Susana menjadi semakin aneh, Lita hanya bisa tersenyum simpul menyikapi sikap dari Mama mertua, Monic, dan kakeknya. Leo membisikkan kepada mereka jika Lita dan Robby sudah melaksanakan malam pertama.
Kakek tersenyum bahagia, begitu juga Monic dan Mama Elfa.
"Kamu mau membeli apa sayang? nanti shopping sama Mama ya?" Ucap Mama Elfa sambil merangkul lengan Lita.
Lita mengerutkan dahinya dan keheranan dengan sikap Mama mertuanya.
"Iya kak, kita belanja peralatan bayi ya." sambung Monic sambil tersenyum bahagia.
"Apa? perlengkapan bayi. Apa maksudnya?" Tanya Lita yang benar benar tidak mengerti.
"Kan kalian udah, ehm..!" Ucap Monic sambil melirik jahil Lita.
"Apaan sih Monic." Elak Lita sambil menggeser posisi tubuhnya.
"Ih, tidak usah malu seperti itu. Mama bahagia sekali berarti sebentar lagi mama akan menimang cucu kan. Iya kan?" Ledek Mama Elfa kepada Lita.
*Secepat ini mereka berharap aku hamil dan memiliki bayi? Bagaimana bisa, jika aku saja begitu benci jika mengingat perlakuan mas Robby kepadaku. Andai saja mereka mengetahui perihal kontrak 7 tahunku.* Batin Lita yang kini tengah duduk di sofa.
"Belum lah ma, masih lama. Kami masih ingin menikmati masa bersama dulu." Ujar Lita dengan santai.
"Tidak Lita, tidak bisa. Kakek tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Kata kakek sambil menarik salah satu laci nakasnya.
Kakek memberikan selembar kertas putih kepada Leo, dan Leo memberikannya kepada Lita. Kertas itu berisi penjelasan tentang penyakit kakek yang bisa di bilang sangat mematikan dengan stadium akhir.
Lita mematung, tubuhnya seperti membeku dan matanya mulai berkaca-kaca. Lita lalu ambruk dan mendekap kakek dengan eratnya sambil menangis.
"Kakek!" Seru Lita yang menangis tersedu mengetahui jika umur kakek Agus hanya tinggal 2 tahun saja.
"Sudah jangan menangis, kakek hanya ingin bahagia di ujung usia kakek. Kakek ingin melihat cucu cucu kakek memiliki rumah tangga yang bahagia, dan memiliki anak anak yang lucu." Kata kakek sambil tersenyum dan menepuk nepuk punggung Lita.
"Kalian keluarlah dulu. Ada hal pribadi yang ingin aku bicarakan kepada Lita." Ucap Kakek sambil mengedipkan matanya.
"Baik kek," Jawab Leo yang kemudian menggiring Monic dan Mama Elfa keluar.
"Lita, sekarang kamu tahukan. Kenapa di surat perjanjian kita banyak point point yang rumit dan terkesan sangat panjang untuk ukuran kawin kontrak?"
"Ingat pernikahanmu adalah pernikahan yang sebenarnya. Karena kamu dan Robby sama sekali tidak ada perjanjian apapun. Kontrak 7 tahunmu itu hanyalah agar kamu tidak lari dan meninggalkan cucuku yang nakal itu." ucap kakek Agus dengan suara yang bergetar.
"Aku ingin, jika aku pergi dalam waktu dekat ini. Setidaknya masih ada seseorang di samping cucuku dalam waktu yang lumayan lama. Maafkan Kakek, kakek melakukan semua ini karena kakek menyayangi Robby." Kata kakek dengan suara paraunya.
"Dan sekarang, kakek terjebak juga karena telah menyayangimu. Kakek telah mengutus Leo sebagai penjagamu. Anggaplah dia sebagai kakak laki lakimu ya. Dia adalah orang yang bisa di percayai." kata kakek Agus sambil tersenyum menatap wajah Lita.
"Kakek." Seru Lita dengan Isak tangisnya.
*Aku akan berusaha untuk sebisa mungkin bersikap biasa saja kepada mas Robby.* Batin Lita sambil menyeka air matanya.
Dert.... Dert....
Berdering ponsel Lita dengan tertera nomor baru yang tidak Lita kenal.
"Sebentar kek, aku ada telefon." Kata Lita sambil mengangkat panggilan dan berjalan keluar kamar rawat kakek.
