak ingin pulang kemalaman.

Entah apakah dewi keberuntungan sedang berpihak pada mereka, mereka jadi mendapat ruang khusus dalam bianglala. Padahal, biasanya satu ruangan ditempati oleh 4 orang.

Sejujurnya, Alana sedikit gembira mengetahui bahwa mereka hanya berdua. Karena jika ada orang asing yang bersama mereka, Alana tak akan leluasa menikmati pemandangannya. Ia pasti akan merasa sedikit canggung.

Sementara Gavin? Ia hanya hampir selalu mengikuti kemauan Alana hari ini. Karena, ia memang tak tahu harus bagaimana.

~

GAVIN'S POV

Bianglala ini tak buruk juga. Melihat ia yang sibuk bersemangat menceritakan kekagumannya, membuatku tak menyesal telah mengantri selama kurang lebih satu jam.

Entah berapa kali aku sudah mengatakan ini, namun melihat ekspresi bahagia Alana membuatku benar-benar ingin semakin memperhatikannya.

Ia anak yang lembut dan ceria. Aku hampir tak pernah melihat dirinya tanpa senyum yang melekat di wajahnya.

"Gimana hari ini? Maaf kalo kesannya cuma aku yang bersenang-senang. Sejujurnya aku ga tau gimana cara ngajarin kamu tentang emosi manusia" ucapnya merasa bersalah.

"Yah... Tidak buruk juga" jawabku apa adanya. Karena memang benar, menurutku ini bukanlah pengalaman baru yang buruk.

Mendengar jawabanku, Alana semakin melebarkan senyumannya.

"Sebenernya, aku seneng banget kamu mau naik bianglala sama aku" ucap dirinya lagi.

"Hm?"

"Ahh... ngga, lupain aja" ucap Alana sambil tersenyum. Namun aku tahu, ada kepahitan tersembunyi dalam senyuman yang tadi ia suguhkan.

Aku ingin mengetahuinya, namun aku juga tak mau memaksanya untuk menceritakan kisah kelamnya.

Aku tak suka melihat senyuman pahitnya. Ia seperti memendam banyak kesulitan dalam hati tanpa seorang pun tahu.

"Alana..." ucapku menggantung,

"Iya?" jawabnya.

"Manusia pasti punya bagian dari masa lalunya yang tidak ingin diingat. Namun bukan berarti mereka harus selalu memendamnya. Jangan bersembunyi dibalik senyuman disaat kamu dihujani banyak cobaan. Termasuk kamu, maupun saya" terangku panjang lebar.

Alana terdiam mendengar perkataanku, sebelum kemudian ia angkat bicara.

"Ini pertama kalinya kamu bicara panjang lebar sama aku" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Alana, tersenyum dan tertawalah saat kamu bahagia. Namun, menangislah saat kamu memang seharusnya menangis. Jangan pendam kesulitanmu dan malah menutupinya dengan senyuman palsu. Kamu jauh lebih indah saat tersenyum dengan tulus"

Sunyi, tak terdengar apapun setelah aku berkata seperti itu. Hingga akhirnya terdengar suara isakan yang keluar dari mulut Alana.

Ia menangis. Ternyata, jauh terpendam di dalam sana, dirinya benar-benar hancur. Namun ia masih mampu menyembunyikan semua itu dengan keceriaannya.

Disini, di titik tertinggi kincir ria ini, aku melihat sisi terpendam yang telah lama Alana sembunyikan.

Ku ulurkan tanganku perlahan, ku usap air mata yang mengalir deras di wajahnya.

Sungguh, pasti ia kesulitan memendam banyak hal selama ini. Dan mungkin, tak ada yang benar-benar berada di sisinya.

Rasanya menyakitkan melihat ia menangis sebegitu parahnya. Meski aku tak tahu apa yang menjadi penyebabnya, aku bisa memastikan bahwa hidupnya ternyata tak pernah mudah.

POV END

Hingga sisa waktu mereka di bianglala, tak ada lagi yang membuka obrolan. Baik Gavin, maupun Alana.

Ia sibuk meredakan tangisnya. Alana tak ingin ketahuan menangis oleh orang sekitar saat ia keluar dari bianglala.

Sementara Gavin, hanya berada di sisi Alana. Keberadaan Gavin mampu menguatkan Alana secara tidak langsung.

Baru kali ini Alana benar-benar mulai membuka diri pada seseorang.

Namun, mungkin ini belum waktu yang tepat untuk menceritakan kisah kelamnya pada Gavin.

Di lain sisi, Alana merasa bahagia karena akhirnya ada yang menyadari penderitaannya. Selama ini ia terlalu sering menyibukkan diri untuk melupakan semua keluh kesah dalam kehidupannya.

Ternyata, Gavin jauh lebih peka dibanding yang terlihat.

Sejujurnya, Alana tak menyangka bahwa Gavinlah yang akan jadi tempatnya mencurahkan emosi. Karena mengingat ia yang acuh dan dingin, rasanya hampir tidak mungkin Gavin bisa menjadi tempat Alana menumpahkan perasaan.

Namun hari ini, dugaan Alana terbukti salah.

Sementara Gavin, ia lega karena pada akhirnya, Alan memutuskan untuk jujur pada dirinya sendiri.

Gavin lega karena akhirnya Alana mampu memecah tangisnya yang sudah lama tertahan.

Entahlah. Semakin lama, keinginannya untuk berada di sisi Alana semakin kuat.

Awalnya ia pikir, perasaan itu hanyalah rasa yang lalu lalang dan akan hilang dalam sekejap. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Perasaan yang Gavin miliki malah semakin menguat.

~

Mereka keluar dari taman bermain pukul 20.25 , 5 menit menjelang penutupan taman bermain.

Waktu yang sangat pas bukan?

Setelah itu, mereka berjalan menuju parkiran motor. Gavin tentunya akan mengantar Alana pulang ke asrama.

Sudah kubilang bukan? Sebenarnya Gavin adalah pria yang penuh tanggung jawab.

Ia tak akan membuat Alana pulang sendirian. Apalagi, sudah semalam ini. Pastinya ia juga khawatir jika membiarkan Alana begitu saja.

Pengalamannya hari ini, membuat Gavin merasakan berbagai hal baru. Termasuk keinginannya yang ingin terus berada di sisi Alana dan menjadi sandarannya.

Begitupun dengan Alana. Ia jadi ingin semakin mengenal Gavin. Ia ingin mempersempit ruang dan jarak antara mereka berdua.

Tak ada satupun dari mereka yang menyesali takdir yang sudah mempertemukan mereka.

Baik itu Alana, maupun Gavin...