Melihat Lita berjalan keluar kamar kakek, Mama Elfa dan Monic beserta Leo kembali masuk ke dalam kamar Kakek.
"Iya hallo, siapa ini?" Tanya Lita perlahan.
"kamu di mana? bisa bilang tidak kalau ingin pergi ke suatu tempat. Aku ini suamimu sekarang." Kata Robby.
"Oh, kamu mas."
"Iya, katakan kamu di mana. Aku jemput ya?"
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri."
Niatan hati ingin menjadi lebih dekat dan bersikap seperti biasa. Namun apalah daya jika kebencian masih memenuhi dadanya. Lita mendengus kesal dan meninju tembok. Lita marah dengan ketidak berdayanya sendiri. Semuanya sungguh terjadi karena uang. Lita hanya berharap jika ibunya lekas membaik agar dia bisa terbebas dari jerat pernikahan.
Lita kemudian kembali masuk kedalam kamar kakek Agus dan berpamitan untuk membesuk ibu Ayu. Mama Elfa dan Monic juga ikut bersama Lita untuk melihat keadaan ibu Ayu. Kesedihan menyeruak tiada henti-hentinya Lita terisak menangis meratapi keadaan sang ibu yang masih terbaring koma.
*Anak ini, ternyata benar jika dia adalah anak yang sangat berbakti. Kata Ayah, dia sampai rela menukar nyawanya jika itu bisa di lakukan. Aku tidak salah memilih menantu.* Batin Mama Elfa melihat Lita yang menangis terisak.
"Sudah, sudah. Kita doakan yang terbaik untuk ibumu ya nak. Menantu mama jangan menangis lagi ya." Kata mama Elfa sambil memeluk Lita dengan erat.
"Sampai kapan ibuku akan terus seperti itu ma, Aku ingin aku saja yang menggantikannya." Kata Lita dengan air matanya yang menetes.
"Jangan seperti itu sayang, semua ini sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa menjalaninya sebaik mungkin. Jika kamu yang ada di sana, lantas bagaimana dengan suamimu?" Kata mama Elfa sembari menatap Lita lekat.
Lita tertegun mendengar ucapan Mama Elfa. Bagaimana dia bisa lupa jika yang di peluknya saat ini adalah Mama mertuanya. Tentu dia akan sangat mengutamakan putranya. Lita lantas bergeser selangkah untuk menyeka air matanya.
Beberapa saat mereka di sana, Leo datang menjemput Lita dan ingin mengantarnya pulang. Lita dan Leo pulang, selama dalam perjalanan tidak banyak kata yang terlontar. Lita lebih banyak diam. Masih segar dalam ingatan, semua orang mengharapkan kebahagiaan mereka dengan hadirnya seorang anak. Harapan itu seolah bertumpu ddi pundaknya dan menambah berat beban dan tanggung jawabnya.
Sesampainya di apartment, Leo membukakan apartemen yang lalu di huni oleh Lita. Lita lantas masuk dan bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus satu atap dengan Robby.
"Kamu berkemas saja dulu, nanti sore aku akan membantumu memindahkan barang barangmu." Kata Leo sambil menutup pintu dan berlalu pergi.
"Ahhh...., akhirnya aku bisa sendirian. Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang." Gumam Lita sambil memejamkan matanya.
Ceglek pintu terbuka. Robby berdiri di ambang pintu sambil menatap Lita. Lita hanya tertegun dengan wajah gugup dan bercampur ketakutan. Teringat lagi akan perbuatan Robby saat merampas keperawanannya dengan cara yang menyakitkan.
"Kamu sudah pulang rupanya, sudah makan?" Tanya Robby sambil berjalan mendekat.
"Jangan mendekat, kamu bisa bicara dari sana saja." Ucap Lita dengan wajah takutnya.
"Kenapa aku ini suamimu. Aku mohon maafkan aku. Kita mulai dari awal lagi. okey!" Usul Robby membujuk Lita.
"Cih, sangat mudah bagimu berkata seperti itu. Karena sudah banyak wanita yang kau ambil keperawanannya."
"Aku hanyalah salah satu dari jajaran wanita tidak beruntung itu." Kata Lita dengan sinis.
"Diam, kau tidak tau apa apa tentangku! Dan aku aku adalah suamimu, aku memiliki hak sepenuhnya atas dirimu."
"Baik, jika kau menolak kebaikanku. Maka jangan pernah menyesal akan keputusanmu kali ini." Kata Robby sambil membanting pintu dan berlalu pergi.